Mutasi Aparatur Sipil Negara
Sebuah Polemik
(Penulis Drs Ec Agung Budi
Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber
berbeda)
MARAKNYA kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap bupati, wali kota, dan gubernur menjadi
catatan kelam bagi kinerja kepala daerah.
Terakhir, pada Juli lalu, KPK melakukan OTT
terhadap Bupati Kudus yang antara lain terkait dengan kasus dugaan suap jual
beli jabatan dalam mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Begitu pula dalam kasus OTT kepala daerah
sebelumnya, kasus suap jual beli jabatan dalam mutasi jabatan ini sering
menjadi penyebab dijadikannya kepala daerah sebagai tersangka.
Sehingga muncul perbincangan dan opini di
Masyarakat bahwa Jabatan itu mahal, “Jer Basuki
Mawa Bea”.
Jika merujuk pada perundang-undangan, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pejabat
yang berwenang untuk menetapkan mutasi disebut dengan pejabat pembina
kepegawaian.
Pejabat pembina kepegawaian tersebut antara lain
adalah kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota. Selain
itu, dalam mutasi juga melibatkan Badan Kepegawaian Negara, di luar mutasi
untuk satu lingkup instansi pusat dan instansi daerah.
Maka jelas terlihat kewenangan yang besar bagi
kepala daerah dalam menetapkan mutasi bagi ASN di daerah, yang justru saat ini
banyak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan menguntungkan diri sendiri.
Padahal, apabila merujuk pada peraturan
perundang-undangan mengenai ASN, mutasi harus dilakukan berdasarkan pada sistem
meritokrasi, yaitu mutasi harus di dasarkan kualifikasi, kompetensi, dan
kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik,
ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur,
atau kondisi kecacatan.
Tujuan sistem ini antara lain agar mutasi
sebagai bagian dari manajemen ASN dapat bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Hal ini sesuai dengan definisi manajemen ASN itu
sendiri, yaitu pengelolaan ASN untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional,
memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Namun, pada kenyataannya kini justru mutasi yang
merupakan manajemen ASN tersebut tidak dapat begitu saja terbebas dari praktik
KKN.
Terdapat beberapa faktor mengapa hal ini sering
terjadi pada pelaksanaan mutasi, khususnya untuk mutasi ASN di daerah. Pertama,
masih sering terjadinya spoils system dalam proses
mutasi.
Spoils system adalah pengangkatan atau penunjukan karyawan yang
berdasarkan selera pribadi atau berdasarkan kepentingan suatu golongan (Slamet
Saksono, Administrasi Kepegawaian: 1995).Adanya spoils
system inilah yang kemudian menyebabkan budaya korupsi, kolusi, dan
nepotisme masih terjadi di tubuh birokrasi.
Kedua, pengawasan yang belum berjalan secara maksimal, baik yang dilakukan
pengawas internal maupun pengawasan eksternal.
Sinergitas lembaga pengawasan, yaitu Badan
Kepegawaian Negara (BKN), Badan Kepegawaian Daerah (BKD) sebagai pelaksana dan
pengawas mutasi di daerah, atasan pejabat yang berwenang untuk memutasikan,
aparat pengawas internal di daerah.
Dalam hal ini inspektorat daerah, dan tentunya
lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai
lembaga nonstruktural yang memonitoring dan mengevaluasi penerapan sistem
meritokrasi.
Namun, dalam memaksimalkan tugas dan fungsinya,
terdapat kekurangan yang terkait dengan kedudukan KASN. Sebab saat ini KASN
hanya berada di pusat saja dan tidak terdapat perwakilan di daerah.
Padahal, terdapat fungsi yang cukup penting dari
KASN, yaitu apabila terjadi penerapan manajemen ASN yang tidak berdasarkan
sistem merit, dalam hal ini terdapat praktik KKN pada mutasi ASN, terutama yang
kini sangat sering terjadi di daerah.
Di mana dalam hal tersebut KASN dapat
merekomendasikan kepada presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap pejabat
pembina kepegawaian dan pejabat yang berwenang yang melanggar prinsip sistem
meritokrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 bahwa terdapat sanksi bagi kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang,
barang, dan/atau jasa dari pihak lain, yang memengaruhi keputusan atau tindakan
yang akan dilakukan akan dikenakan sanksi administratif pemberhentian dengan
prosedur dan tata cara sesuai dengan apa yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan tersebut.
Di samping terdapat pula hukuman pidana karena
telah melakukan tindak pidana korupsi yang dijatuhkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berlaku pula dengan ASN yang telah
melakukan suap dalam mutasi jabatan.
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada UU
Nomor 5 Tahun 2014 dan PP Nomor 11 Tahun 2017, suap termasuk dalam kejahatan
jabatan. Pasal 87 UU Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa pegawai negeri sipil
(PNS) yang merupakan ASN akan dikenakan pemberhentian tidak dengan hormat
apabila melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan
yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Di samping itu juga dijatuhi hukuman pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, adanya perbaikan proses rekrutmen atau seleksi sumber daya manusia (SDM)
untuk menduduki jabatan sebagai kepala daerah dan sebagai ASN untuk
menghasilkan pejabat ataupun ASN yang berintegritas.
Dalam hal kepala daerah yang nanti akan
diberikan kewenangan untuk memutasikan ASN sebagai pejabat pembina kepegawaian,
maka hendaknya sistem seleksi dirancang lebih ketat.
Namun, berbicara seleksi kepala daerah tidak
akan lepas dari ketentuan yang mengatur syarat, yaitu pada Pasal 7 ayat (2)
huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi
Undang-Undang.
UU ini mengatur bahwa salah satu syarat menjadi
calon kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan
terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana.
Pada akhirnya ketentuan ini terlihat tidak tegas
melarang calon kepala daerah yang menjadi mantan terpidana khususnya mantan
terpidana korupsi untuk menjadi kepala daerah dan nantinya akan diberikan
kewenangan dalam memutasikan ASN.
Hal ini jelas dapat menjadi penghalang bagi
terlaksananya sistem meritokrasi itu sendiri, mengingat rekam jejak calon
kepala daerah pernah melakukan tindak pidana korupsi yang akan berisiko jika
menduduki jabatan kepala daerah.
Begitu juga untuk rekrutmen calon ASN, rekrutmen
dilaksanakan lebih ketat.
Contohnya, jangan hanya sampai pada tahapan
Seleksi Kompetensi Dasar, namun juga perlu hingga tahap psikotes maupun
wawancara karena pada tahapan itulah kurang lebih dapat dilihat bagaimana
kualitas seseorang yang ingin menjadi ASN.###
Baca Model tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru