Idul Fitri sebuah
Transformasi Diri
(Penulis Drs Ec Agung
Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber berbeda)
TENTU saja bagi seorang muslim, hari Lebaran merupakan
momen-momen menggetarkan, hari raya yang kedatangannya sangat ditunggu.
Tak ubahnya Natal bagi umat kristiani atau Nyepi bagi kalangan Hindu di
Bali.
Setelah satu bulan penuh berpuasa, kedatangan Idul
Fitri seperti ulat yang keluar dari kepompong untuk menemukan suasana baru.
Sang Nabi menyebut selepas puasa Ramadan itu seseorang
menjadi suci.
Idul Fitri artinya kembali kekesucian.
Suci karena Ramadan telah membakar dosa dan
kekhilafan.
Lewat kuali Ramadan, kesalahan itu dihanguskan dan
manusia dikembalikan ke titik nol, titik awal keberangkatan.
Menginjak satu Syawal dengan keinsafan dan semangat
baru yang kebaruan itu sepenuhnya diacukan pada jangkar kekuatan spiritual.
'Kebaruan' itu penting sebab suasana seperti ini
biasanya yang dapat menyuntikkan harapan gemilang dalam meretas sejarah masa
depan.
Kebaruan sebagai pandu untuk memutus sejarah kelam
masa silam.
konteks sosial kebangsaan, pemerintahan dan pejabat
yang menawarkan sistem baru yang biasanya mendapatkan respons positif dari
masyarakat.
Sistem dan mentalitas lama biasanya diidentikkan
dengan segala bentuk cela, cacat, dan kecurangan.
Maka kewajiban kita itu adalah merawat kesucian.
Bagaimana spirit Ramadan terus-menerus mengawal kita agar tidak jatuh dan
tersekap dalam tindakan yang dapat mengotori makna kesucian.
Kesucian yang dapat menyelamatkan seseorang ketika
kembali ke pangkuan Zat Yang Mahasuci, kepada Yang Kudus.
Itu mengingatkan saya pada puisi Ajip Rosidi yang
berjudul Hari Lebaran.
'Hari ini hari hati percaya/akan arti hidup dan mati
yang cuma sempat/Direnungkan setahun sekali.
Sungguh besar maknanya/Jalan panjang menuju
liang-lahat/Hari ini hari kesadaran akan tradisi/Menyempatkan umat sejenak
bersama-sama/Menghirup udara lega dalam kepungan derita/Sehari-hari yang bikin
orang jauh-menjauhi/Hari ini hariku pertama 'kan menjalani/Hidup antara
manusia, sedangkan diriku sendiri/Makin sepi terasing, lantaran
mengerti/Kelengangan elang di langit tinggi'.
Menebarkan maaf
Di hari raya ini dengan lapang kita tebarkan maaf
kepada sanak saudara dan handai tolan.
Maka Idul Fitri sering juga disebut Lebaran, saling
melubarakan, saling memaafkan.
Sebab secara ontologis manusia ialah makhluk yang
tidak lepas dari kesalahan, permaafan menjadi pintu masuk mengurai kesalahan
itu.
Manusia bukan malaikat yang tidak pernah keliru, juga
bukan setan yang selamanya tersesat. Manusia berada dalam dua pendulum, antara
tarikan kebenaran dan godaan kesalahan.
Antara mendekat ke malaikat atau jatuh dalam pelukan
setan-kebinatangan.
Antara dunia terang dan terseret gelombang arus
kegelapan.
Faalhamaha fujuraha wa taqwaha.
Dalam diri manusia mengalir potensi fujur (negatif)
dan potensi takwa (positif).
Mana di antara keduanya yang lebih dominan? Di titik
ini sesungguhnya hakikat 'jihad' itu harus diletakkan.
Jihad yang paling besar kata Sang Nabi bukan militansi
mengacungkan pentungan dengan pekik Allahu Akbar sambil menganggap kafir mereka
yang tak sama haluan pemahaman dan kepercayaannya, melainkan pertempuran dalam
jiwa di antara kedua potensi itu.
Ketika fujur yang menjadi kiblat, manusia bisa lebih
setan ketimbang setan, bisa lebih nestapa daripada satwa.
Sebaliknya, saat takwa yang menjadi landasan, manusia
harkatnya dapat melampaui malaikat, naik ke takhta spiritual yang paling
puncak.
Dengan air muka cerah penuh bahagia kita ulurkan
tangan untuk bersalaman sambil mengucapkan permaafan lewat ungkapan minal aidin
wal faizin taqabbalallahu minna waminkum.
Tidak saja keluarga yang masih hidup yang dikunjungi
untuk bersilaturahim, malah leluhur yang telah lama meninggal pun kita ziarahi
dan doakan untuk keselamatannya di alam baka.
Dalam konteks budaya keindonesiaan, kunjungan demi
silaturahim itu bisa jadi harus menempuh jarah ratusan kilometer dengan
kemacetan yang sudah rutin, atau apa yang kita sebut dengan tradisi mudik itu.
Ribuan pemudik bahkan lebih pada saat bersamaan rela
berjejalan dan terpanggang di jalanan demi menuntaskan kerinduan purba ke
kampung halaman, menyelesaikan kerinduan terhadap asal usul kulturalnya.
'Kampung halaman' sebagai tempat yang dituju interaksi
simbolisnya tidak saja merujuk kepada makna geografis, tapi juga spiritual.
Di tangan kaum pemudik, seolah jarak itu dilipat.
Bagi mereka tidak ada yang abadi kecuali kenangan
terhadap 'kampung halaman'.
Kenangan yang dalam fakta mentalnya tidak bisa
dikuburkan walaupun telah lama mengembara menjadi bagian dari masyarakat urban.
Sejauh apa pun mengembara, ujungnya tak lebih hanya
proses kultural-psikologis menanam kenangan itu untuk minimal satu tahun sekali
diekspresikan dalam katup wujud mudik yang heroik itu.
Mungkin secara sosiologis hanya di kepulauan Nusantara
orang pulang kampung secara serentak bahkan negara harus ikut terlibat, ambil
bagian menertibkan dengan sandi yang bertemali dengan makanan khas
Lebaran; Operasi Ketupat! Mengapa ketupat?
Bisa jadi ada benarnya apa yang dibilang Claude Levi
Strauss, seorang antropolog berkebangsaan Prancis, bahwa 'makanan' itu tidak
hanya berurusan dengan perut tapi dapat menjadi indeks kebudayaan yang lebih
luas.
Saya tidak tahu apakah atas kesadaran ini jajaran
kepolisian mengambil ketupat sebagai simbol dalam mengelola lalu lintas di hari
raya.
Dalam praktiknya, ternyata bukan sekadar pulang
kampung, melainkan juga narasi yang diriwayatkannya kepada kaum kerabat dan
para tetangga tentang kota yang ditumpanginya, sering kali menebarkan daya
pikat kepada masyarakat yang masih berada di desa itu untuk ikut merantau
mempertaruhkan nasibnya ke kota.
Akhirnya lewat Lebaran kota mengepung desa dan selepas
Lebaran desa mengepung kota.
Atmosfer
religiositas
Harus diakui bahwa selama Ramadan biasanya indeks
kesalehan seseorang meningkat.
Tidak saja puasa yang dilakukan, tetapi juga segenap
kebaikan ditunaikan dengan penuh keikhlasan.
Zakat, sedekah, bangun malam, dan tadarusan menjadi
bagian tidak terpisahkan dari hari-hari di Ramadan.
Bahkan selama bulan puasa, semua stasiun televisi pun
menu acaranya menyesaikan dengan spirit Ramadan.
Bukan saja kita 'dikepung' ceramah sebelum buka dan
saat sahur, malah pembawa acara dan segenap artis pun yang biasanaya mengumbar
aurat dan memanggungkan gaya hidup hedonistis, selama Ramadan mendadak
menampilkan dirinya tak ubahnya 'santri' dan bahkan 'ustaz'.
Lomba dai dan tahfidz Alquran dalam sepuluh tahun
terakhir seolah menjadi menu wajib selama Ramadan.
Di beberapa tempat saking semangatnya berpuasa, Satpol
PP pun merasa perlu menyisir warung-warung yang dipandang dapat mengganggu
orang-orang yang berpuasa dengan berlindung di balik perda syariah.
Negara tiba-tiba merasa memiliki kewajiban untuk
mengurus ibadah seseorang yang sesungguhnya bersifat personal.
Namun, harus juga lekas dicatat, ritual yang dilakukan
sering kali berhenti sebatas upacara.
Selesai ritual ditunaikan, selesai pula urusannya.
Di persimpangan inilah fenomena paradoksal itu
mencuat.
Satu Syawal seolah menjadi katup orang kembali ke
habitat aslinya yang negatif. Nyaris Ramadan itu tak berdampak baik secara
personal, kultural, terlebih sosial........selamat berlebaran.###
Baca Model Tabloid
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru