INFOKU,BLORA =
Dokter Galih Puspitasari menyampaikan testimoni setelah menjalani parawatan dan
dinyatakan sembuh dari Covid-19. Ia adalah seorang dokter di RSUD dr R
Soetijono Blora yang sengaja dihadirkan oleh bupati Blora Djoko Nugroho untuk
menyampaikan pengalaman dan pesan kepada warga masyarakat dalam konferensi pers
di media center posko Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19
kabupaten Blora, Senin (22/6/2020).
“Perkenalkan
saya dokter Galih Puspitasari yang selama ini ramai diberitakan di media
sosial, media online tentang tenaga medis di RSUD Blora yang terkena Covid-19,”
ucapnya membuka acara.
Menurutnya, memang
benar, bahwa pada mulanya mengalami demam tinggi di atas 40 derajat yang
awalnya kecapekan.
“Saya rasa itu
karena kecapekan, tetapi setelah saya jalani semalam, sudah minum obat penurun
panas, tapi masih saja tinggi,” ungkapnya.
Kemudian, karena
dirinya merasa yang beresiko tinggi sebagai tenaga medis yang setiap kali masuk
menerima PDP meskipun belum jelas pasien tersebut, swab nya negatif atau
positif.
“Tetapi PDP itu
artinya sudah mengarah ke Covid-19 sehingga saya harus memperlakukan diri
sebagai pasien Covid-19 juga,” jelasnya.
Dirinya langsung
isolasi di dalam rumah, di dalam kamar, supaya tidak kontak dengan keluarga
karena di dalam rumah isinya lanjut usia semua di atas 60 tahun.
“Jadi saya merasa
semua beresiko untuk tertular. Untuk meminimalisirkan semua itu, selama demam
hari pertama sampai hari ketiga, saya di dalam kamar terus, hingga saya
dinyatakan harus rawat inap,” ungkapnya.
Dari hasil lab
pertama, lanjutnya, limfositopenia dan trombositopenia ringan. Kemudian hasil
C-Reaktif Protein (CRP) resiko sedang Covid-19. Hasil rontgen dada pertama
masih batas normal.
“Kemudian dilakukan
CT Scan dada, ternyata khas sekali untuk mengarah ke Covid-19, yaitu adanya
ground glass opacity. Itu khas sekali untuk Covid-19 ini,” bebernya.
Selanjutnya seiring
dengan siapnya ruang isolasi RSUD Blora, ia diminta untuk rawat inap. Memang
berat keputusan rawat inap di ruang isolasi karena harus mejalani rawat inap
sendirian di dalam kamar yang ukurannya 3 X 5 meter, tanpa ada AC, karena harus
bertekanan negatif supaya udara tidak menyebar kemana-mana.
Penyakit 1000 Wajah
“Saya menjalani
rawat inap kurang lebih selama 11 hari, dan total demam saya selama 10 hari.
Perasan sedih, kecewa pasti ada, manusiawi, tapi saya rasa tidak harus larut
pada semua itu. Saya harus bangkit, saya harus tetap makan meskipun mual. Jadi
gejala saya hanya demam dan mual. Tidak ada sesak nafas, nyeri tenggorokan dan
batuk,” kisahnya.
Ia mengatakan bahwa
Covid-19 disebut penyakit 1.000 wajah. Maka, ada pasien yang keluhannya demam
dan mual ternyata hasil swab positif. Atau bahkan tidak bergejala tapi swab nya
positif.
“Karena ini
penyakit 1.000 wajah yang mampu menempel di sebuah receptor yang akrab dengan
Covid-19. Dan itu berada di hampir seluruh tubuh,” ungkapnya.
Kalau menempel di
mata, maka gejalanya akan menempel di mata demikian pula ketika menempel di
saluran pernafasan atau di saluran pencernaan dengan gejala diare. Termasuk di
kulit, gejala yang khas juga ada di kulit.
“Jadi ini disebut
one thousand faces disease atau penyakit 1.000 wajah,” ujarnya.
Begitu sulitnya
untuk menegakkan diagnosis karena 1.000 wajah, sehingga terkadang meskipun
rapid test non reaktif tapi swab positif. Itu akan sering terjadi, karena rapid
itu ditentukan pembentukan antibodi di dalam pasien.
“Saat itu rapid
saya non reaktif, saya dicek rapid pada hari ke delapan. Sudah sesuai teori,
yang tentunya sudah terbentuk antibodi, tapi kenapa saya non reaktif,
kemungkinan tubuh saya belum membentuk antibodi, kemungkinan kondisi tubuh yang
drop sehingga belum terbentuk antibodi yang sempurna dan tidak bisa dideteksi
oleh alat sebagai hasil yang reaktif ,” lanjutnya.
Selama menjalani
rawat inap isolasi, kata dia, alhamdulillah mendapat dukungan positif dari
teman dan masyarakat.
“Itu karena teman
saya tenaga medis, mungkin akan berbeda dengan masyarakat awam,” kata dia.
Dikatakannya,
Covid-19 itu bukan penyakit sosial, ini adalah penyakit infenksius yang dapat
menyerang siapa saja. Memang resiko tertinggi adalah tenaga medis dan
orang-orang yang kontak erat dengan masyarakat banyak misalnya Sat Pol PP,
petugas pelayanan umum di bank, di pasar.
“Itu resikonya
termasuk tinggi,” ucap dia.
Oleh karena itu,
tambahnya, kepada masyarakat diminta tidak menganggap penyakit stigma sosial,
jangan takut untuk terdiagnosa Covid-19 apabila sakit.
“Ikutilah alurnya,
ikutilah semua pemeriksaan sesuai anjuran dari dokter yang memeriksa,” ajaknya.
Kalau misalnya
terdiagnosa Covid-19 lebih dini, maka terapi dan harapan hidupnya akan lebih
bagus, daripada menolak. Kalau sakit, kata dia, anggaplah diri kita itu
Covid-19 karena ini era pandemi.
“Karena ini bukan
penyakit sosial yang harus dikucilkan, yang bahkan harus diusir, meskipun
alhamadulillah saya tidak mengalami seperti itu,” ujarnya.
Tetapi, dirinya
cukup terharu dan merinding ketika membaca berita ada yang positif Covid-19
diusir. Ada yang positif Covid-19, tukang sayur tidak mau ke rumah.
“Selama saya
isolasi di rumah, keluarga saya juga mengalami karantina. Alhamdulillah tukang
sayur masih lewat,” jelasnya.
Belinya, tukang
sayur berada di depan rumah tetangga depan rumah agak jauh, nanti yang
mengantarkan ditaruh di atas pagar, dan dengan uang pas.
“Alhamdulliah untuk
saya tidak ada stigma negatif maupun keluarga saya, tapi cukup merinding dengan
kabar masyarakat yang banyak stigma,” katanya.
Kemunculan stigma
inilah, menurut dia, yang membuat masyarakat enggan, malu atau takut
terdiagnosa Covid-19.
Hasil
Swab Test dua kali
Dijelaskannya,
setelah menjalani rawat inap, dirinya menjalani isolasi mandiri selama 14 hari
sampai dengan dinyatakan hasil swab test dua kali berturut-turut negatif.
“Total swab yang
saya lakukan selama 67 hari, sebanyak 10 kali swab test. Sempat ada perasaan,
kenapa tidak sembuh-sembuh, virus ini kenapa tidak mau keluar dari badan saya,”
jelasnya.
Menyikapi kondisi
itu, dirinya sempat membaca teori, kemungkinan itu badan virus yang masih tersisa
dan virus yang mati, masih tersisa di dalam tubuh.
“Meskipun itu
teorinya tidak infeksi, tetapi saya tetap mematuhi protokol bahwa saya harus
isolasi mandiri sampai dinyatakan negatif dua kali berturut-turut. Kita tidak
tahu, makhluk itu kecil, kita tidak tau akan menulari sekitar,” kata dia.
Ia berpesan kepada
masyarakat, setiap menghadapi masalah ini supaya dihadapi dengan tenang karena
pandemi ini adalah masalah kita semua, masalah seluruh dunia.
“Hadapilah dengan
tenang, jangan panik. Karena kalau panik kita akan mudah terprovokasi.
Hadapilah dengan cemerlang, setiap membaca berita, bacalah dengan seksama,
sumbernya benar atau tidak. Atau tanyakan ke penyebar berita. Ini sumbernya
dari mana,” ajaknya.
Jika sedang kena
Covid-19 dan sedang menjalani rawat inap, diminta untuk menghadapi dengan
sabar.
“Ridho akan
ketetapan Allah. Karena saya yakin ini adalah bagian dari ketetapn-Nya. Saya
menjadi pasien Covid-19 karena memang terpilih daru Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
menjadi pasien Covid-19,” paparnya.
Berikutnya adalah
ikhlas. Karena dengan ikhlas kita akan bisa menghadapinya dengan baik. Dengan
semangat, jangan mudah terlarut dalam kesedihan.
“Life must go on.
Hidup terus berjalan. Covid-19 ini bisa disembuhkan, nyatanya saya sembuh
setelah melewati berbagai keadaan, demam, lemas, mual. Alhamdulillah saya
dinyatakan sembuh per tanggal 16 Juni 2020 dari hasil swab dua kali negatif,”
ucapnya.
Kalau ada yang
meninggal, kata dia, karena ada penyakit penyerta yang mudah menurunkan sistem
imun atau sistem kekebalan tubuh kita.
“Jadi untuk melawan
virus yang termasuk baru di dunia ini, membutuhkan sel imun yang ekstra. Itulah
kenapa banyak pasien meninggal yang terdiagnosa Covid-19 ini,” ungkap dokter
Galih.
Ditegaskan, bahwa
Covid-19 ini adalah nyata, bukan sebuah tulisan, bukan sebuah berita, tetapi
Covid-19 ini nyata adanya.
“Bukan dibuat untuk
sebuah tujuan, tapi nyata adanya, saya terkena Covid-19 dan alhamdulillah
sembuh,” tandasnya.
New
Normal Tatanan Hidup Baru
Bagi masyarakat, di
dalam era new normal ini, tidak perlu larut dalam keterlarutan dan kesedian.
Artinya, kata dia, di tengah pandemi tetap harus beraktivitas. Apapun aktivitas
positif yang bisa dilakukan.
“Namun new normal
ini bukan berarti sudah normal. Melainkan hidup di kehidupan dengan tatanan
normal yang baru,” terangnya.
Yaitu dengan
memakai masker, cuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, jaga jarak ketika
berhadapan, sekitar 1 hingga 1,5 meter. Kemudian physical/social distancing,
olah raga, asupan gizi yang seimbang, istirahat yang cukup dan kelola stress.
“Karena stress itu
menurunkan imun,” ucapnya.
Kemudian stay at
home. Kalau tidak ada kepentingan yang mendesak ke luar rumah kecuali untuk
bekerja atau membeli kebutuhan yang memang mendesak tetaplah tinggal di rumah.
“Terutama yang
punya penyakit penyerta, dan anak-anak serta lansia,” tambahnya. (aaaaendah/KOM)