(Penulis Drs.Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan redaksi Tabloid Infoku
Diolah dari 7 Sumber Berbeda)
Politik dan janji adalah dua hal yang
saling berkaitan erat, tak terpisahkan.
Bahkan janji harus
pula dipahami sebagai bagian yang melekat dalam sebuah rangkaian dari proses
politik yang demokratis.
Dalam perspektif
demokrasi, politik tanpa janji tak patut di sebut sebagai politik.
Karena politik
memang tidak pernah bebas dan steril dari janji. Namun, semanis apapun sebuah
janji politik, tentu tidak pula lepas dari kepentingan orang yang mengucapkan
janji tersebut.
Entah calon presiden, calon gubernur, calon bupati/wali kota maupun para caleg yang akhir-akhir ini mulai masuk ke pelosok-pelosok kampung untuk memperkenalkan diri sembari memberikan janji.
Dengan demikian,
sudah barang tentu bahasa politik yang disampaikan lewat rangkaian janji yang
diucapkan tentu berkorelasi dengan konten dan konteks kepentingan yang dapat
menarik simpati para pemilih.
Maka, tidak usah
heran jika dalam momentum pemilihan umum, entah legislatif ataupun eksekutif,
janji-janji politik itu akan tampak megah, bahkan mewah pada saat kampanye
berlangsung.
Janji secara
hirarkis sebetulnya memiliki derajat yang lebih rendah daripada kontrak
politik.
Namun
setidak-tidaknya janji dapat dibaca dan dimaknai sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kontrak politik atau kontrak moral politik itu sendiri,
sehingga sang penjanji akan merasa bersalah sendiri jika janjinya tak
direalisasikannya, tanpa harus ditagih lebih dulu oleh pihak yang dijanjikan.
Pada dasarnya
manusia itu baik, sehingga semua orang harus dilihat sebagai subyek yang baik,
berpikir dan berperilaku positif.
Dalam konteks ini
sejatinya janji politik tak perlu lagi ditagih, karena janji politik
dipandang sebagai jembatan kebaikan yang menghubungkan antara sang penjanji
dengan pihak yang dijanjikan.
Akan tetapi, janji
politik tidak saja mengandung sebuah pembenaran atas kepentingan subyektif sang
penjanji, juga politik harus pula dibaca sebagai rangkaian aktivitas atau
kegiatan dalam mengelola aneka kepentingan dan kekuasaan.
Berbicara mengenai
kekuasaan, berarti kita juga harus memahami sebuah rumusan yang mengatakan,
bahwa kekuasaan sejatinya mengandung kecendrungan alamiah dalam memelesetkan
para pemegangnya.
Power tends to
corrupt, and absolute power corrupt absolutely, kata Lord Acton.
Bahkan tak
berlebihan pula kalau Montesquieu dalam Le Esprit Des Lois diterjemahkan
sebagai The Spirit of Law mengklasifikasikan orang yang memegang kekuasaan ke
dalam tiga kecenderungan alamiah adalah sebagai berikut:
Pertama,
kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan.
Kedua,
kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan.
Ketiga,
kecenderungan untuk memanfaatkan kekuasaan. Inilah watak dasar kekuasaan.
Dengan demikian,
janji memang merupakan rangkaian tak terpisahkan dalam proses politik, namun
ternyata tidak semua janji politik berkualitas dan bernilai demokrasi.
Sebuah janji
politik bernilai demokratis, apabila menunjukkan peran serta rakyat untuk
mengawasi dan mengontrolnya.
Teori Kebenaran
Dalam dunia filsafat paling tidak dikenal ada tiga istilah teori
kebenaran.
Pertama, karena
pernyataan atau janji yang diucapkan sesuai dengan kenyataan yang di dalam
teori kebenaran dalam dunia filsafat dinamai kebenaran korespondensi
(Correspondence theory of truth) yang menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar
bilamana arti pernyataan seseorang atau kelompok, sesuai dengan kenyataannya.
Artinya, adanya
keselarasan antara pernyataan yang diucapkan atau yang dijanjikan dengan yang
sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam dunia politik teori ini memegang peranan
penting untuk melihat seberapa jauh kebenaran para elite politik terhadap janji
yang di ucapkannya selama kampanye berlangsung.
Kedua, teori
konsistensi. Teori ini adalah teori kaum idealisme yang identik dengan Plato
dan Ariestoteles.
Teori kaum
idealisme ini menyatakan bahwa kebenaran dapat diukur dengan melihat
konsistensi hubungan antara pernyataan yang baru dan pernyataan lainnya yang
kebenarannya telah kita ketahui dan telah diakui bersama.
Ada juga yang
menyatakan kebenaran dianggap benar bila pernyataan yang diucapkan saat ini
konsisten dengan pernyataan sebelumnya.
Dalam hal ini, kita
dapat mengukur bagaimana konsistensi para politisi dengan janji-janji
politiknya.
Sudah konsistenkah
ucapan yang diutarakan saat ini dengan apa yang sudah diucapkan sebelumnya?
Ketiga, teori
pragmatisme. Teori ini dikembangkan oleh William James. Teori ini menyatakan
bahwa suatu ucapan, hukum atau sebuah teori semata-mata bergantung pada asas
manfaat.
Menurut Penulis
yang asli Blora, Jabatan politik adalah
jabatan mulia dan karenanya pantas dimuliakan lewat kejujuran untuk menampilkan
diri apa adanya.
Maka jika kita
sepakat dan memaknai bahwa janji adalah hutang (apapun agama dan keyakinanya),
maka apakah janji politik Pilkada adalah termasuk katagori hutang yang harus
dibayar.
Artinya, jika janji
politik adalah merupakan janji akad kontrak politik kepada publik atau janji
kepada banyak orang yang harus ditepati, maka tidak ada alasan untuk tidak
ditunaikan.
“Wa awfuu bil’ahdi innal’ahda kaana mas
uulaa”
Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungjawaban. (QS. 17: 34)
Selamat Untuk Mas Arief Rohman & Mbak
Yuli Setyowati, Masa depan ada dipundak anda. Ayoooo “Sesarengan mBangun Blora”. ###
0 Comments
Post a Comment