INFOKU, BLORA -
Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Blora
bersama Tim Pendataan Cagar Budaya meninjau lokasi makam Potjut Meurah Intan di
komplek makam keluarga R. Ng. Donopuro di Dukuh Tegalsari, Desa Temurejo,
Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Rabu (6/1/2021).
Kepala Dinporabudpar Kabupaten Blora Slamet Pamuji melalui Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Kebudayaan Eka Wahyu Hidayat menyampaikan kegiatan itu dilaksanakan dalam rangka melengkapi data untuk regristrasi nasional (regnas) Makam Pocut Meurah Intan.
“Kemarin kita
melengkapi data untuk registrasi nasional Makam Potjut Meurah Intan. Karena
Keluarga dari Dono Muhammad menghendaki bahwa makam tersebut ditetapkan sebagai
Cagar Budaya. Kemarin yang ke lokasi saya dan tim pendataan Cagar Budaya (dulu
namanya tim regnas),” terang Eka,di Blora, Kamis (7/1/2021).
Ia menyebut untuk
sementara langkah yang dilakukan adalah melengkapi data regnas agar data
tersebut dapat terverifikasi.
“Dan selanjutnya
akan kita berikan data tersebut kepada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) untuk
dibuatkan kajian sehingga dapat direkomendasikan kepada Bupati untuk
ditetapkan,” jelasnya.
Sementara itu
Lukman Hadi (67) salah seorang putra R.Ng Dono Muhammad mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang membantu proses pengurusan makam Potjut Meurah Intan
sebagai cagar budaya di Blora.
“Terimakasih untuk
semua pihak yang telah membantu proses pengurusan makam Potjut Meurah Intan
sebagai salah satu cagar budaya di Blora,” ucapnya.
Hal senada
disampaikan oleh putra R.Ng Dono Muhammad lainnya, H. Jamil, “Semoga dengan
data-data yang saya berikan bisa membantu dan memperlancar untuk semua pihak
dalam kepengurusan makam Potjut Meurah Intan yang akan dijadikan cagar budaya,”
kata H. Jamil.
Berdasarkan
literasi yang diperoleh, Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga
bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah
merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh.
Ia juga biasa
dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau
ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah
Sagi XXII Mukim, Aceh Besar.
Setelah krisis
politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XXII
mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.
Suami Pocut Meurah
Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar
Alam Syah.
Tuanku Abdul Majid
adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau
berdamai dengan Belanda.
Karena keteguhan
pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda
sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di
perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid
sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di
pelabuhan Kuala Batee.
Dalam catatan
Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang
paling anti terhadap Belanda.
Hal ini di sebutkan
dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905", bahwa hingga
awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum
menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan.
Semangat yang teguh
anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga
merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan
pejuang-pejuang Aceh lainnya.
Setelah berpisah
dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak
putera-puteranya untuk tetap berperang.
Ketika pasukan
Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka
pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa
melakukan perlawanan secara bergerilya.
Dua di antara
ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi
terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap
Belanda.
Mereka menjadi
bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.
Pada bulan Februari
1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang
beroperasi di wilayah Tangse, Pidie.
Pada tanggal 19
April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke
Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda
No. 25. pasal 47 R.R.
Peningkatan
intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan
dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun,
sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan
pihak Belanda.
la mengalami luka
parah, dua retakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring
di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang
dicincang-cincang.
Pada luka-lukanya
itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat banyak kehilangan
darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan, luka-lukanya telah
berulat.
Mulanya ia menolak
untuk dirawat oleh pihak Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu.
Penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.
Setelah Pocut
Meurah Intan sembuh dari sakitnya, bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman,
ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja.
Sementara itu,
Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang
Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee.
Pada tanggal 18
Februari 1905, Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat
persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap
isteri dari Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami
mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.
Setelah Tuanku Nurdin ditahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim dibuang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana. (Endah/ist/TGH)
0 Comments
Post a Comment