Kepala Daerah
“Hakim BOS”
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber
berbeda)
Bila mencermati perkataan Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang
menyatakan penyimpangan anggaran Dana Alokasi Khusus atau Biaya Operasional
Sekolah (BOS) disebabkan oleh adanya pelanggaran regulasi.
Pelanggaran
ini dilakukan oleh beberapa Pemerintah Daerah dan sekolah penerima dana.
Disini
jelas terjadi pelanggaran yg mengakibatkan proses penyaluran dana BOS tidak
efektif dan timbulnya indikasi korupsi.
Penyimpangan
di lapangan itu (terjadi) karena tidak mengikuti ketentuan regulasi yang
diberikan oleh Kementerian. Aturan banyak yang ditabrak, akhirnya munculah
masalah.
Secara
hukum Kemendikbud tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi langsung
terhadap oknum penyalahgunaan dana BOS.
Sebagaimana
diketahui, dana BOS adalah tanggung jawab setiap Kepala Daerah.
Sementara
itu, Kepala Dinas Pendidikan di setiap daerah juga berperan melakukan pembinaan
terhadap sekolah penerima dana BOS.
Jadi
secara langsung yang punya sekolah itu Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kalau
ada masalah di sekolah, yang harus dan berhak memberikan sanksi adalah kepala
dinas, Bupati dan Walikota.
Kemendikbud
tidak bisa memberi sanksi pada Kepala Sekolah yang menyimpang.
Ibarat
Di pengadilan yang memutuskan Perkara adalah Hakim, Sedang terkait Sanksi
penyimpangan BOS yang bertindak sebagai Hakim adalah Kepala Daerah, dalam Hal
ini Gubernur, Bupati dan Walikota.
Biasanya
disamping diambil sanksi dari Kepala Daerah, proses hukum kasus korupsi dana
BOS pun melekat disitu.
Kemedikbud
berencana untuk mengevaluasi regulasi terkait dengan penyaluruan dana BOS.
Saat ini
sedang dikaji regulasi apa yang menjadi penyebab penyaluran dana BOS
bermasalah.
Rencana
setelah pencairan triwulan pertama 2017 ini akan dievaluasi regulasinya.
Akan
dicari apa yang menyebabkan mereka (daerah penerima BOS) itu menyimpang. Yang
paling banyak kenapa menyimpang karena regulasi ditabrak.
Berdasarkan pantauan ICW, sejak tahun 2005-2016
terdapat sekitar 425 kasus korupsi dalam sektor pendidikan dengan kerugian
negara mencapai Rp1,3 triliun dan nilai suap mencapai Rp55 miliar.
Dari data ini terungkap bahwa objek yang
paling banyak dikorupsi ialah DAK.
Sekitar
85 kasus korupsi pada sektor pendidikan berasal dari penyelewengan pengelolaan
DAK dengan kerugian mencapai Rp377 miliar.
Penyimpangan
anggaran terjadi pada tahap perencanaan, adalah dengan menggelembungkan data
jumlah siswa.
Siswa
yang sudah pindah atau lulus tetap dimasukkan dalam daftar penerima dana BOS
dengan harapan dana yang diperoleh sekolah bertambah.
Modus
lainnya dengan mengajukan anggaran belanja fiktif, memperbanyak anggaran tak
terduga, menjalin kolusi dengan panitia, membikin belanja barang habis pakai
secara berulang-ulang, dobel anggaran, hingga menerima program titipan.
Tahap
pencairan, kebocoran dana BOS terjadi dengan modus memperlambat pencairan
hingga pemberian gratifikasi atau uang terima kasih. Modus-modusnya rapi dan
tak kasat mata.
Pada
tahap pembelanjaan, modus membocorkan dana BOS dengan menurunkan kualitas
spesifikasi barang. Pengelola dana BOS telah berkolusi dengan instansi/penyedia
barang.
Tahap
pelaporan, bukan hanya keterlambatan pelaporan. Tetapi juga penyajian
laporan meliputi transparansi dan akuntabilitas laporan.
Kasus-kasus
demikian banyak ditemukan di berbagai daerah ketika pemeriksa/pengawas
membandingkan dokumen rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) dengan laporan
pertanggungjawaban (LPj).
Spesifikasi
barang di RKAS dengan LPj banyak yang berbeda. Dampaknya tak hanya
kualitas yang tak sesuai standar, tapi ada alokasi dana yang sengaja
dihilangkan.
Untuk
mencegah terjadinya penyimpangan lagi, Kemendiknas telah mulai menerapkan
sistem e-purchasing sejak tahun ajaran 2016 lalu, yakni pada setiap pengadaan
sarana dan prasarana infrastruktur sekolah.
Sistem
ini merupakan bagian dari pembenahan pengelolaan keuangan di sektor pendidikan.
Sistem
tersebut mengharuskan transaksi non-tunai atau cashless untuk setiap pengadaan
barang dan jasa di sektor pendidikan.
Penerapan
e-purchasing dan prinsip transaksi non-tunai tersebut didasarkan pada dua
peraturan menteri.
Peraturan
yang memuat petunjuk teknis penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan dana BOS
serta petunjuk teknis DAK di tingkat sekolah dasar dan sekolah dasar luar
biasa.
Sehingga
diharap tidak ada lagi penyimpangan Dana BOS di daerah, khususnya Blora.
Atas dasar inilah Tim Infoku siap
melaporkan bila terjadi penyimpangan Dana BOS di Blora ke Ranah Hukum.
Dengan tujuan agar visi misi Bupati, Blora Makin Sejahtera &
Bermartabat segera terwujud.###
Baca Model Cetak tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru