INFOKU, BLORA - Pemerintah Desa
Bleboh, Kecamatan Jiken Kabupaten Blora mulai berbenah mewujudkan kawasan
gunung Pontang sebagai destinasi wisata edukasi budaya Wong Kalang.
Kepala
Desa Bleboh Leles Budiyanto mengatakan hingga saat ini telah melakukan
pemberdayaan masyarakat setempat dengan melibatkan relawan budaya desa Bleboh
untuk menata lokasi situs kubur batu Wong Kalang yang berada di kawasan
Perhutani petak 23C RPH Bleboh BKPH Nanas, KPH Cepu.
“Orang sini lebih lazim menyebutnya Gunung Pontang, karena letaknya seperti gundukan gunungan, meskipun sebenarnya itu adalah bukit,” kata Leles, di Bleboh, Kamis (29/10/2020).
Harapan Pemerintah
Desa Bleboh, kata dia, lokasi itu menjadi obyek wisata yang bisa menopang
pengembangan budaya setempat sehingga bisa mendukung Pendapatan Asli Daerah
(PAD) di desa Bleboh.
“Jadi ini rencana
dari pemerintah desa mau dikembangkan obyek wisata budaya yang lebih tertata
dan terkonsep, yang nantinya pengelolaan cagar budaya serta pengembangannya ini
melalui BUMDes. Nanti pada tahun 2021, insyaallah, bisa kita anggarkan melalui
dana desa,” jelasnya.
Leles menyebut
telah mengagendakan para relawan budaya setempat untuk membuat gazebo sebagai
tempat istirahat di lokasi Gunung Pontang.
“Saya terimaksih
kepada para relawan di Bleboh ini untuk pengembangan situs budaya,” ucapnya.
Menurut Kades
Bleboh, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Asper dan Mantri Perhutani
BKPH setempat yang hasilnya disepakati bersedia membantu pengelolaan situs
tersebut.
“Kemarin saya sudah
koordinasi dengan Pak Asper maupun Mantri Perhutani BKPH Nanas, dan menyatakan
kesanggupannya atau bersedia membantu pengelolaan situs budaya yang ada ini,”
kata Leles, Kades Bleboh.
Dari Pemkab Blora
sendiri, tambah Leles, juga sudah mendukung dan sudah beberapa kali melakukan
kunjungan ke lokasi.
“Hari Minggu
(25/10/2020) kemarin dari Dinporabudpar Blora dan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Pak Mantri saya undang, relawan juga saya
undang. Disitu kita bahas hal-hal pengembangan, pembangunan dan pengelolaan
yang ada di situs ini. Alhamdulillah semuanya mendukung,” jelasnya.
Termasuk dukungan
pembuatan gazebo difasilitasi oleh Asper dan Mantri Perhutani setempat.
"Untuk akses
jalan, kita bertahap, karena untuk pengembangannya butuh penganggaran yang bisa
kita anggarkan lewat dana desa dan mungkin bisa jadi bantuan dari pemerintah
kabupaten untuk melestarikan cagar budaya ini,” ungkapnya.
Selain itu, tambah
Kades Bleboh, dalam pengelolaan dan pelestarian situs cagar budaya juga bisa
menggandeng pihak ketiga.
"Dalam
pelestarian situs cagar budaya juga bisa menggandeng pihak ketiga,"
tambahnya.
Kepala
Dinporabudpar Blora Slamet Pamuji ketika dikonfirmasi terkait pemugaran makam
Wong Kalang dipertahankan semaksimal mungkin karena merupakan cagar budaya.
"Kalau
lingkungannya dimungkinkan bisa dipugar, tetapi kalau makam sendiri semaksimal
mungkin dipertahankan sebagai cagar budaya," ucapnya.
Seperti diketahui
sebanyak 15 makam kuno Wong Kalang ditemukan di kawasan hutan Desa Bleboh,
Kecamatan Jiken, Blora. Temuan baru ini menambah daftar makam Wong Kalang yang
ada di desa tersebut menjadi 23 makam. Jejak peradaban megalitikum itu harus
dijaga dan dilindungi.
"Sebelumnya di
Desa Bleboh sudah ada 8 makam yang ditemukan. Kemudian ditemukan baru, ada 15
makam. Jadi total ada 23 makam Wong Kalang di desa tersebut," terang
Kepala Bidang Kebudayaan Dinporabudpar Blora M. Solichan Mochtar mewakili
Kepala Dinporabudpar Blora Slamet Pamuji.
Oleh karena itu
jangan sampai dirusak karena ini menjadi aset budaya dan bisa dikembangkan jadi
wisata edukasi sejarah.
Dikatakan Solichan, peradaban Wong Kalang sudah ada sejak zaman sebelum
masuknya Hindu-Budha. Wong Kalang ini merupakan sub suku di Jawa yang tinggal
di kawasan hutan.
Mereka hidup di
kawasan Bojonegoro, Blora, Pati, dan sekitarnya. Biasanya makam Wong Kalang
ditandai dengan batu besar di atasnya. Di dalamnya biasa juga terdapat benda
berharga saat hidup yang turut dikubur atau yang disebut bekal kubur.
Makam batu besar
yang ditemukan itu, tidak sebagaimana lazimnya makam pada zaman sekarang,
khususnya makam Islam dengan posisi kepala di utara dan menghadap kiblat.
Melainkan dengan meletakkan kepala ke arah timur dan kaki ke arah barat.
Proses pemakaman seperti
itu menganut Konsepsi Chtonis, yang berpendapat, timur merupakan arah matahari
terbit sehingga bisa diartikan sebagai awal kehidupan.
Sedangkan barat
merupakan arah tenggelamnya matahari, yang dimaknai dengan akhir dari
kehidupan. Perjalanan menuju tempat ke lokasi itu tidak mudah dan perlu dipandu
oleh warga setempat.
Dari pusat kota
berjarak lebih kurang 27 kilometer, melewati simpang Desa Cabak di wilayah KPH
Cepu. Kondisi jalan melewati tengah hutan jati itu banyak yang berlubang.
Bahkan di antara lubang-lubang jalanan itu dipenuhi kubangan air.
Sekitar dua
kilometer dari tempat kubur batu Wong Kalang, harus menempuh jalan kaki
melewati jalan setapak. Kemudian melalui semak-semak penuh kerikil dan medan
yang sangat berat. Bisa juga dilewati dengan kendaraan bermotor roda dua, namun
harus ekstra hati-hati.
Makam batu dengan
lebar satu meter dan panjang 2,5 meter, dan beberapa di antaranya lebih kecil
sedikit dari ukuran itu, banyak yang sudah tidak utuh.
Menurut penuturan
Kamituwo Dusun Bendo Desa Bleboh, Ngatmiyanto, hal itu akibat diambil
orang-orang yang tidak mengetahui kalau itu adalah peninggalan bersejarah.
“Orang sini
mengenalnya sebagai tapaan. Tetapi setelah ada penelitian dari Balai Arkeologi
yang menyatakan lokasi itu adalah makam wong Kalang, barulah saya menyampaikan
kepada warga. Awalnya, warga tidak percaya, bahkan saya juga dikomplain tapi
akhirnya bisa dipahami,” kata dia.
Bahkan beberapa
benda peninggalan Wong Kalang kerap ditemukan warga di sejumlah tempat, seperti
sabit, golok, mata tombak dan pangot.
“Penemuan itu diserahkan kepada saya dan saya laporkan ke Dinporabudpar. Sebagian masih saya rawat untuk dibuatkan wrangka (wadah),” jelasnya. (Endah/KOM)
0 Comments
Post a Comment