Awas
Sumpah Pejabat
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber
berbeda)
“Demi Allah saya
bersumpah akan menjalankan tugas sebagai ………dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, dan
menjalankan undang-undang selurus-lurusnya sesuai dengan UUD 1945 dan
Pancasila, serta berbakti pada nusa dan bangsa”
Ini adalah sepenggal teks sumpah
jabatan yang diucapkan oleh seseorang yang akan menduduki jabatan di
pemerintahan Republik Indonesia. Sumpah itu didahului dengan kata “Demi Allah”
dan pada saat acara pengambilan sumpah di atas kepala pengucap sumpah di
letakkan kitab suci. Sumpah ini harus diingat-ingat terus oleh para pejabat
karena bukan hanya manusia yang menyaksikan tetapi juga Tuhan Yang Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui.
Tentunya Sumpah/Janji seorang pejabat seyogianya menyiratkan makna
substantive dalam rangka usaha membina penyelenggara negara yang bersih, jujur,
dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara dan abdi
masyarakat.
Dan paling penting adalah sebagai pernyataan kesanggupan
untuk melakukan suatu keharusan atau tidak melakukan suatu larangan.
Sumpah sebagai sesuatu yang bernilai spiritual, mengandung
konsekwensi yang astral. Demikian halnya dengan eksistensi sumpah Pegawai
negeri maupun sumpah jabatan.
Di Indonesia, sumpah jabatan sudah menjadi bagian acara
wajib dalam sebuah seremoni pelantikan jabatan. Kehadirannya pun sakral karena
di dalamnya mengandung unsur religiusitas.
Hal ini dapat dilihat dari teks yang harus dilafalkan, yaitu
diawali dengan berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa, “Demi Allah, saya
bersumpah/berjanji bahwa saya,?” Di sinilah sumpah menjadi ‘pewahyuan’
jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan penuh tanggung jawab.
Oleh sebab itu, sebelum pelantikan dilaksanakan, terlebih
dahulu dihadirkan para rohaniwan masing-masing agama guna menjelaskan arti,
makna, dan konsekuensi sumpah jabatan itu sendiri.
Ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan sumpah jabatan
tidak memberikan dampak signifikan,
Pertama adalah karena
pribadi yang bermasalah. Yaitu kepribadian yang rakus, serakah, tidak taat pada
asas, dan sifat-sifat ataupun perilaku negatif lainnya. Hal ini adalah cermin
buruk serta rendahnya kadar moralitas.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa moralitas rendahan tidak
dapat mengantarakan pada pencapaian cita-cita ataupun tujuan, baik tujuan
negara, organisasi, perusahaan, dan lain sebagainya.
Problemnya adalah ada gejala yang mengisyaratkan bahwa
moralitas rendahan itu kurang, bahkan tidak lagi, dipandang sebagai sesuatu
yang tabu. Barangkali, inilah zaman yang oleh Ronggo Warsito disebut zaman
edan. Yaitu, sebuah zaman di mana orang-orangnya tidak lagi mengagungkan
nilai-nilai luhur demi sebuah pencapaian tujuan pribadi.
Kedua, sistem tata
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mendukung. Alangkah banyaknya
aturan-aturan Standar operating procedure, janji, dan asas-asas hanya
tertulis dalam draft saja, semuanya tanpa tertanam dalam hati dan
pikiran mereka.
Karena itu, dibutuhkan penyehatan secara komprehensif di
berbagai dimensi kehidupan (sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun
sektor-sektor yang lain). Khusus untuk pegawai negeri sipil, ketentuan tertulis
perlu diterapkan secara jujur dan tepat sebagai dasar pembinaan karier
berlandaskan sistem meritokrasi.
Seringkali sesuatu yang sakti dan sakral sekarang sudah
menjadi mainan. Padahal dibalik kesakralan sesuatu itu terkandung nilai
dan esensi (value mores) yang mengikat dan mengakar.
Menarik memang, sebuah ritual sumpah jabatan yang sarat akan
nilai dan norma.
Secara sadar orang yang dimintai sumpahnya untuk menjalankan
amanah dengan sebaik-baiknya tentu tahu betul akan resiko dan konsekuensi yang
akan diterimanya bila ia menyia-nyiakan amanahnya.
Ia tentu tahu bahwa di negeri ini hukum menjadi panglima,
setiap kesalahan tentu akan mendapat sanksi, baik sanksi dari masyarakat,
maupun sanksi dari institusi penegak hukum.
Tentunya juga sebagai orang yang beragama ia sadar bahwa
sumpah yang ia ucapkan juga akan diminta pertanggung jawaban oleh Tuhan yang
maha kuasa. Namun yang terjadi masalah sebaliknya,
Kita ambil Secara umum saja, Mayoritas pejabat yang telah
diambil sumpahnya mengkhianati ikrar dan esensi sumpah yang telah diucapkannya.
Terbukti dari semakin banyaknya pejabat yang ditangkap dan
diadili karena berkhianat terhadap amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Kalau melihat fenomena seperti ini, kesakralan sumpah
disepelekan tak salah kalau kami menyebut kata-kata ini
“Jika mereka tahu sumpah yang mereka lakukan atas nama Tuhan
tetapi mereka dengan mudahnya melanggar sumpah tersebut, itu sama saja mereka
mempermainkan Tuhan. Atau bahkan sebenarnya mereka sama sekali tidak percaya
kepada Tuhan.”
Semoga esensi sumpah jabatan benar-benar dimaknai oleh
seluruh pejabat di republik ini. Karena sumpah jabatan bukanlah formalitas dan
seremonial belaka.###
Baca Model Cetak tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru