Sudahkan MK Merdeka dari Politik.... ?
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber
berbeda)
Melihat 'kemarahan'
Profesor Ikrar Nusa Bhakti dalam tulisan di Media Indonesia (9/7) terkait
dengan dikabulkannya pembatalan pasal yang sejatinya ditujukan untuk mencegah
terjadinya dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah.
Beliau bahkan sampai mengusulkan komposisi hakim konstitusi tidak hanya
yang berlatar belakang hukum tetapi seharusnya juga bisa mengakomodasi keahlian
lain seperti ahli politik dan filsafat sosial
Tujuannya tentu saja agar putusan-putusan yang dihasilkan hakim konstitusi
tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum belaka, apalagi hukum dalam pemahaman
yang sangat normatif.
Usul tersebut patut dipertimbangkan, sebab konstitusi juga tidak secara
eksplisit membatasi latar belakang keilmuan tertentu yang bisa diusulkan
menjadi hakim konstitusi.
Syarat tentang 'menguasai konstitusi dan ketatanegaraan' tentu saja tidak
menjadi monopoli bidang hukum saja.
Di luar itu semua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melegalkan
'dinasti politik' tidak berlebihan jika disebut sebagai kemunduran demokrasi.
Ikhtiar untuk mengurangi korupsi akibat dinasti politik telah dimentahkan
dengan berlindung di balik hak politik petahana dan kroninya.
Korupsi dan
konflik kepentingan
Problem korupsi sebetulnya berakar dari konflik kepentingan, di saat
kepentingan umum (negara) dilucuti kepentingan pribadi atau kelompok.
Konflik kepentingan menjadi pemicu utama terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
oleh pejabat publik.
Rumusan undang-undang tindak pidana korupsi juga menempatkan konflik
kepentingan sebagai salah satu unsur penyusun tidak pidana, misalnya
pasal-pasal suap yang berhubungan dengan jabatan atau kewenangan penyelenggara
negara.
Pengaturan di dalam Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang telah dibatalkan MK
ialah dalam rangka membatasi terjadinya konflik kepentingan antara petahana dan
calon kepala daerah.
Pembatasan semacam itu bukanlah hal yang baru terkait dengan akses dan
penggunaan kewenangan kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah.
Undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya juga telah membatasi pejabat
di daerah dalam menggunakan kewenangannya, misalnya larangan membuat
keputusan/tindakan yang menguntungkan atau merugikan calon kepala daerah
tertentu.
Selain itu, pembatasan penggunaan fasilitas negara diatur agar tidak
digunakan calon tertentu, termasuk membatasi petahana yang kembali mencalonkan
diri dalam jabatan yang sama.
Pembatasan semacam ini seharusnya semakin diperkuat baik dari segi larangan
maupun pengenaan sanksi dan bukan justru sebaliknya.
Putusan MK tentu akan menjadi pertanda buruk bagi keberlanjutan pengaturan
konflik kepentingan di Indonesia.
Itu tidak hanya dalam konteks pemilihan umum, tetapi juga dalam
penyelenggaraan negara/pemerintahan secara umum.
Partai
politik
Niat baik pembentuk undang-undang untuk membatasi politik dinasti patut
diapresiasi publik.
Sekalipun pasal itu telah dibatalkan MK, praktik politik dinasti sebetulnya
masih bisa diminimalkan melalui kebijakan di internal partai politik terkait dengan
pencalonan kepala daerah.
Niat baik tersebut tidak boleh dicederai partai politik sendiri jika dalam
praktiknya justru mengusung calon yang memiliki konflik kepentingan dengan
petahana.
Partai politik harus membangun mekanisme di internalnya untuk membatasi
terjadinya pergiliran kekuasaan di antara petahana dan keluarganya.
Sistem kaderisasi partai politik juga akan diuji dengan mekanisme ini,
apakah seluruh kader memiliki kesempatan yang sama atau ada privilese terhadap
kelompok tertentu untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.
Momentum Peringaan Kemerdekaan RI ke 72 ini, sebaiknya digunakan partai
politik untuk membuktikan kepada publik bahwa reformasi di internal partai
sedang berjalan ke arah yang benar.
Jika tidak, inisiasi pembatasan politik dinasti di dalam undang-undang
tersebut patut dicurigai sebagai bagian dari skenario untuk memindahkan beban
politik ke MK.
Kita tentu tidak berharap demikian, semoga niat baik
untuk membatasi politik dinasti tetap dijaga partai politik semata-mata untuk
mengurangi dampak negatif (korupsi) dari praktik tersebut.###
Baca Model Cetak tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru