PNS –
Pilkada - Netralitas – Piye Leh… ?
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber
berbeda)
"Dalam rangka mencapai tujuan nasional
sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional,
bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu
menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan nasional
seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam upaya menjaga
netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan,
kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian,
pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota
dan/atau pengurus partai politik."
Demikian penggalan
Penjelasan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara diawali dengan
dasar politik (keinginan) hukum negara terhadap cita-cita bangsa atas
aparaturnya yaitu PNS dan saat ini bernama ASN. Penjelasan ini menjadi dasar
filosofi sekaligus yuridis terhadap keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU
tersebut.
Penjelasan Pasal 2
Huruf f juga menyatakan "Yang dimaksud dengan "asas netralitas"
adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh
manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
PNS yang merupakan
ASN selain TNI dan POLRI merupakan "Abdi Negara" yang harus tunduk
kepada seluruh peraturan-perundangan yang berlaku.
Pengabdian PNS ini
didasarkan kepada kepentingan konstitusi sebagai cita-cita rakyat dalam
bernegara yang telah dimanifestasikan kedalam UUD RI 1945 dan UU dibawahnya
yang juga merupakan penjabaran dari konstitusi.
Oleh sebab itu, PNS
meng"abdi"kan dirinya untuk negara karena negara adalah wujud dari
kehendak rakyat. Dengan kesadaran tersebut maka PNS secara tidak langsung juga
merupakan abdi rakyat.
Realita dalam alam
pikir masyarakat Indonesia, PNS merupakan warga negara yang ditokohkan oleh
masyarakat sekitar tempatnya bermukim sehingga kodisi ini sangat berpotensi
untuk menggiring suara rakyat pada kepentingan golongan tertentu.
Mengingat hal itu,
sehingga netralitas PNS dalam PEMILU merupakan sorotan utama dalam kacamata
reformasi birokrasi.
Melalui sikap patuh
terhadap UU, PNS harus menjadi pelaksana kehendak rakyat yang dilayaninya sehingga
tujuan kerja PNS adalah menyenangkan rakyat melalui program-program pemerintah
yang diharapkan akan membawa bangsa ini menuju titik terdekat tujuan bersama sebagaimana
amanat pembukaan UUD RI 1945, dan sebaliknya tidak terjebak dalam politik praktis.
Hak PNS
Hak konstitusi
adalah hak dasar warga negara yang dilindungi oleh UUD RI 1945. Konstitusi ini
merupakan kontrak sosial antara rakyat dan negara supaya negara menjamin
pelaksanaannya.
Sebagai salah satu
hak azasi, negara menjamin kebebasan warga negara sebagaimana dalam Pasal 28E
yang berbunyi :
(3) Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Didalam Pasal 28J
UUD RI 1945, konstitusi mengatur bahwa :
(2) Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
PNS dianggap warga
negara khusus karena sebagai abdi negara yang memiliki dua tuan yaitu Presiden
sebagai Kepala Negara serta pemerintahan dan Rakyat sebagai pemegang
kedaulatan. PNS harus tunduk dan menundukkan diri kepada konstitusi dan UU yang
berlaku dibawahnya.
Antara kritik dan Kampanye
Apabila hak politik
PNS dikekang, apakah include didalamnya sikap kritis dan mengkritisi?
Kritikan adalah hal
yang sangat berbeda dengan kampanye.
Kampanye perorangan
pada dasarnya adalah tindakan yang menunjukkan dukungan (simpati, empati)
terhadap pasangan calon Kepala Daerah dengan cara menyatakannya secara langsung
dan atau terbuka dihadapan masyarakat disertai pemaparan akan kelebihan calon
tersebut dengan harapan bahwa tindakan tersebut akan mendapat perhatian serta
dukungan dari masyarakat sehingga menjatuhkan keputusan untuk memilih calon
yang diusung.
Sedangkan kritikan
adalah bentuk kecaman atau tanggapan terhadap visi, misi, program, sikap,
pendapat dan pernyataan dari calon tertentu dan atau pendukungnya guna
mengingatkan perbedaan pandangan disertai alasan serta segala pertentangan yang
mendasarinya dengan harapan untuk mendapat perhatian dari sang calon yang
nantinya dapat digunakan sebagai disenting opinion untuk memperbaiki kekeliruan
atau justru memperkuat posisi pasangan calon yang dikritik.
Kampanye adalah
tindakan yang dilarang bagi PNS sesuai UU Pilpres 2008 sedangkan menyatakan
pendapat termasuk kritikan dilindungi oleh UUD RI 1945 Pasal 28E.
Akhirnya, menurut
penulis "Kampanye cenderung mendorong para simpatisan untuk bersikap
fanatisme buta terhadap idolanya" sedangkan "kritikan cenderung
membawa masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih".
PNS & Pimpinan Daerah
Posisi PNS menjadi
bertambah penting ketika terjadi Pilkada langsung, karena tak jarang PNS jadi
rebutan para bakal calon Kepala Daerah.
Katakanlah dengan
perhitungan sederhana 1 PNS bisa menarik minimal 5 orang keluarga, maka jika di
suatu daerah PNS nya sejumlah 11 ribuan-an misalnya, maka secara perhitungan
kasar dapat meraup 55.000 suara dukungan.
Cukup lumayanlah
untuk bekal para balon menuju pentas sesungguhnya.
Dengan posisi yang
cukup strategis tersebut, ternyata tidak serta merta memuluskan langkah PNS
dalam menghadapi hingar bingar kemeriahan pesta pilkada, karena jika salah
dalam menentukan sikap, maka resikonya sudah pasti bukan tanggungan penumpang.
Ini adalah fakta
yang terjadi karena sistem yang ada di negeri ini belum mampu memisahkan
persoalan pada ranah politik dengan urusan di ranah karier dalam praktek tata
pemerintahan di daerah.
Pilihan PNS dalam
pilkada, selain dapat memiliki dampak positif juga dapat berdampak negatif bagi
dirinya.
Salah satu dampak
positif yang mungkin diperoleh jika calonnya menang adalah adanya harapan karir
atau jabatannya lebih mentereng kedepan.
Sebaliknya, dampak
burukpun dapat terjadi bagi PNS yang calonnya belum beruntung (kalah),
kemungkinan perkembangan karir dan jabatannya bakal seret.
Tidak sedikit fakta
membuktikan bahwa PNS yang secara terang-terangan menjadi Tim Sukses dari calon
yang kalah pilkada akhirnya terjebak dalam jurang "kematian" karir.
Bagi PNS pendukung
calon yang kalah, karena dianggap berseberangan dengan calon menang biasanya
akan di'mentok'kan kariernya.
Lantas bagaimana
sebaiknya PNS memposisikan diri dalam menyikapi pilkada langsung seperti ini.
Suatu pilihan sulit
sebetulnya, dan akan menjadi semakin sulit lagi manakala dari calon yang maju
bertarung terdapat beberapa orang yang berasal dari incumbent, apalagi Pimpinan
Daerah Sementara yang notabene adalah atasan dari PNS bersangkutan,
yang tidak sejalan dengan incumbent.
Apakah dengan
keadaan begini harus bersikap netral dan tidak berpihak kepada calon manapun?
Kalaupun harus
Netral, Netral itu yang bagaimana ? PNS Kan punya hak pilih….!
Pertanyaan ini
cukup ideal, tetapi dalam tataran praktis terkadang sulit diwujudkan.
Selain itu dengan
berposisi Netralpun, tak jarang bisa memunculkan spekulasi beragam.
Karena dengan
netral, otomatis terlihat diam atau tidak aktif dan kasarnya tak
berkontribusi.Lebih parah lagi dengan DIAM
PUN DIANGGAP MEMIHAK. Serba sulit memang.
Kita berharap
kedepan ada pemikiran serius dari pemerintah dalam menata sistem dan tata
kelola pemerintahan di daerah, terutama berkaitan dengan regulasi yang dapat
memproteksi keberadaan birokrat atau PNS dari pengaruh dan imbas persoalan
politik, terutama terkait persoalan pasca pilkada di daerah.
Memang sesuatu yang
tidak semudah membalik telapak tangan karena disatu sisi harus berhadapan
dengan kewenangan otonomi dari Kepala Daerah yang super prerogatif dalam
menentukan segalanya di daerah. Kita tidak membayangkan dengan fakta yang
terjadi pada pilkada di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya.
Diyakini puluhan
ribu PNS yang harus menjadi korban politik dan harus siap menerima resiko
terburuk pasca pelaksanaan pilkada, karena suka tidak suka, percaya ataupun
tidak sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan yang tejadi di dunia politik
sedikit banyak pasti menyerempet sampai ke persoalan karier seorang PNS.
Semoga pemerintah pusat dapat membaca fenomena
ini sebagai hal yang tak sepele, sehingga kedepan bakal ada terobosan inovatif
yang akan menjawab "kegundahan hati" para PNS di negeri ini yang
secara faktual sedang berada dalam posisi sulit menghadapi pilkada di daerah.###
Baca Model tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru