Pemberantasan
Pungli …..Konsisten ?
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber
berbeda)
Komitmen
pemerintah untuk melakukan berbagai reformasi terus dilakukan. Setelah
mengeluarkan 13 paket stimulus ekonomi, kini pemerintah mulai bergerak
melakukan reformasi di bidang hukum
Pemerintah mengeluarkan Perpres No
87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli). Juga ditindaklanjuti oleh Surat Edaran
MenPAN RB No 5 Tahun 2016 tentang Pemberantasan Praktik Pungli dalam
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Instansi Pemerintah
Upaya paket reformasi "Setop Pungli" tersebut diharapkan tidak hanya memulihkan
kepercayaan publik, memberikan keadilan dan kepastian hukum. Namun juga harus
mampu berdampak langsung terhadap perbaikan kinerja perekonomian ke depan.
Pasalnya, berdasarkan World Economic Forum peringkat daya saing Indonesia
semakin memburuk
Pada 2016, peringkat Indonesia
kembali melorot pada urutan 41, setelah sebelumnya berada pada peringkat 34
(2014) dan peringkat 37 (2015)
Salah satu aspek yang mengalami
penurunan peringkat adalah aspek kelembagaan.
Artinya efektifitas kerja birokrasi
justru semakin menurun, yang akhirnya menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy). Hal ini terjadi dikarenakan
berbagai sektor pelayanan publik, masih diwarnai berbagai praktik pungli secara
terstruktur, sistematis, dan massif
Pungli masih menjadi salah satu
penyakit akut yang menjangkit birokrasi pemerintahan sejak zaman Penjajahan.
Perilaku penjajah yang selalu meminta "upeti" dari rakyat masih terus
dilanggengkan sekalipun telah memasuki era kemerdekaan
Padahal, mestinya pelayanan terhadap
hak-hak masyarakat merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagai
penyedia layanan publik. Namun, karena pelayanan dimaknai sebagai kewenangan
sehingga dianggap sah jika berimplikasi menimbulkan beban biaya
Akibatnya, kebiasaan menyalahgunakan
wewenang sampai praktik transaksional kepentingan ekonomi, dianggap hal lumrah.
Pungli menghampiri hampir seluruh level pelayanan publik, mulai level individu
sampai dengan korporasi. Dari mengurus kartu keluarga, KTP, SIM, paspor sampai
ketika korporasi mengurus izin memulai usaha maupun sekedar memperpanjang izin
usaha.
Munculnya berbagai praktik pungutan
liar atau uang sogokan, uang pelicin, salam tempel dan lain-lain tentu terjadi
atas kesepakatan kedua belah pihak. Harus diakui, masih banyak masyarakat yang
ingin hasil instan.
Namun, persoalannya masyarakat
dihadapkan pada ketidak pastian, ruwetnya dan berbelit-belit prosedur birokrasi
pelayanan. Akibatnya, untuk memperlancar urusan masyarakat dipaksa menyerah dan
permisif terhadap praktik pungli.
Apalagi dari sisi para pelaku usaha
tentu akan mengkalkulasi efisiensi. Sejumlah biaya pungli akan rela dikeluarkan
agar dapat membeli kepastian waktu. Daripada harus mengikuti standar pelayanan
yang sekalipun tanpa biaya, namun dengan waktu yang tidak pasti, keputusan
menyuap sering dianggab menjadi rasional.
Pengaduan masyarakat melalui
Ombudsman selama 2015 atas dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik
mencapai sekitar 6.859 laporan. Tiga instansi yang mendapat pengaduan terbesar
adalah pemerintah daerah (2.853 laporan), kepolisian (806 laporan), dan
instansi pemerintah/kementerian (663 laporan).
Masih maraknya berbagai praktik
pungli tersebut mengakibatkan porsi biaya transaksi yang harus dikeluarkan
dunia usaha mencapai sekitar 10 sampai 20 persen.
Pengusaha dengan sendirinya akan
memindahkan seluruh biaya yang dikeluarkan ke dalam biaya produksi. Artinya,
efek Pungli tentu akan berdampak semakin tingginya harga barang dan merosotnya
daya saing. Akhirnya, penetrasi impor barang konsumsi semakin membanjiri pasar
dalam negeri.
Upaya Shock Therapy
Karenanya, tim sapu bersih pungli
yang telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) diharapkan tidak hanya
menjadi shock therapy (efek kejut) semata. Komitmen
pemberantasan pungli juga tidak bersifat populis yang hanya berdampak kepuasan
publik sesaat.
Hal yang terpenting adalah upaya
mengikis praktik dan budaya pungli secara kongkrit. Agar berbagai sumber
penyebab tingginya ekonomi berbiaya tinggi dapat secara persisten dikikis.
Untuk itu, solusinya harus dimulai dari akar dan sumber persoalannya.
Bagaimanapun, timbulnya praktik
pungli berawal dari adanya kebutuhan terhadap pelayanan dari pihak pemberi
layanan. Untuk itu, konsep dasar pemberian pelayanan publik harus dikembalikan
menjadi kewajiban pemerintah dan hak dari masyakat.
Karenanya, berbagai fungsi pelayanan
publik yang harus disediakan pemerintah mestinya tidak perlu dimasukkan dalam
sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, tentu konsistensi juga
harus diterapkan.
Artinya, setelah masyarakat menerima
dan menikmati pelayanan publik tentu harus patuh membayar pajak, baik secara
pribadi maupun korporasi.
Jika pelayanan publik, terutama yang
bersifat dasar, yang disediakan pemerintah tidak harus menimbulkan beban, bisa
jadi justru akan semakin mendongkrak penerimaan Negara.
Sebagai ilustrasi, jika berbagai
kemudahan perizinan dapat disederhanakan dengan pelayanan yang terintegrasi
dengan menggunakan teknologi, maka akan ada kepastian bagi pelaku usaha untuk
berinvestasi. Dengan demikian iklim investasi akan lebih kondusif, kontribusi
pajak dari PPh, PPn, PBB dan pajak lainnya akan semakin meningkat.
Jika penerimaan pajak meningkat, tentu ruang
untuk meningkatkan renumerasi dan gaji PNS juga akan semakin tinggi. Hasil
akhirnya berbagai pungli, secara sistemik dapat dikikis dan diberangus.###
Baca Model tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru