Polemik Pasar Jepon tabloid infoku 106



Pedagang Kecewa Berat Kontrak Kios Pasar naik 600 Persen
INFOKU, JEPON, BLORA – Rp 6 juta, itu nilai retribusi pedagang di Pasar Jepon Blora.
Nilai itu jelas menyakitkan bagi pedagang. Betapa tidak? Tahun lalu, nilai retribusi hanya sekitar Rp 1 juta per tahun, kini Rp 6 juta per tahun.
Jelas, jumlah itu membuat pedagang uring-uringan. Tingginya retribusi Pasar Jepon Blora otomatis membuat para pedagang pasar menjerit.
Tingginya retribusi tersebut dikarenakan tiga perda sekaligus yang mengatur. Yakni Perda nomor 7 tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar, Perda nomor 8 tahun 2010 tentang Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan dan Perda nomor 3 tahun 2013 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
Abdul Hakim, selaku Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Jepon mengatakan, pihaknya sangat keberatan dengan diberlakukannya tiga perda tersebut.
Hal ini dikarenakan dari yang semula pedagang hanya membayar retribusi sebesar Rp1.236.000 hitungan kalkulasi selama satu tahun, jika tiga perda tersebut diberlakukan maka retribusi menjadi menjadi Rp 6.516.000 hitungan kalkulasi selama satu tahun.
“Ini sangat mencekik leher pedagang pasar,” kata Hakim.
H Darsono salah satu pedagang Pasar Jepon mengungkapkan bahwa ia merasa sangat keberatan dengan diterapkannya perda tersebut.
“Meski jelasnya saya tidak paham perda, tapi hitungan setahun kalau harus bayar enam juta ya keberatan,” ujar Darsono yang mengaku Rumahnya Kauman Blora.
Tiga Perda Retribusi
Abdul Hakim menjelaskan Para pedagang pasar khususnya di pasar rakyat Jepon Kecamatan Jepon merasa keberatan atas diberlakukanya tiga Peraturan daerah (Perda) sekaligus.
Perda tersebut adalah Perda No 7 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Pasar, Perda No 8 Tahun 2010 tentang Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan dan Perda no 3 Tahun 2013 tentang retribusi pemakaian kekayaan daerah.
“Kami semua merasa keberatan dengan akan dikenakanannya retribusi kepada kami semua,” ujarnya.
Menurutnya dengan pemberlakukan perda no 7 tahun 2010, maka pedagang saat ini harus membayar retribusi cukup tinggi dan mengalami kenaikan.
Saat itu perda tahun 2010 memang baru dilaksanakan pada tahun 2013 karena saat itu sejumlah pedagang keberatan dan menyampaikan keberatan kepada Bupati Blora setelah satu bulan di undangakan.
“Atas kebijaksanaan maka diberlakukan bertahap dan sejak 2013 besarnya retribusi pedagang yang ada di pasar Rp 1000,” jelasnya.
Sebelumnya, ia telah mengirim surat kepada bupati atas penolakan perda nomor 7 dan 8 tahun 2010. Namun bupati menanggapi, perda tersebut akan tetap dilaksanakan secara bertahap.
Hal itu membuat pedagang kecewa. “Untuk perda yang nomor 3 tahun 2013 belum ada sosialisasi,” tandasnya.
Dalam hal ini, ia bersama pedagang menempuh langkah mengajukan surat keberatan kepada bupati, DPRD dan Disperindagkop UMKM Blora.
Ia juga mengatakan, bahwa pihaknya telah menyampaikan secara lisan kepada DPRD yang mana pihaknya dijanjikan untuk perda yang memberatkan tersebut akan direvisi. “Revisi perda masuk prolegda tahun 2016,” pungkasnya.
Dia juga menambahkan Sampai saat ini kami pedagang belum pernah diajak rembukan ataupun hearing soal perda no 3 tahun 2013. Sebab dengan itu maka pedagang harus membayar retrubusi dua kali.
Dimana untuk sewa kios sebasar Rp 15 ribu dan sewa los Rp 5.000. Sehingga hal itu memberatkan.
”Kami rasa  penerapan perda No 3 tahun 2013 dan Perda no 8 tahun 2010 tidak sesuai dengan kemampuan kami sebagai masyarakat yang akan menempati los atau kios baru di pasar jepon,” tandasnya.(Endah/RIFQ/SGK)