INFOKU, SEMARANG - Di puncak bukit di
Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, terdapat sebuah tugu dan
bangunan candi.
Jika dari
perkampungan Tugurejo, untuk mencapai tempat yang dikenal dengan nama Candi
Tugu itu, maka harus naik 99 anak tangga dan akan melawati gapura candi.
Namun jika lewat jalan lain atau sisi utara candi, anak tangga yang dilewati berjumlah 20 anak tangga.
Banyak desas-desus
yang menyebut lokasi tersebut bersejarah dan merupakan perbatasan kerajaan
Majapahit dan Pajajaran, namun belum ada yang bisa memastikan hal tersebut.
Meski demikian,
memang ada cagar budaya yang dilindungi yaitu Tugu setinggi 2,5 meter.
Kepala Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng, Sukronedi, menjelaskan tugu batu
andesit kompak itu berdiri di atas umpak tatanan kosod balok batu andesit.
Pada masing-masing
sisi dinding umpak semenan terdapat sebuah prasasti, dua prasasti berhuruf
latin berbahasa Belanda, dua prasasti berhuruf Jawa berbahasa Jawa. Ada juga
prasasti berupa tapak kaki di sekitar tugu.
Baca juga : Ganjar Pranowo Ajak Perusahaan Swasta Pakai Baju Adat Tiap Kamis
"Dari prasasti
tersebut dapat menceritakan sebuah peristiwa sejarah. Prasasti pertama
menyampaikan kabar bahwa bangunan ini didirikan oleh Dinas Purbakala pada tahun
1938.
Prasasti berikutnya
bisa diartikan bahwa bangunan ini didirikan oleh Dinas Purbakala dengan
menggunakan biaya dari Pemerintah Desa Toegoeredjo," kata Sukronedi kepada
detikJateng, Jumat (26/8/2022).
"Meninjau isi
prasasti, umur tugu telah mencapai 78 tahun serta menceritakan sebuah peristiwa
sejarah. Oleh karena itu tugu tersebut diduga merupakan struktur cagar budaya
yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya," imbuhnya.
Untuk candinya,
ternyata bukan merupakan peninggalan kerajaan mana pun. Candi tersebut
merupakan replika dari jadi Gedung Songo yang ada di Kabupaten Semarang. Di di
dinding candi pun diberi keterangan dengan tinta emas bertuliskan 'Duplikat
Candi Gedung 9 Atas Prakarsa PT. Tanjung Mas Semarang Bp. Djamin CH Dibuat
Tahun 1984-1985 Karya R. T. D. Djayaprana Muntilan. Dilindungi Dinas
Purbakala'.
Baca juga : Ketahuan Cor Jalan Pakai Grosok, Pemborong Janji Bongkar dan Cor lagi
"Secara
keseluruhan model bangunan persis menyerupai candi 1 Gedong Songo, baik dari
batur hingga bagian puncaknya.
Dengan demikian
bangunan candi ini bukan merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010," jelasnya.
Meski demikian,
menurut Sukronedi, kondisi keseluruhan kawasan Candi Tugu masih baik meski
hanya satu orang yang merawat yaitu warga bernama Sumarto. Namun banyak sekali
bekas vandalisme di dinding candi.
"Luas lahan
kurang lebih 2.000 meter persegi. Luasan situs dikelilingi pagar keliling
tatanan batu andesit semenan," ujarnya.
Perbatasan Kerajaan
Majapahit-Pajajaran … ?
Juru kunci Candi
Tugu, Sumarto, mengatakan dari keterangan yang dia ketahui, memang ada
keterkaitan lokasi tersebut dengan perbatasan Kerajaan Majapahit-Pajajaran.
Selain itu dari
keterangan yang diperolehnya turun-temurun, tugu di lokasi itu pernah roboh
sebelum dibangun kembali tahun 1938.
Konon tugu itu juga
pernah jadi bekas tambatan kapal. Bahkan disebut ada makam di dekat tugu, yaitu
makam yang dikenal sebagai Kiai Tugu.
Baca juga : Empat Warga Blora Digerebek Polisi Saat Asyik Main Judi Kartu
"Sebelum 1938
pernah roboh. Kan ada tulisan pemugaran tahun 1938. Dulu sekitar situ kan
pantai, ada yang mengatakan Islam masuk Semarang dari pantai di Tugu,"
kata Sumarto."Kalau candi Ini kan bentuknya candi Hindu. Ini seperti
Gedung Songo. Itu pelengkap saja," imbuhnya.
Sumarto juga
menunjukkan sebuah buku berukuran kertas HVS yang berisi cerita sejarah monumen
atau tugu itu yang memang sudah turun-temurun. Isi buku tersebut menceritakan
asal muasal kenapa dipercaya sebagai perbatasan Kerajaan Majapahit dan
Pajajaran.
Singkatnya, konon hal
itu terjadi karena anak kandung beda ibu dari Raja Pajajaran, Munding Wangi,
berseteru.
Munding Wangi
memiliki putra penerus bernama Raden Tanduran. Namun ia juga memiliki putra
dari seorang selir yang kemudian dihanyutkan di Sungai Krawang dan diasuh oleh
pencari ikan.
Disebutkan dalam buku
tersebut, anak raja dari selir itu dikenal dengan nama Banyak Wedi setelah
dikirim ke Kerajaan Pajajaran untuk belajar.
Dia semakin mahir
dalam hal membuat barang dari besi dan baja. Banyak Wedi kemudian dekat dengan
sang raja yang tidak lain adalah ayahnya.
Dia kemudian membuat
kurungan besi besar. Ketika raja mencoba, dia menutup dan membakarnya.
Namun disebutkan pula
ada yang mengisahkan kurungan itu dibuang ke laut selatan. Banyak Wedi juga
mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.
Banyak Wedi kemudian
mengambil alih kerajaan dan mendapat nama Ciung Wanara.
Masih dari buku itu,
Raden Tanduran dan tiga pengikutnya melarikan diri ke Gunung Cermai.
Di sana ia kemudian
tiba di distrik Wirasaba. Dikisahkan ia melihat pohon buah Maja yang rasanya
pahit, kemudian mendirikan Majapahit.
Dalam cerita tersebut
cukup unik karena selama ini dari sejarah yang diketahui, Kerajaan Majapahit
didirikan oleh Raden Wijaya.
Orang-orang dari
Pajajaran disebutkan menuju ke wilayah Majapahit yang dipimpin Raden Tanduran
itu.
Mereka membawa 80
pandai besi dan Ciung Wanara meminta Raden Tanduran menyerahkan para pandai
Besi. Namun hal itu ditolak dan terjadilah peperangan.
Baca juga : Waduh ... Baru Rampung beberapa Bulan, Plafon Pasar Sidomakmur Blora Ambrol
"Pasukan
Majapahit ada di daerah Ungaran dan Pajajaran ada di Kaliwungu. Kemudian
disepakati dibuat batas utara dan selatan," ujar Sumarto.
Dalam buku yang
dipegang Sumarto, disebutkan cerita-cerita itu bersumber dari beberapa buku
antara lain History of Java jilid II karya Thomas Stamford Raffles, buku
Java-Geographish, Ethnologisch, Historisch karya Prof P. J. Veth.
Terpisah, sejarawan
Semarang, Rukardi, mengatakan saat ini arkeolog masih hanya bisa menduga
terkait kabar wilayah atau tugu tersebut sebagai pembatas Kerajaan Majapahit
dan Pajajaran.
Ia menegaskan, soal
keberadaan Tugu sendiri hanya disebut sedikit dalam buku History of Java.
"Kalau sumber
sejarah sangat minim. Sependek pengetahuan saya, hanya Raffles yang memuat
objek purbakala ini di bukunya History of Java. Itu pun hanya berupa gambar
ilustrasi dan caption sangat singkat," jelas Rukardi lewat pesan singkat.
"Para arkeolog sampai sekarang hanya bisa menduga-duga fungsinya pada masa lalu. Info tentang tugu batas kerajaan Majapahit-Pajajaran itu hanya dugaan belaka," imbuhnya.
Meski demikian
ritual-ritual atau acara doa-doa memang beberapa kali digelar di sana. Namun
untuk kegiatan berbau klenik justru banyak dilakukan di gua yang lokasinya ada
di bawah candi. Gua itu sudah beri dinding layaknya Candi.
"Kan banyak yang
cari kegiatan. Dulu ada sampai kesurupan. Saya dipanggil. Dia ingin cari tau
sisik melik 'penjaga' disitu," ujar juru kunci Candi Tugu, Sumarto.
Kegiatan berdoa
dengan tawasul di sekitar candi juga dilakukan. Ia menjelaskan hal itu
dimaksudkan untuk menguri-uri budaya. Ia juga berharap ke depan banyak warga
yang mempelajari sejarah.
"Jadi kalau saya dalam tawasul cuma zikir, yasin. Nguri-uri. Ya sejarah itu jangan dilupakan," pungkasnya.(Tanti/IST)
0 Comments
Post a Comment