INFOKU, BLORA – Menarik dari dua pemilu terakhir,
keterlibatan perempuan di kancah perpolitikan Blora masih rendah.
Dari 45 total anggota DPRD Blora hanya ada empat anggota perempuan. Sisanya adalah laki-laki.
Pada Pemilu 2014 menghasilkan 8
orang anggota DPRD perempuan. Jumlah itu menurun pada pemilu 2019 menjadi 6
orang.
Namun, kini jumlahnya hanya tersisa
4 orang. Sebab, ada yang mengundukan diri dan meninggal dunia. Jumlah itu tentu
tidak ideal.
Hal itu menjadi sorotan para
aktivis perempuan di Blora. Sebab, keterlibatan perempuan dirasa penting untuk
mendorong kebijakan yang inklusif pada kaum hawa.
Ketua Cabang Kopri Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blora Idda Ainun Aulia menyayangkan minimnya
keterwakilan perempuan di kursi DPRD Blora.
Baca juga : Sri Budiyono Adukan Oknum Anggota DPRD ke DPR RI
Padahal, keterwakilan perempuan
di legislatif penting untuk kebijakan yang responsif gender dan lebih inklusif.
”Kalau dilihat Blora memang minim
peminat. Sebagai perempuan juga harus lebih prepare dalam
menghadapi isu-isu politik dan tentunya paham ilmunya. Kami mengajak dan
merangkul perempuan untuk lebih mempersiapkan untuk berani berpolitik juga,”
ungkapnya.
Menurutnya, minimnya keterpilihan
perempuan di kursi DPRD Blora karena belenggu budaya masyarakat. Perempuan
masih diragukan kemampuannya dalam memimpin.
”Ya itu kembali lagi-lagi sampai
saat ini masyarakat masih ada bayang-bayang budaya patriarki. Dianggap hanya
bisa mampu mengerjakan pekerjaan domestik saja,” terangnya.
Sekretaris Kohati Badko
Jateng-DIY Lianasari Septieani Rahayu mengatakan, keterwakilan perempuan dalam
bidang politik diperlukan dalam memperjuangkan problematika yang sering menimpa
kaum perempuan. Partisipasi perempuan di jajaran DPRD perlu ditingkatkan agar
permasalahan kaum perempuan dapat diminimalisir.
”Melalui lembaga politik kaum
perempuan dapat mencurahkan sebagian besar energi, waktu, dan pikirannya dalam
proses pembuatan undang-undang dengan kapasistas struktural dimilikinya
untuk membentuk atau memengaruhi kebijakan publik,” ujar perempuan kelahiran
Blora tersebut.
Baca juga : Ketua DPRD Blora Tak Gentar, Walau Diadukan ke KPK soal Honor Narasumber
Problem yang dihadapi adalah
maraknya kasus KDRT, minimnya upah buruh perempuan, hak cuti buruh perempuan
ketika menstruasi, hamil, melahirkan hingga menyusui.
Lalu angka kematian ibu
melahirkan dan isu-isu pokok berkaitan dengan perempuan harus disuarakan sesama
perempuan.
”Baik itu melalui kebijakan di ranah parlemen ataupun level bawah dengan metode demonstrasi,” tutupnya. (Endah/IST)
0 Comments
Post a Comment