Proyek Pembangunan dan Fungsi
Pengawasan
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 18 sumber berbeda)
Tulisan ini semoga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pejabat
dan pelaksana Proyek di Blora agar, apapun kasus yang berkaitan Proyek APBD
tidak akan terjadi penyimpangan.
Tidak
dapat dipungkiri, istilah
”pembangunan” mungkin dapat memicu
rasa mual pada banyak kaum terpelajar dan warga biasa.
Dengarkan sinisme orang-orang biasa
di kota ataupun desa. Ketika mereka melihat jalan yang diaspal, jembatan yang
diperbaiki, gedung sekolah yang dibangun, warga yang dikumpulkan untuk penataran
gizi, atau pembuatan KTP elektronik, mereka bilang: ”Itu hanya proyek!”.
Mungkin
dbenak mereka yang
dimaksud adalah
kolusi penjarahan anggaran pembangunan oleh para kontraktor/pengusaha,
politisi, dan pejabat pemerintah.
Itu bahasa sederhana yang mengisyaratkan
seberapa akut dan kolosal pembangunan telah membusuk. Bisa saja istilah
”pembangunan” tetap dipakai, tetapi isinya tak lebih dari kontrak-kontrak
bisnis melalui kolusi para pengusaha, politisi, dan pejabat.
Kalau tak ada kebutuhan riil dan
manfaat bagi warga, proyek-proyek itu akan diciptakan dari ketiadaan.
Penjarahan anggaran kompleks Hambalang disebut pembangunan olahraga.
Penjarahan anggaran pengadaan kitab
suci disebut pembangunan agama atau mungkin pembangunan akhlak.
Penjarahan anggaran alat-alat medis
disebut pembangunan kesehatan. Bahkan, penjarahan lisensi mobil murah dengan
emisi rendah mungkin disebut pembangunan transportasi dan lingkungan. Makin
terdengar luhur istilahnya, makin konyol faktanya.
Silakan menambah daftar contoh. Jika
cara menjarah itu dilakukan melalui penggelembungan nilai proyek (mark up),
pembuatan perusahaan fiktif, atau cara lain, itu hanya soal taktik dan kadar.
Sebagian besar kasus megakorupsi
yang sedang meledak ke publik dan ribuan kasus lain di daerah yang tidak
diproses berisi penjarahan anggaran pembangunan ini. Itulah mengapa istilah proyek
menjadi kotor dan jorok.
Proyek-proyek yang sebagian atau
seluruhnya dilakukan untuk menjarah anggaran pembangunan itu umumnya dipahami
sebagai bagian dari apa yang disebut ’pemburuan rente’ (rent-seeking).
Istilah itu dipakai sejak dasawarsa
1960-an oleh para ekonom yang berpandangan bahwa ancaman terbesar terhadap
pasar bebas berasal dari regulasi negara.
Adanya otoritas regulasi pemerintah
membuat para penjarah berlomba memenangkan privilese-monopoli yang disebut
”rente”.
Itulah mengapa ekonom neoliberal
Gary Becker menulis di tahun 1994:
”Jika kita hapus negara, kita
lenyapkan korupsi” dan pemburuan rente. Debat perkara ini berlanjut, termasuk
pandangan bahwa tidak semua jenis rente merusak. Namun, argumen bahwa korupsi
dan pemburuan rente akan lenyap dengan menghapus negara adalah omongan konyol.
Keruwetan debat akademik itu tidak
perlu mengganggu kita. Yang mau dikatakan, luasnya penjarahan anggaran
pembangunan melalui proyek-proyek merupakan bentuk pemburuan rente.
Itulah mengapa bisa dikatakan bahwa
pembangunan di Indonesia telah dan sedang membusuk menjadi proyek memburu rente
(pembangunan = proyek + rente). Hampir semua terjadi melalui kolusi pebisnis,
politisi, dan pejabat.
Mencegah Korupsi Proyek
Pencegahan
korupsi semestinya dilakukan oleh eksekutif (Pemerintah dan Pemda). Fungsi
manajemen yang lebih tepat untuk pencegahan ini adalah pengendalian (control).
Pengendalian
terdiri dari dua bentuk yaitu pengendalian pencegahan (preventive
control)dan pengendalian korektif (corrective control).
Pengendalian
pencegahan: mekanisme yang dimaksudkan untuk mengurangi kesalahan sehingga
dapat meminimalkan kebutuhan tindakan koreksi.
Beberapa
contoh perangkat yang digunakan pada pengendalian pencegahan adalah peraturan,
standar, prosedur(SOP), rekrutmen dan seleksi pejabat/pegawai dan pelatihan.
Pengendalian
korektif : mekanisme untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku atau hasil
yang tidak diinginkan sehingga mencapai kesesuaian dengan peraturan dan standar
institusi.
Contoh
perangkat pengendalian korektif antara lain mengukur/menguji proses selama
pelaksanaan dan segera melakukan tindakan koreksi tentang jika ada
penyimpangan.
Di
Indonesia, saat ini institusi pencegahan disisi hulu adalah Kementerian
Aparatur Negara yang seharusnya menyusun berbagai ketentuan tentang sistem
rekrutmen pejabat, perilaku dan kompensasi.
Badan
Kepegawaian Negara yang menyusun sistem rekrutmen pegawai negeri yang
mengiliminer masuknya pegawai yang berakhlak kurang baik (psikotest?)
Perlu
dianalisis jumlah PNS yang diperlukan karena dinilai terlalu banyak, padahal
pekerjaan telah dibantu komputer dan Web.
Jumlah yang
lebih kecil (1/3 dari sekarang) memungkinkan meningkatkan gaji secara bermakna.
Apalagi diera otonomi daerah, kok jumlah PNS pusat nambah terus?
Berbagai
undang-undang dan peraturan perlu direview secara mendalam oleh Kemenhumkam
untuk mendukung penanggulangan korupsi.
Bappenas,
Kementerian Keuangan, Dirjen Cipta Karya harus memperbaiki Kepres tentang
Pengelolaan Proyek Pembangunan yang selama ini cenderung diperbaiki secara
“tambal sulam” dan masih mudah ditembus para koruptor.
Standar
harga bangunan yang dususun Dirjen Cipta Karya setiap tahun cenderung terlalu
besar (25-30 %) sehingga merugikan keuangan negara.
Institusi
pemeriksa/audit proyek pembangunan juga tumpang tindih dan mengeluarkan dana
sangat besar (untuk gaji, fasilitas dan overhead), tapi kurang efektif. BPKP
cenderung “melindungi” Kepala Pemerintahan dan ITJEN cenderung “melindungi”
Menteri.
Keduanya
tidak ada dalam UUD 1945 karena hanya menyebut BPK sebagai institusi pemeriksa keuangan.
Inspektorat & Masyarakat
Aparat
pengawasan fungsional di daerah yaitu Inspektorat, sejauh ini banyak daerah
yang tidak menunjukkan kinerja yang optimal dalam pencegahan hal yang berkaitan
penyimpangan proyek.
Pertama
kapasitas dalam pelaksanaan audit yang tidak memadai karena SDM yang lemah.
Kedua
dan yang terpenting adalah posisinya yang tidak independen dimana kepala
inspektorat bertanggungjawab dan melapor kepada bupati/walikota/ gubernur.
Sehingga
ketika para kepala daerah dan jajarannya menginisiasi proses kerjasama antara
legislatif dan rekanan, maka inspektorat tidak akan mampu untuk bertindak.
Berbagai
kasus korupsi yang menyangkut pengadaan di daerah selama ini hampir tidak
ada yang diungkap berdasarkan hasil
kerja inspektorat daerah.
Melihat
peta diatas, dimana pengawasan oleh aparat yang diharapkan tidak berjalan
sementara motivasi birokrat dan legislatif dalam menyalahgunakan kewenangannya
untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya terbukti sangat kuat, maka peran
pengawasan oleh masyarakat menjadi amat penting.
Kapasitas
masyarakat untuk melakukan pengawasan ini perlu diperkuat agar sejajar dengan
pemerintah dalam artian memiliki pengetahuan teknis tentang proses pengadaan
dan pemberian hibah serta paham issue-issue yang aktual tentang pelaksanaannya.
Bila
peran masyarakat dapat dalam pengawasan proyek pembangunanan niscaya perlahan
namun pasti, korupsi akan perlahan akan berkurang di negeri ini.###