INFOKU, JAKARTA –
Pandemi COVID-19 tidak serta merta menghentikan peredaran hoaks di tengah
masyarakat. Justru hoaks terkait pengobatan dan penanganan hoaks, serta
informasi salah seputar vaksin dan vaksinasi masih banyak ditemukan di
lapangan. Hal ini perlu dijawab dan diluruskan oleh sumber-sumber informasi
yang terpercaya.
Dr Julitasari Sundoro, MSc, MPH, pemerhati imunisasi menjelaskan dirinya terkadang tidak mengerti kenapa orang-orang mau repot-repot membuat hoaks. “Karena hal ini merugikan program vaksinasi, sehingga berimbas pada rendahnya cakupan vaksinasi, tidak hanya vaksinasi COVID-19,” terangnya dalam Dialog Produktif KPCPEN bertema Hindari Hoaks seputar Vaksinasi, Kamis (3/6).
Dr. Julitasari,
berpesan agar masyarakat harus mendapat penjelasan dari institusi yang kredibel
dan dapat dipercaya. “Institusi seperti Kemenkes dan Kemkominfo perlu jadi
rujukan agar masyarakat jangan menelan mentah-mentah suatu berita dan
informasi. Kita harus cek kembali kalau ragu dan tidak langsung menyebarkannya,”
ujarnya.
Seperti halnya
menjawab keraguan masyarakat terhadap kandungan vaksin COVID-19, Dr. Julitasari
menerangkan sebenarnya kandungan vaksin COVID-19 ini adalah antigen dari virus
SARS-CoV-2, yang diperlukan untuk membentuk antibodi.
“Apabila mendengar ada demam atau bengkak di tempat penyuntikan, itu adalah hal yang biasa saja dalam proses pembentukan antibodi dalam tubuh manusia. Reaksi-reaksi ringan akibat divaksinasi itu bisa hilang dalam satu dua hari. Dalam kartu vaksinasi pun sudah diberikan nomor kontak untuk menghubungi apabila terjadi kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI),” ujar Dr. Julitasari.
Salah satu vaksin
COVID-19 yang digunakan untuk program vaksinasi nasional adalah AstraZeneca.
“Vaksin AstraZeneca
hadir di Indonesia sehubungan dengan adanya regulasi dari Kemenkes bahwa vaksin
ini akan digunakan untuk program vaksinasi nasional. Tentu dasarnya adalah
pertimbangan ilmiah dan medis, sehingga kita harus percaya pemerintah kita
telah melakukan evaluasi mendalam sehingga vaksin-vaksin yang telah ditetapkan
layak untuk membentuk herd immunity bagi masyarakat Indonesia,” ungkap Rizman
Abudaeri, Direktur AstraZeneca Indonesia.
Rizman juga
menambahkan ketika vaksin akan dipergunakan oleh suatu negara, harus
mendapatkan izin oleh otoritas negara tersebut. Khusus untuk Indonesia vaksin
harus mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
“Khusus untuk
vaksin COVID-19 ini harus mendapatkan izin penggunaan darurat (Emergency Use
Authorization/EUA), Semua vaksin tidak hanya AstraZeneca harus melalui
persetujuan Badan POM. Kemudian ada juga persyaratan WHO, yakni vaksin yang
dikatakan efektif memiliki efikasi lebih dari 50%,” ujar Rizman.
AstraZeneca sendiri hadir di Indonesia sejak 1971, dan pada masa pandemi ini AstraZeneca bekerja sama dengan lembaga penelitian Oxford untuk mengembangkan vaksin COVID-19 dengan prinsip tidak mengambil keuntungan, lalu memproduksi vaksin sebanyak-banyaknya untuk disebarkan secara luas dan merata ke semua negara. Saat ini Indonesia sendiri sudah menerima kurang lebih 6 juta dosis AstraZeneca dari jalur COVAX Facility.
“Sampai hari ini,
ada 400 juta dosis vaksin COVID-19 AstraZeneca yang sudah diproduksi dan
didistribusikan ke 165 negara di dunia. Lalu pada 165 negara dimana vaksin
AstraZeneca diedarkan, selalu memantau perkembangan dari sisi keamanan dan
efikasi vaksin COVID-19 tersebut,” terang Rizman.
dr. Suzy Maria,
Sp.PD, Spesialis Penyakit Dalam turut menambahkan, “Sekarang masyarakat memang
banyak menanyakan soal keamanan vaksin COVID-19, namun di setiap kesempatan
kami para dokter selalu memberikan informasi bahwa efek samping itu wajar
terjadi pada vaksinasi. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir karena
efek samping tersebut seringkali bersifat ringan.”
“Orang-orang dengan penyakit penyerta justru perlu dilindungi oleh vaksin COVID-19, karena apabila terinfeksi virus COVID-19, akan memperberat penyakit penyerta yang dideritanya, risikonya jauh lebih besar apabila tidak divaksinasi,” tambahnya.(Agung/IST/DARING)
0 Comments
Post a Comment