Temukan Kejanggalan Putusan Hakim pada Kasus Dugaan KDRT & Perebutan Hak Asuh

INFOKU, BLORAKarena merasa temukan kejanggalan pada putusan hakim, terdakwa Afrida Mahyeni Nasution bersama penasihat hukum (PH) ajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Semarang

ilustrasi

Afrida Mahyeni Nasution tak merasa bersalah pada kasus dugaan kekerasan terhadap anak yang membuatnya divonis pidana penjara 1 tahun 6 bulan (1,5 tahun) oleh Pengadilan Negeri (PN) Blora.

Adapun PH terdakwa yakni Darda Syahrizal dan Khoirul Anwar dari LBH Kinasih telah melayangkan memori banding tersebut.

Diberitakan sebelumnya Afrida merupakan istri kedua Bambang Lukito harus berhadapan dengan kasus hukum.

Setelah dia dan suaminya mempertahankan hak asuh anak.

Baca juga : Ibu Tiri Divonis 1,5 Tahun pada Kasus Berebut Hak Asuh Anak

Mereka menang di Pengadilan Agama (PA) Klaten atas hak asuh tiga anak Bambang dengan istrinya pertamanya yang telah meninggal.

Namun, ipar mantan istri Bambang terus berupaya merebut.

Dari situlah mantan ipar Bambang itu memperkarakan Afrida dengan kasus kekerasan anak. Diduga kasus ini direkayasa.

Dalam memori bandingnya, PH Afrida menyayangkan sikap Majelis Hakim PN Blora. Lantaran putusannya tidak disertai bukti kuat.

Menurutnya, dari keterangan saksi-saksi, jelas tak ada yang tahu dan menyaksikan secara langsung dugaan kasus kekerasan yang disangkakan kepada Afrida.

“Jika kita mengacu pada kalender masehi tahun 2023, maka tanggal 28 Maret 2023 adalah bulan puasa. Sehingga, kuat dugaan bahwa benar, pada saat itu Afrida sedang masak-masak untuk keperluan berbuka bersama di musala. Terlebih ada kesaksian dari Tri dan Rusiyah yang memperkuatnya. Bagaimana mungkin di waktu bersama, klien saya bisa memukul anaknya?,” ucap Darda.

Baca juga : Pemalsu Dokumen Dispensasi Kawin Diburu PA Blora

Selain itu, Darda menyampaikan, bahwa Majelis Hakim juga mengabaikan kesaksian adik korban (NZ).

“Saksi NZ (9 tahun) yang merupakan adik dari ZF dan FA juga memberi keterangan jika Afrida tidak pernah melakukan kekerasan terhadap kakaknya.

Namun, Mejelis Hakim di PN Blora mengabaikan semua kesaksian NZ,” ujar Darda.

Selain itu, majelis hakim juga mengabaikan bukti chat WA (WhatsApp) dan foto-foto yang dipergunakan Afrida.

Dengan alasan menurut UU ITE, dokumen tersebut harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya.

Padahal bila mengacu UU ITE, hal tersebut sudah bisa jadi bukti tanpa keterangan ahli.

Menurutnya, sistem hukum pidana di Indonesia menekankan pembuktian materiil, bukan formil.

Sehingga, tidak adanya saksi ahli yang melabel bukti itu sah, seharusnya tak jadi pertimbangan utama.

Kejanggalan lain yakni terkait bukti berupa laporan hasil penelitian sosial korban kekerasan terhadap anak di bawah umur, dari Dinas Sosial Kabupaten Blora.

Surat laporan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Pardi Sandi, S.ST (Pekerja Sosial Profesional) dan Nurkholis, S.Kep., MM.

Dalam surat tersebut menjelaskan bahwa, klien menjadi korban kekerasan, yang mengakibatkan klien mengalami luka memar dan trauma.

Pelaku tak lain adalah ibu tiri klien yang bernama Afrida Mahyeni Nasution.

“Bukti surat tersebut sebelumnya tidak pernah ada dalam berkas perkara dan tidak pernah ada pengujian di muka persidangan. Bahkan, tidak menghadirkan saksi ahli dan memeriksa kopetensinya. Kok tiba-tiba bukti surat ini ada dalam putusan?,” tambah Darda.

Baca juga : Habiskan Miliaran Akibat Judol, Mantri Bank Tilep Uang Nasabah Rp 403 Juta

Menurutnya, kemungkinan korban (ZF) memiliki masalah psikologis lainnya yang bukan berasal dari kekerasan ibu tirinya (Afrida).

Karena sebelum kasus ini mencuat, antara suami Afrida dan keluarga almarhumah istrinya sedang terjadi konflik perebutan hak asuh anak.

Atas konflik tersebut, seolah-olah Afrida menjadi korban dari perseteruan suami dan keluarga almarhumah istrinya.

“Masih terlalu prematur untuk menyatakan Afrida bersalah. Seharusnya, jika bukti dan saksi masih meragukan, maka lebih baik hakim membebaskan saja terdakwa (Afrida),” tandasnya. (Endah/IST


Post a Comment

0 Comments