Korupsi
vs Opini WTP
(Penulis Drs Ec Agung Budi
Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber
berbeda)
Banyak pemerintah daerah mendapat opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tapi mengapa korupsi jalan terus? Pertanyaan
sekaligus keluhan ini pernah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada
satu kesempatan bertemu dengan para kepala daerah. Sri Mulyani mengatakan,
mestinya jika sudah WTP, makin sulit terjadi penyimpangan karena sudah
terbangun sistem pengendalian internal yang baik. Faktanya, saat ini banyak kepala
daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Memang, opini audit
WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi idaman para pengelola keuangan
negara. Para pejabat kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah
berlomba memperoleh opini tersebut.
Terlebih, pemerintah
menjadikan opini WTP sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan tata kelola
yang baik (good governance). Untuk kepala daerah yang
berlaga dalam pemilihan kepala daerah, opini WTP menjadi isu positif yang bisa
dijual kepada masyarakat.
Masalahnya, opini WTP
ternyata tidak menjamin bebas dari korupsi. Di beberapa lembaga yang memperoleh
WTP, pejabatnya malah tersangkut korupsi. Misalnya, Kementerian Agama mendapat
WTP, belakangan ditemukan korupsi, bahkan Menteri Agama terjerat korupsi. Di
Sumatera Utara, mendapat WTP tapi Gubernur terlibat korupsi. Hal sama terjadi
di beberapa lembaga pemerintah.
Kasus korupsi pada
lembaga yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK.
Tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjualbelikan. Tidak keliru jika
pandangan masyarakat kepada BPK menjadi jelek.
Sebab, masyarakat
tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka,
jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi, maka auditnya pasti salah.
Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP
bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi.
Keterbatasan Audit
Setiap tahun BPK
memeriksa laporan keuangan lembaga pemerintah dengan tujuan memberi opini atas
kewajaran laporan keuangan. Menurut standar audit, ada empat jenis opini sesuai
dengan tingkat kewajarannya, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan
Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW), dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Agar
laporan keuangan memiliki keandalan dan dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan, maka harus disusun sesuai standar akuntansi.
Opini WTP diberikan
jika dalam segala hal yang material, laporan keuangan sudah sesuai dengan
standar akuntansi keuangan. Sedang WDP jika ada ketidaksesuaian yang material
pada satu atau beberapa pos laporan keuangan, namun tidak mempengaruhi
kewajarannya secara keseluruhan.
Sementara, TW jika
laporan keuangan mengandung salah saji yang sangat material atau sangat
menyesatkan sehingga tidak menyajikan secara wajar. TMP atau disclaimer jika
auditor dibatasi geraknya, tidak bisa mengumpulkan bukti audit dengan nilai
sangat material sehingga kewajaran laporan keuangan diragukan.
Dalam audit, auditor
menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri. Pada
umumnya auditor melakukan audit secara sampling karena tidak mungkin memeriksa
seluruh transaksi, apalagi pada perusahaan besar atau entitas pemerintah yang
menggunakan anggaran besar. Diperlukan biaya besar dan waktu lama untuk
memeriksa seluruh populasi. Manfaat informasi dalam laporan keuangan juga
sia-sia (menjadi basi) jika waktu pemeriksaannya lama, sementara informasi
dibutuhkan segera untuk pengambilan keputusan.
Selain itu, sebagai
konsekuensi metoda sampling, audit menerapkan konsep materialitas.
Auditor akan membuat suatu perhitungan untuk menentukan batasan suatu transaksi
dinilai material. Makin besar volume keuangan yang diperiksa, maka batas
materialitasnya makin besar.
Jika auditor memeriksa
lembaga dengan jumlah aset Rp 5 triliun tentu akan beda batas materialitasnya
dengan yang asetnya Rp 1 triliun. Misal dengan perhitungan tertentu, auditor
menetapkan batas materialitasnya Rp 50 juta.
Maka, auditor akan
fokus mengambil sampling transaksi dengan nilai lebih dari Rp 50 juta. Di sini
ada risiko auditor tidak menemukan suatu penyimpangan pada transaksi di bawah
Rp 50 juta karena tidak di-sampling. Celakanya, bisa jadi penyebab
penyimpangannya adalah korupsi.
Penggunaan sampling merupakan
praktik yang lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar pengujian
sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko ada salah saji
material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisis risiko dan metoda sampling yang
tepat, maka risiko tersebut dapat dikurangi.
Mark
up Anggaran
Auditor yang memeriksa
sektor publik menghadapi situasi yang sangat kompleks. Nilai dan jumlah
transaksi di pemerintahan sangat besar, bahkan bila dibandingkan dengan suatu
perusahaan yang besar sekalipun. Biaya untuk membangun infrastruktur seperti
jalan, jembatan, dan bangunan publik sangat besar. Biaya untuk membayar gaji
pegawai dan berbagai kegiatan juga sangat besar. Sering ditemukan penyimpangan
berupa kemahalan harga (mark-up), pembelian barang dan jasa tidak layak,
fiktif, dan lain-lain. Hal tersebut timbul karena praktik korupsi dan kolusi di
pemerintahan sangat luas (massive).
Situasi itu sangat
menyulitkan auditor, karena auditor selalu bekerja berdasarkan data yang
diperoleh di lapangan. Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data
(fakta) yang diterima auditor sering bersifat "rekayasa" yang disusun
sangat rapi sehingga sulit dideteksi. Dengan banyaknya praktik penyimpangan,
meskipun sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda
sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi atau
kegiatan yang luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi
oleh penegak hukum.
Dengan keterbatasan
audit dan faktor lingkungan yang koruptif, maka sangat sulit bagi BPK untuk
menjamin opini WTP bebas dari korupsi. Audit memiliki keterbatasan dalam
pengambilan sampel audit karena tidak semua transaksi diperiksa. Bisa terjadi,
untuk sejumlah transaksi yang tidak diambil sebagai sampel, justru terjadi
korupsi. Apalagi, jika sifatnya penyuapan kepada pejabat publik, sangat sulit
dideteksi dari transaksi yang diaudit. Kasus suap umumnya berkaitan dengan
transaksi pelayanan perizinan, pemberian konsesi, jual beli jabatan, dan
jasa-jasa lainnya yang sifatnya tidak berupa penggelapan aset negara.
Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan, masyarakat harus menyadari bahwa opini WTP merupakan
penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan
keuangan bukan jaminan tidak ada korupsi. Sepanjang tidak ada penyimpangan yang
material dari standar akuntansi, maka opini WTP bisa diberikan.
Jika dimaksudkan untuk
menemukan korupsi, maka lebih tepat melalui audit investigatif. BPK sebagai
lembaga audit negara, selain memeriksa laporan keuangan juga perlu meningkatkan
jumlah dan kualitas pemeriksaan investigatif.
Jika hal ini dilakukan oleh BPK, maka keluhan soal opini WTP tapi
korupsi kok jalan terus akan makin berkurang. Walhasil, ke depan sudah
semestinya makin banyak pemda dan instansi lain menerima opini WTP, maka makin
berkurang pula korupsinya.###
Baca Model tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru