Pasar
Tradisional dan Problematikanya
Penulis Drs
Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber berbeda)
Pasar tradisional selama ini
kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau dan seterusnya yang merupakan
stigma buruk yang dimilikinya.
Namun demikian sampai saat
ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih
setia berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
banyak juga pasar tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi,
ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.
Stigma yang melekat pada
pasar tradisional secara umum dilatarbelakangi oleh perilaku dari pedagang
pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan
pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan
bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan
pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.
Melekatnya stigma buruk pada
pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung
mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat
berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah
dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung
yang tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih
ke pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang
biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar
pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa
perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan
pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di lapangan
dijumpai peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam
mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat
terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari
keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola
pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk
melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,
Selanjutnya permasalahan
yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas dari
Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan Kerja
Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota.
Dari kebijakan yang
dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional
berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti
diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional
dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina
seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.
Penulis yang Asli BLORA mencoba
untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya berdasarkan
pejabat dan institusinya yang terkait, dimulai dari lapis (layer) di tingkat
paling atas atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling tinggi
(pimpinan daerah), kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke
pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki kewenangan dengan
ruang lingkup yang lebih terbatas,
Pasar
Tradisional dan PAD
Kepedulian Pimpinan Daerah
dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan
dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di
daerahnya.
Di beberapa daerah, pimpinan
daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai salah satu sumber utama
Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dipungut dari para
pedagang.
Sehingga kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di
tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan
dengan optimalisasi pemungutan retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan
dan Penyetoran Retribusi serta Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi
semata daripada penekanan pada pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan
para pengelola pasar dan pedagang pasar.
Akibat dari adanya kebijakan
optimalisasi pemungutan retribusi tersebut, maka kepada para Kepala Pasar
diberikan target-target yang untuk mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa
agar dapat menampung pedagang dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi
sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang
seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap
nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran
pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD, maka di beberapa
daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan Daerah (DINPENDA)
Pembinaan
Pemahaman tentang aktivitas
pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel) mutlak harus dimiliki oleh
aparatur dinas yang ditugasi membinan pasar tradisional termasuk di dalamnya
pedagang pasar.
Dalam merancang kebijakan
pemerintah kabupaten/kota yang diterbitkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) serta
peraturan dan pedoman pelaksanaan harus didasarkan atas pemahaman tentang
pengelolaan (manajemen) pasar dan perdagangan eceran (ritel).
Selanjutnya dalam pelaksanaan
peraturan dan pedoman pelaksanaan tersebut seyogyanya para aparatur pelaksana
mulai di tingkat SKPD (dinas yang membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola
pasar seyogyanya juga memahami hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar
dan perdagangan eceran.
Tentunya tingkat pemahaman
yang seyogyanya harus dimiliki oleh masing-masing aparatur tersebut
berbeda-beda tergantung pada posisi dan sifat tugas aparatur yang bersangkutan.
Agar para aparatur dapat
melaksanakan peraturan dan pedoman tersebut dengan baik, maka sebelumnya kepada
mereka diberikan pelatihan secara berjenjang tentang pengelolaan pasar dan
perdagangan eceran. Selanjutnya kepada para aparatur yang telah dilatih, kepada
mereka diberikan kesempatan untuk bekerja di bidang-bidang sesuai dengan
pengetahuan yang telah diperolehnya sampai waktu yang dirasakan cukup untuk
dapat menerapkan pengetahuan tersebut dan diharapkan pengelolaan pasar dan
pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti peraturan dan pedoman dengan tertib
dan konsisten serta berkesinambungan.
Perdagangan eceran (ritel)
merupakan salah satu bagian dari disiplin ilmu pemasaran yang seringkali kurang
dipahami oleh aparatur dari SKPD yang membidangi perdagangan dan pasar,
termasuk di dalamnya pasar moderen dan pasar tradisional serta perdagangan
eceran.
Revitalisasi
Pasar Tradisional
Kebijakan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam merevitalisasi pasar tradisional masih lebih menekankan
pada perbaikan (renovasi) phisik bangunan pasar.
Masih sangat jarang yang
disertai dengan pembangunan kelembagaan (institutional building) seperti
mengembangkan organisasi (organizational development) pengelola dan pembina
pasar tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar
beserta sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.
Berdasarkan pengalaman
empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi atau
pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu 3-5 tahun kemudian,
bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan
pasarnya tampak kembali semrawut serta kondisi pasar kembali kumuh dan kotor
sama keadaannya seperti sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali
pasar.
Terlebih lagi, setelah
direnovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan atau
pemeliharaan sangat minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran
daerah. Hal ini terjadi karena kebijakan revitalisasi pasar tradisional masih
hanya sebatas menyentuh bangunan phisik pasar semata yang seringkali kurang
diikuti dengan aktiviast perawatan atau pemeliharaan bangunan phisik pasar.
Mulai tahun 2012,
Kementerian Perdagangan memberikan bimbingan teknis kepada para pedagang
bersama para pengelola pasar tradisional tentang cara berjualan yang baik,
seperti mengupayakan dan memelihara kebersihan pasar, cara berdagang yang baik
dengan penataan barang dagangan yang menarik pembeli dan pengelolaan pasar.
Kegiatan ini masih difokuskan pada pasar-pasar tradisional yang telah
direvitalsasi pada tahun lalu, seperti Pasar Grabag di Kabupaten Purworejo,
Pasar Cokrokembang di Kabupaten Klaten dan Pasar Minulyo di Kabupaten Pacitan.
Selain dibangun oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pembangunan bangunan pasar juga dilakukan
oleh pihak swasta, di mana pihak swasta bertindak sebagai pihak pengembang yang
berhak menjual kios-kios di lokasi tertentu, biasanya di bagian bangunan pasar
yang menghadap ke luar, baik di lantai dasar maupun di lantaui atas apabila
bangunan pasar tersebut merupakan pasar yang bertingkat.
Sedangkan pihak Pemerintah
Daerah bertindak sebagai pengelola pasar yang bersangkutan ketika telah selesai
direnovasi.
Berdasarkan pengalaman
empiris di banyak daerah, keberhasilan pembinaan pasar dan pedagang pasar
tradisonal sangat ditentukan oleh kepedulian para Kepala Daerah (Bupati dan
Walikota) yang diikuti oleh para pejabat di tingkat teknis.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa kebijakan Kepala
Daerah yang menetapkan pasar sebagai salah satu sumber PAD tanpa diikuti dengan
pengembalian pendapatan ke pasar secara signifikan sebagai tambahan biaya
operasional dan perawatan/pemeliharaan serta biaya pembinaan bagi pengelola dan
pedagang pasar, maka hal ini menjadi penyebab utama kondisi pasar-pasar
tradisional memiliki ber-stigma negatif seperti kumuh, semrawut, kotor, dan
tidak nyaman dikunjungi oleh masyarakat konsumen.###
Baca Model tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru