(Penulis:
Drs Ec. Agung Budi R, Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU, Diolah dari berbagai
Sumber)
Tak lama lagi, tepatnya tanggal 11 Desember 2023 kabupaten Blora akan memperingati Hari Jadi ke 274.
Lokasi Kabupaten Blora yang letaknya diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur harusnya dipandang sangat strategis di kemudian hari.
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari
kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang
akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata
WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa sering terjadi
pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan
arti kata.
Sehingga seiring dengan perkembangan zaman
kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi Balora dan kata Balora
akhirnya menjadi Blora.
Jadi nama Blora berarti tanah rendah
berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
Baca juga : Kontroversi dan Makna Hari Jadi Blora
Sampai saat ini tentang tanggal dan tahun
berdirinya Kabupaten Blora dan siapa Bupati pertamanya masih menjadi
perbincangan di masyarakat..
Adanya 2 versi yang berbeda tentang
sejarah Blora, antara versi yang tercatat dan dipublikasikan selama ini dengan
versi yang dipahami oleh keturunan Sunan Pojok di Yogyakarta.
Raden Tumenggung Djaya
Dipa Atau Tumenggung Wilatikto
Puncak kejayaan Mataram terjadi ketika
dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Ia merupakan penguasa
lokal pertama yang secara besar- besaran dan teratur mengadakan peperangan
dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie).
Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi
hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah
menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Blora yang pada saat itu juga bagian dari
Mataram disinggahi seorang panglima Mataram yang bernama Pangeran Surabahu atau yang kita kenal
dengan Sunan Pojok (Syaikh Amirullah Abdulrahim).
Dari sisi geneologisnya Sunan Pojok masih
mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan
Ampel dan Dewi
Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban,
serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan.
Baca juga : Misteri Jaya Dipa Bupati Pertama Blora (Mataram) ?
Tugas yang diemban Sunan Pojok pada waktu
itu adalah menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan,
Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram.
Sunan Pojok berhasil menuntaskan
pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 Nopember 1626, yang
tercatat sebagai arsip nasional karena satu satunya peperangan yang mampu
mengalahkan VOC, serta mengalahkan semua adipati yang menentang.
Setelah melapor den kembali ke wilayah
Blora dan Tuban, Pangeran Pojok kelelahan dan jatuh sakit kemudian dirawat oleh
putranya, R. M Sumodito, yang juga mempunyai sifat yang sama seperti ayahnya
untuk selalu setia dan patuh pada kanjeng Sultan Agung dan Pangeran Mangkubumi
Hamengkubuwono I selain juga berbakti pada orang tua.
Untuk itu, diangkatlah Sumodito menjadi
Bupati Blora pertama kali dengan nama atau Raden Tumenggung Djoyodipo atau
dikenal juga Raden Tumenggung Djoyowiryo sesuai dengan
"lenggahan" (kedudukan) yang dimiliki (Dinasti Surobahu Abdul Rohim).
Hal itu di ungkapkan Ir. Kanjeng Raden
Tumenggung H. Harjono Nitidipuro,MM. salah satu ahli waris Sunan Pojok.
Dia menceritakan kakek moyangnya yang
mempunyai makam di Blora, tepatnya di belakang masjid agung Baitunnur Blora itu
mempunyai makna sejarah yang tinggi
Berdasarkan sejarah tersebut, Blora lebih
berorientasi pada Budaya Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat karena hubungan
kedekatan dengan Sultan Mataram daripada Surakarta Hadiningrat.
Meskipun pada waktu penjajahan VOC dulu, Blora ingin diarahkan oleh Belanda untuk mendekati orientasi Surakarta Hadiningrat.
VOC waktu itu menganggap bila Blora
dikuasai Ngayogyakarta Hadiningrat maka Belanda akan sukar menguasai Blora,
karena hubungan yang kuat dengan para keturunan Kerajaan Kesultanan Demak
dengan Kerajaan Kasultanan Mataram Ngayogyakarta.
Jika menurut keterangan ini maka Bupati
Blora yang pertama RT Djaya Dipo bukanlah Raden Tumenggung Wilotikto
sebagaimana yang sering kita jumpai diberbagai keterangan.
Setelah wafat digantikan oleh putranya
yang bernama RT Djaya Dipo (RT Djoyo Wiryo), Kemudian
oleh RT Jaya Kusumo Keduanya, setelah wafat dimakamkan
dilokasi Makam Pangeran Pojok Kauman.
Wilatikto, Blora &
Surakarta Hadiningrat
Kejayaan Mataram berakhir ketika terjadi
pemberontakan besar yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid (Pangeran
Sambernyawa).
Pemberontakan ini muncul sebagai bentuk
penolakan terhadap campur tangan VOC yang kian kuat di Mataram.
Baca juga : Mengapa Harta Karun di Blora Jadi Buruan, Inilah Fakta Sejarahnya
Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati,
Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta.
Atas keberhasilannya itu Mangkubhumi
diangkat menjadi raja oleh rakyatnya pada 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11
Desember 1749.
Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi
menjadi raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah
pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Pengangkatan RT Wilotikto sebagai bupati
Blora ini didaulat menjadi hari jadi Kota Blora sampai saat ini.
Balada pemberontakan di Mataram di bawah
pemerintahan Sunan Pakubuwana II & III berujung pada peristiwa yang disebut
sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Perjanjian
yang terdiri dari 9 pasal membagi Mataram menjadi dua.
Perbedaan pendapat di masyarakat tentang siapa Bupati Blora
Pertama, hendaknya mendapat perhatian serius Pemkab Blora saat ini.
Masyarakat ada yang berharap agar Bupati Blora ke 28 saat ini H Arief Rohman, pada masa jabatanya segera mengadakan penelitian kembali sejarah berdirinya Blora. -@g-
0 Comments
Post a Comment