Populeritas
Vs Politik Uang
POLITIK
uang bukanlah suatu hal yang baru di pentas politik Indonesia. Jauh sebelum
keriuhan soal merebaknya politik uang di ajang pilkada maupun pileg dan
pilpres, yang diartikan sebagai praktik bagi-bagi uang kepada massa pemilih
untuk memperoleh dukungan suara.
Sebenarnya politik uang telah
terjadi lama sejak sistem pemilihan sebelumnya yang menganut sistem tidak
langsung atau keterwakilan melalui DPR/DPRD.
Hal yang membedakan adalah pada
sistem sebelumnya politik uang berlangsung dalam sirkuit yang terbatas dan
tertutup yang dipusatkan pada lobi-lobi di jaringan partai politik, sementara
pada sistem pemilihan langsung, politik uang terkait dengan transaksi langsung
antara para calon dengan massa pemilih.
Pada sistem pemilihan langsung, para
calon yang bersaing tidak lagi bisa bergantung sepenuhnya pada mesin-mesin
partai politik di dalam memenangkan persaingan. Realita bahwa basis suara
partai seringkali tidak identik dengan basis suara sang calon membuat dukungan
partai politik tidak serta-merta menjamin kemenangan dia, sehingga para calon
harus kreatif dan mandiri di dalam membangun basis-basis suara.
Umumnya mereka hanya menggunakan
partai politik sebagai kendaraan politik untuk mendaftar mengikuti proses
pemilihan, dan kemudian mengandalkan tim sukses masing-masing untuk memastikan
kemenangan.
Berhadapan langsung dengan massa
pemilih bukanlah suatu hal yang mudah. Kemampuan menarik dukungan tidak hanya
terbatas pada kriteria-kriteria normatif, seperti kompetensi, visi-misi dan
karya.
Membangun popularitas di kalangan
pemilih juga membutuhkan kemampuan menawarkan dan memberikan imbalan atas
dukungan politik.
Populeritas atau kinerja yang baik
dari calon seolah, menjadi penilaian nomor urut yang ke 16, dikalahkan dengan
besaran pemberian uang menjelang pilkada.
Karena bagi massa pemilih,
pelaksanaan pilkada tidak lagi dilihat sekedar sebagai sebuah pesta demokrasi,
melainkan juga sebagai ajang transaksional untuk memperoleh keuntungan pribadi
pada saat proses pilkada maupun pasca seorang calon terpilih.
Terjadi peningkatan kesadaran pada
masyarakat bahwa hak suara mereka bisa dijadikan komoditas yang dipertukarkan
dengan uang dan jenis kompensasi lainnya, tidak hanya sekedar dipertukarkan
dengan tuntutan perbaikan kesejahteraan yang abstrak.
Ironisnya hal ini terjadi di saat
juga terdapat kesadaran tentang retorika tata pemerintahan yang baik dan
bersih, yang mencakup pemerintahan yang bebas korupsi, akan tetapi massa
pemilik tetap tidak canggung untuk mengharapkan imbal balik dari para calon.
Penyebab dari kesemua ini bersumber
pada pesimisme masyarakat bahwa calon yang bertarung di pilkada memiliki
komitmen yang serius untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Hal ini kemudian membuat masyarakat merasa tidak masalah maupun bersalah jika
sejak dari awal juga mengambil untung dari para calon.
Selain itu ternyata politik uang
juga merupakan salah satu cara bagi para calon untuk membangun kharisma dan
meyakinkan masyarakat pemilih tentang kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan
para pemilih mereka jika kelak terpilih.
Oleh masyarakat, ‘tingkat keroyalan’
para calon selama proses pilkada dijadikan tolak ukur atas kemampuan mereka
untuk meredistribusikan keuntungan yang akan mereka peroleh jika menjabat
kepada masyarakat pemilihnya.
Sikap pragmatis masyarakat terhadap
politik uang menjadi cerminan bahwa
masyarakat Indonesia masih belajar untuk berdemokrasi.
Akan tetapi dengan semakin
diterimanya politik uang, tantangan untuk mewujudkan demokrasi yang ideal di
Indonesia menjadi semakin rumit.
Kesadaran bahwa kompetensi,
visi-misi dan karya saja bukanlah jaminan memadai untuk memenangkan pilkada
karena kuatnya pragmatisme massa pemilih terhadap politik uang, membuat semua
calon menjadi terbuka untuk melakukan praktik kotor ini yang dilakukan secara
terbuka maupun tersamar.
Saat ini politik uang telah menjadi
penyebab utama membengkaknya biaya kampanye yang harus ditanggung oleh para
calon.
Pembengkakan tersebut kemudian
memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan jika calon tersebut terpilih untuk
memperoleh kembali biaya kampanye yang telah dikeluarkan.
Penyalahgunaan kekuasaan, ketika hal
itu terjadi, kemudian menjadi anti-klimaks maupun ironi dari harapan besar
masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Hal ini karena kegagalan mewujudkan
harapan tersebut tidak lepas dari sikap pragmatis dan permisif mereka sendiri
terhadap politik uang.
Adakah pilkada yang bebas politik uang,
masyarakat Blora-lah sendiri yang menilainya.###
Baca Model tabloid ....?
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru