Opini THR - tabloid INFOKU 100



THR Sebuah Dilema Bagi Buruh

Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 18 sumber berbeda)

Memang sangat jauh berbeda antara PNS dan Pekerja Swasta atau Buruh Swasta terkait THR (Tunjangan Hari Raya).
Saat berita ini ditulis di Blora untuk kalangan PNS jumlah uang yang diterima jelang pilkada didapat oleh para Guru yang telah bersertifikasi, karena disamping gaji 13 juga Tunjangan Profesi (sertifikasi) 3 bulan yang jumlahnya lebih dari  10 juta tiap Gurunya.
Sehingga boleh dibilang penghasilan bersih yang dibayar oleh Negara untuk seorang Guru PNS bersertifikasi, pada bulan ini (Juli-red) lebih besar disbanding pendapatan seorang Kepala Dinas.
Istilah jawa disebut “Bancaan tenan” untuk para guru atau kalimat lain “Sido Badha tenan”.
Namun coba kita lihat sisi lain dari THR ini untuk para buruh.
SETIAP menjelang Lebaran, kaum buruh di Indonesia selalu dihadapkan dengan permasalahan tentang pelaksanaan THR, beberapa pertanyaan yang sering muncul di kalangan kaum buruh adalah; tentang apa itu THR, berapa seharusnya jumlah THR yang berhak diterima oleh buruh dan bagaimana cara mendapatkannya dari majikan (pengusaha).
Sangat ironis jika sampai saat ini masih banyak kaum buruh di Indonesia yang belum memahami betul permasalahan tersebut. Kenapa ada tunjangan? Tunjangan dikenal karena upah rendah dan bersifat tidak tetap mengikuti sifat kerja, dan secara tendensius oleh pengusaha diilusikan sebagai insentif masa kerja. Karenanya ini cara pengusaha menghindar dari biaya tetap atas buruh. Jadi tunjangan tidak dibutuhkan apabila upah cukup dan bersifat tetap.
Nah, di sini banyak orang salah mengartikan bahwa THR merupakan pendapatan tambahan, sehingga orang menyebutnya dengan istilah "gaji ke-13". Hak atas THR akibat dari rendahnya upah dan sifat kerja yang bersifat tidak tetap, demikian juga dengan upah.

Masalah THR sering kali muncul hampir tiap tahun menjelang hari raya Idul Fitri dan menimbulkan berbagai macam persoalan khususnya di kalangan buruh, karena memang masih banyak kaum buruh yang tidak mendapatkan THR. Dus, lagi-lagi pihak buruhlah yang menjadi korban dan yang selalu saja dirugikan, dimana permasalahan yang mengemuka adalah masih banyak buruh yang menerima tidak sesuai dengan aturan besaran THR yang diberikan majikan (perusahaan).
Ironisnya, berbagai macam alasan yang dikemukakan pengusaha, tidak sedikit kaum buruh yang sudah bekerja bertahun-tahun tetap saja tidak mendapatkan sama sekali hak atas THR. Padahal THR merupakan salah satu hak dasar/normatif buruh yang wajib diberikan oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Hal ini selain dikarenakan kaum buruh kurang memahami secara jelas dan lengkap tentang masalah-masalah hak dasar/normatif (THR) yang semestinya didapat, juga karena peran pemerintah dalam hal ini Disnakertrans yang tidak menjalankan fungsinya dalam melakukan kontrol pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran pemberian THR terhadap buruh. Sehingga suka tidak suka kaum buruh dipaksa untuk berjuang apabila menginginkan semua hak-haknya dapat terpenuhi dan diberikan pengusaha.
Sampai saat ini, pelaksanaan THR masih mengacu Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1994. Menurut permen itu, yang dimaksud THR adalah pendapatan buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan berupa uang atau bentuk lain.
Maka THR sebenarnya kedudukannya sama dengan insentif atas masa kerja atau waktu kerja. Hak ini konkrit menjadi tuntutan kebutuhan hidup kaum buruh beserta keluarganya di tengah situasi ekonomi yang semakin terpuruk saat ini, dimana harga-harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi.
Kondisi itu terjadi akibat sejumlah kebijakan pemerintah seperti menaikkan harga BBM, tarif listrik, dan sebagainya, sementara upah buruh sangat minim/rendah. Lihat saja 45 item komponen dalam konsep penyusunan upah misalnya, selain hanya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup minimum bagi buruh lajang, juga tidak ada komponen kebutuhan hidup buruh untuk mendapatkan tunjangan/biaya dalam menjalankan ibadah, salah satunya adalah merayakan Hari Raya Keagamaan. Sehingga sudah semestinya kaum buruh mendapatkan hak atas Tunjangan Hari Raya (THR).
Lebih jelas lagi, dalam Permenakertrans tersebut, besaran uang THR yang harus diterima seorang buruh adalah:
1. Masa kerja 12 bulan atau lebih: 1 x upah sebulan. (upah pokok + tunjangan tetap)
2. Masa kerja 3-12 bulan: Jumlah bulan masa kerja x 1 bulan dibagi 12 bulan
3. Buruh dengan sistem upah borongan, maka besaran THR dihitung berdasarkan rata-rata tiga upah+tunjangan terakhir yang dibawah pulang. Hitungan per bulan adalah rata-rata dibulatkan ke atas dari upah tiga bulan tersebut.
Kapan THR harus dibayarkan? Menurut Permen tersebut, THR harus dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamanaan si pekerja. Namun apabila ada kesepakatan antara pengusaha dan karyawan untuk menentukan hari lain pembayaran THR, hal itu dibolehkan.
Di sisi lain, banyak cara ditempuh pengusaha untuk menghindar dari kewajibannya untuk membayar THR, dan banyak cara dilakukan untuk melipat-gandakan kerja menjelang hari raya untuk menjaga stok barang. Termasuk membeli hari libur dan lembur dengan upah yang rendah. Beberapa praktik yang umum dilakukan oleh pengusaha yang dapat kita simpulkan diantaranya, adalah:
Pertama, menggunakan alasan yang sangat lazim dan umum dilakukan pengusaha, yaitu perusahaan tidak mampu memberikan THR sesuai ketentuan, sehingga dengan alasan tersebut pengusaha hanya memberikan THR atas dasar memampuan dan kemauan dari pengusaha saja, padahal semua majikan/pengusaha selama ini tidak pernah terbuka soal keadaan perusahaan yang sebenarnya dan berapa keuntungan perusahaan dari proses produksinya selama ini.
Kedua, dengan cara menggunakan tenaga kerja buruh kontrak dan outsourcing, sehingga dengan alasan status tersebut pengusaha tidak bersedia memberikan THR pada buruhnya meski sudah bekerja bertahun tahun, bahkan puluhan tahun sekalipun. Padahal Menurut Pasal 2 Permen 04/1994, pengusaha wajib membayar buruh yang sudah bekerja secara berturut-turut selama 3 bulan atau lebih, tidak membedakan status buruh, apakah buruh tetap, buruh kontrak, ataupun buruh paruh waktu. Asal seorang buruh telah bekerja selama 3 bulan berturut-turut, maka ia berhak atas THR.
Ketiga, dengan memanfaatkan ketidaktahuan buruh tentang hak atas THR, yaitu menyebar kebohongan dengan mengelabuhi buruh berlagak layaknya orang yang baik hati dan dermawan dengan memberikan hadiah hari raya berupa pemberian bingkisan pakaian, makanan/buah-buahan dan sedikit uang, padahal apabila dihitung total pemberian tersebut kurang bahkan jauh dari ketentuan yang seharusnya didapat buruh.
Sebetulnya, jika pengusaha takk mampu membayar THR pun, sah-sah saja. Karena menurut pasal 7 Permen 04/1994, jika pengusaha tidak mampu membayar THR boleh membayarnya lebih kecil dari ketentuan yang berlaku dengan syarat:
1. Mengajukan permohonan penyimpangan jumlah pembayaran THR kepada Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Pengajuan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya karyawannya.
3. Mengenai jumlah THR yang wajib dibayarkan ditentukan oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Namun jika kondisi perusahaan sejatinya mampu membayar THR, namun perusahaan berkelit, sanksi tegas mengancam pengusaha bersangkutan. Sesuai pasal 8 Permen 04/1994, pengusaha tersebut diancam pidana kurungan maupun denda.
Ironisnya, meski sering ditemui pelanggaran mengenai pelaksanaan THR di banyak perusahaan sampai saat ini belum ada satupun perusahaan yang mendapatkan sanksi dari pemerintah, karena memang tidak ada keseriusan sedikitpun dari pemerintah dalam menjalankan dan melaksanakan peraturan yang mereka buat sendiri. Sehingga semakin meneguhkan pandangan dan sikap kaum buruh siapa sebenarnya pemerintah, yang tak lain adalah para pengusaha komperador, tuan tanah dan kapitalis birokrat yang selalu saja melindungi para pengusaha meskipun sudah nyata terbukti melakukan pelanggaran.
Di sisi lain, Karena mengingat banyaknya pelanggaran atas pelaksanaan THR maka sebisa mungkin para aktivis/pimpinan serikat buruh yang mempunyai komitmen kepedulian terhadap buruh agar bersedia membantu dengan berjuang bersama dengan cara membuat posko pengaduan masalah pelanggaran THR dan membangun kerjasama dengan sektor lain yang peduli dan bersedia mendukung perjuangan buruh.


Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik
kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru