Broker Kebencian pada Pilkada

 

(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber berbeda)

 

Tidak lama lagi, perhelatan demokrasi elektoral akan dilaksanakan. Kita bersyukur karena beberapa calon pemimpin sudah ditentukan dan kini sedang "mendekatkan" diri kepada masyarakat.

Konsolidasi politik seperti itu adalah keniscayaan dalam demokrasi elektoral, sebab hanya dengan begitulah publik bisa menilai siapa calon yang layak untuk diberi kepercayaan.


Rakyat memang pantas untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang calon pemimpin agar tidak salah dalam memberikan pilihan politik.

Tentu saja kita berharap agar para calon pemimpin menyadari bahwa mereka juga adalah "elite-elite sosial" yang mesti memberikan edukasi politik yang benar kepada rakyat.

Mereka harus mampu menampilkan diri sebagai tokoh yang memastikan bahwa momentum elektoral tidak menciptakan situasi distortif. Mereka harus menjadi agen yang mengindari bahaya polarisasi dalam masyarakat lantas menyebabkan sendi-sendi sosial terfragmentasi secara masif-destruktif.

Namun demikian, agaknya harapan seperti ini tidak mudah terwujud. Kalau kita perhatikan, cikal bakal distorsi dan polarisasi sudah mulai bermunculan. Ruang publik kita telah menjadi forum untuk menyebarkan politik kebencian.

Saling hujat kini mulai bertumbuh ibarat rumput di musim hujan. Kalau tidak diantisipasi secara baik, maka hal semacam ini akan memproduksi cara berpolitik yang nirdemokratis. Alih-alih menjadi momentum elektoral bermartabat, Pilkada kita bisa mengandung embrio perpecahan diantara masyarakat.

Broker/Makelar Kebencian

Harus diakui bahwa salah satu metode berkampanye yang akhir-akhir ni cukup tren (mungkin juga dipandang efektif) adalah viralisasi kebencian melalui ruang publik (seperti media sosial).

Kebencian didesain secara pragmatik, lantas menggunakan isu-isu sensitif sambil secara elegan mengaduk-aduk emosi publik.

Kekurangan calon pemimpin dieksploitasi lalu direproduksi untuk menjadi rujukan diskursus sosial yang tentu saja tidak sehat. Publik pun terkooptase lantas mengira bahwa isu valid. Padahal, yang menjadi orientasi dalam desain pragmatik seperti itu bukanlah soal benar atau salah, tetapi soal bagaimana tujuan mereka tercapai.

Kita memang tidak bisa memastikan siapakah dalang yang menciptakan cikal-bakal munculnya potensi keretakan dalam ruang demokrasi.

Namun demikian, saya meyakini bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang memang bertugas atau juga ditugaskan secara khusus untuk menciptakan kebencian dan memperkeruhnya menjadi gerakan yang "mempersekusi" calon atau lawan politik tertentu.

Merekalah yang oleh Cherian George (2016) disebut sebagai makelar yang berusaha meracik cara/motede lalu memutuskan apakah menjadi kepentingan mereka untuk memodifikasi provokasi menjadi gerakan publik.

Mereka memang tidak tampak secara fisik, tetapi efek destruktif dari apa yang mereka lakukan itu mampu menghancurkan tatanan sosial politik. Para makelar itu berusaha untuk menjebak publik agar antipati kepada calon tertentu.

Mereka berusaha menginsistrumentalisasi khalayak agar mengahakmi seseorang melampaui prosedur hukum atuapun etika publik tertentu.

Senjata mereka -sekali lagi -adalah isu-isu sensitif lantas diracik dengan tesis-tesis demokrasi untuk kemudian memberikan kesimpulan sepihak bahwa tokoh yang mereka lawan itu layak dibenci, tidak boleh diberi kekuasaan.

Problemnya adalah isu yang mereka jadikan sebagai rujukan untuk menghakimi calon tertentu itu belum tentu benar. Kendatipun benar, cara barbarian ala Machiavelli seperti itu tidak dapat dibenarkan apalagi jika menjadi habitus dalam praksis perpolitikan kita.

Selain itu, tindakan mereka tentu saja membawa efek negatif bagi calon yang mereka serang dan juga bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena calon itu dicitrakan sebagai seseorang yang tidak layak mendapat kekuasaan.

Dia "dipersekusi" dan dikeroyok secara masif lagi liar melalu media sosial. Dia dipersepsikan sedemikian negatif. Sementara itu, bagi calon bersangkutan, hal seperti ini juga jelas-jelas merugikan masyarakat sebagai pemilih.

Mengapa? Karena rakyat diperangkap dalam cara berpolitik "barbarian" yang mendiskreditkan seseorang tanpa acuan akal sehat.

Rakyat tidak diberi edukasi untuk memahami bahwa politik adalah matra suci, tetapi malah diajarkan untuk menjadikan politik itu setali tiga uang dengan kebencian.

Rakyat tidak diajarkan untuk menjadi pelaku aktif, otonom dan rasional dalam berpolitik, tetapi dikanalisasi agar memback-up hasrat politik destruktif.

Momentum elektoral yang diharapkan menjadi saat paling efektif untuk menciptakan proses elektoral demokratis yang sehat dan ugahari pun menjadi cita-cita yang sulit direalisasikan.

Rakyat yang sebenarnya menjadi aktor utama dalam berpolitik berubah menjadi hakim publik yang menilai, mendiskreditkan seseorang melampaui apa yang sebenarnya terjadi.

Momentum elektoral memang seringkali menjadi pengadilan politik bagi calon pemimpin yang tidak layak untuk diberi kekuasaan. Tetapi itu bukan berarti pengadilan publik kepadanya merujuk kepada hasrat-hasrat parsial dari sekelompok orang.

Selayaknyalah rakyat diberi ruang untuk mengelaborasi rekam jejak, kelebihan dan kekurangan, kapabilitas setiap calon untuk kemudian secara independen memutuskan untuk memberikan pilihan politik.

Bahwa dalam berpolitik, saling sikut itu lumrah. Namun demikian, "legalisasi" politik kebencian melalui ruang publik adalah sebuah penyangkalan terhadap esensi politik itu sendiri.

Sebab politik tidak pernah dan tidak boleh memproduksi kebencian, melainkan selalu berpilin erat dengan kebaikan, solidaritas, pluralisme dan cinta kasih. Kalau pun "saling mencela", maka basisnya adalah program dan bukannya serangan ad hominem. Program dan visi-misilah yang mesti dijual kepada publik.

Saya masih meyakini bahwa momentul elektoral merupakan saat yang paling efektif untuk memeberikan pencerdasan politik kepada rakyat. Jadi bukan hanya menjadi momentum untuk mendapatkan kekuasaan.

Karena itulah, elite politik mesti meracik cara dengan mengintegrasikan cara berkampanye yang berusaha untuk meredam munculnya kebencian melalui ruang publik.

Elite politik tidak boleh hanya secara seremonial mengkampanyekan cara berpolitik etis dan edukatif, tetapi mesti menjadi gerakan kolektif yang mengakar.

Mereka harus mendesain cara berkampanye agar pentas elektoral tidak menjadi ajang caci maki dan menjadikan kebencian sebagai rujukan elektoral.

Adalah lebih baik jika kelompok yang bekepentingan dalam pentas elektoral bahu membahu berusaha melahirkan peradaban politik bermartabat. Mereka tidak boleh menjadi makelar kebencian yang berusaha untuk memproduksi dan mereproduksi isu-isu nir-esensial demi afiliasi dengan calon tertentu.

Kita sudah lelah dengan ketidakadilan sosial dan seyogianyalah pentas elektoral menjadi momentum tepat untuk mencari cara memberantas ketidakdilan itu. Amat disayangkan jika pentas politik elektoral menggiring rakyat untuk terlibat diskursus yang justru tidak mencerminkan karakter perpolitikan kita.###

Baca model tabloid 
Gambar Klik Kanan, pilih buka Link baru




Post a Comment

0 Comments