(Penulis
Drs.Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan redaksi Tabloid Infoku Diolah dari 9 Sumber Berbeda
Memang dalam kehidupan ini yang paling sulit adalah jika kita berhutang budi dengan seseorang, karena hutang budi seperti kata pribahasa,“Hutang Emas Dapat Di Bayar, Namun Jika Hutang Budi Di Bawa Sampai Mati”.
Pribahasa tersebut memang benar benar di gunakan oleh orang orang yang berkepentingan dengan para elit pemerintahan dalam memenuhi hasrat ketamakan pribadi.
Sebagian dari mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah kesempatan, sementara sang Elit yang sudah terlanjur memiliki hutang budi juga tidak dapat menolak permintaan orang yang telah memberinya jasa.
Maka
apa yang terjadi?, pastinya akan banyak masalah yang timbul, dan pelayanan
terhadap masyarakat akan menurun.
Saya
akan memberikan satu contoh kasus mengenai Bahayanya politik balas budi dalam
sektor kepemrintahan, “ ada seorang pegawai rendahan di pemerintahan yang
memiliki jasa kepada atasan nya, ia bermaksud untuk minta naik jabatan walaupun
kapasitas kemampuan nya masih sangat jauh di ragukan.
Namun
apa hendak di kata sang atasan tidak dapat menolak permintaan tersebut, dan
singkat cerita sang pegawai rendahan tadi naik jabatan.
Kemudian
ada lagi, katakanlah seorang masyarakat biasa namun memiliki pamor di
masyarakat dan ia mengikat kontrak politik dengan Politikus berpengaruh yang
pada saat sebelum menjadi pejabat ia sebagai Tim sukses nya.
Setelah
sang politikus naik ke kursi panas ia pun meminta agar kerabat dekatnya
dijadikan pegawai, tidak ada penolakan dari sang politikus, senang atau tidak
senang, terpaksa ia harus memenuhi permintaan tersebut. walaupun kapasitas dan
kapabilitas kerabat dekat tim suksesnya tersebut masih meragukan.
Dari
fakta di atas coba saja anda bayangkan jika hal tersebut terus menerus terjadi,
maka Birokrasi akan lamban dalam berjalan, karena banyak orang yang
sesungguhnya tidak bisa bekerja dengan profesional memaksakan diri untuk
bekerja.
Sungguh
sesuatu yang sangat merugikan bagi bangsa ini jikalau para pegawainya banyak
yang tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Uang
negara yang sesungguhnya uang rakyat hanya akan habis di berikan dengan orang
orang yang tidak profesional.
Kalau
sudah begitu negara ini tidak usah ada lagi Test Pegawai negeri, karena test
pegawai merupakan suatu yang sia sia dan hanya membuang buang waktu.
kenapa
begitu ? ya jawaban nya ada pada Politik balas budi yang semua nya melalui lobi
lobi kepada para pejabat dan elit politik yang berkepentingan.
Hati-Hati
Politik Balas Budi yang Menjadikan Korupsi di Daerah
Kementrian Dalam Negeri mencatat 171 kepala daerah bermasalah dengan hukum.
Mulai
dari mengeluarkan sembarang izin, melancarkan proyek, dan korupsi dana APBD,
dari kebanyakan kasus, kepala daerah terlibat korupsi memang tidak berniat
menjadi abdi negara.
“Mereka
berkompetisi bukan karena pengabdian, tapi karena kekuasaan dan uang”.
Parahnya,
partai penyokong malah membiarkan.
Saat
berkampanye, kebanyakan penyokong dana merupakan orang luar partai.
Sebagai
imbalan, saat menjadi kepala daerah, proyek serta perluasan usaha harus
disetujui.
Masyarakat
belum siap berdemokrasi juga menjadi faktor penyulut kepala daerah terbelit
rasuah, begitupun ketika berkampanye, masyarakat tak segan menerima uang dari
tim sukses, alhasil ketika berkuasa, orientasi pertama ialah mengembalikan
modal menjadi kepala daerah. “Ada sistem balas budi,”
Berita
korupsi saat ini seperti tiada henti. Lebih-lebih penanganan kasus melibatkan
kepala daerah jumlahnya sudah mencapai 34 bersifat putusan tetap (in kracht).
Peran
otonomi daerah saat ini seperti pisau bermata dua, bisa merusak dan membabat
korupsi itu sendiri. Korupsi juga terjadi karena biaya tinggi untuk pemilihan
kepala daerah.
Dengan
kewenangan begitu luas digunakan untuk mencari dana buat ikut pemilihan lagi.
Kalau
dikatakan akibat otonomi daerah, bisa iya, bisa tidak. Penyebab lainnya karena
gagalnya penegakan hukum di daerah. Otonomi daerah saat ini sudah mencapai
desentralisasi radikal.
Penulis
menyayangkan pengawasan daerah hanya berpusat dalam Kementerian Dalam Negeri
dan tidak dialihkan kepada gubernur. Bahkan menurut penulis dengan otonomi
daerah saat ini peran gubernur seperti pengangguran karena kebijakan daerah
dipegang langsung oleh bupati dan wali kota.
Mereka
berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Ketika seseorang jadi gubernur
dia sudah mengalami disfungsi. Jabatannya mentereng tapi kewenangannya lebih
rendah dari bupati atau wali kota.
Meski
begitu, banyak orang masih ngotot mengejar jabatan itu lantaran uangnya banyak
namun kerjanya sedikit. Untuk mengurangi korupsi kepala daerah, pemerintah
pusat membagi kewenangannya kepada gubernur buat mengawasi bupati dan wali kota
di bawahnya.
Misalnya
sejak 2010 presiden langsung mengawasi semua peraturan daerah soal pajak dan
retribusi, Sejak di tangan presiden, nyaris tidak ada perda dibatalkan, tidak
terurus.
Pembatalannya
cukup di gubernur, jangan di Jakarta lagi. Problem otonomi daerah saat ini
adalah korupsi.
Sebab
sistem ini memberikan kuasa begitu besar soal wewenang dan dana, di mana ada
kekuasaan, di situ ada korupsi, Desentralisasi kita saat ini pincang.
Uang
diberikan banyak, kuasa luas, serta tidak diimbangi kontrol dan akuntabilitas.
Kepala
Daerah mudah melakukan korupsi karena sistem deteksi dan audit internal daerah
itu sendiri dimatikan, contohnya Badan Pengawas Daerah tidak berfungsi karena
diisi orang buangan dan yang menjelang pensiun.
Karena
itu, otonomi daerah dan korupsi saat ini seperti berjalan beriringan.
Walaupun saya tidak menulis seperti ini pun saya rasa hal ini merupakan rahasia umum, dari mulai pemerintahan pusat hingga ke pelosok daerah tetap saja Politik balas budi menjadi perioritas utama dalam menentukan suatu kebijakan.
Saya hanya dapat mengajak kepada para pembaca untuk bersama mendoa`kan semoga mereka yang melakukan politik balas budi dapat di bukakan pintu kesadaran, bahwa sesungguhnya hal tersebut sangat merugikan masyarakat umum.###
0 Comments
Post a Comment