Telantarkan
Anak Luar Nikah, Penjara Mengancam
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 0 sumber
berbeda)
BAGI
para laki-laki hidung belang, jangan sembarangan main perempuan. Baik itu
secara nikah siri, nikah kontrak, apalagi zinah. Sebab, bagi mereka yang
memiliki anak dari hubungan ’gelap’ tersebut akan masuk penjara jika menolak
bertanggungjawab atas anak yang lahir tersebut. Bahkan, anak hasil hubungan di
luar nikah itu juga berhak mendapatkan warisan.
Mahkamah Agung (MA) telah
memerintahkan seluruh hakim pengadilan
agama untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hak anak di luar kawin yang wajib
dinafkahi ayah biologis. Selain itu,
keluarga ayah biologisnya juga ikut terseret dan harus iktu
bertanggungjawab.
Seperti diketahui, beberapa waktu
lalu MK mengabulkan gugatan uji materi pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang diajukan pedangdut yang juga menikah siri Moerdiono,
Machica Mochtar. Dalam putusannya, pasal tersebut diubah menjadi "anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
"Tapi, perintah itu tidak hanya
didorong putusan MK, juga didasarkan atas Mazhab Hanafiah, yakni anak hasil
perzinaan berhak mendapat nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah
biologisnya, tapi istilahnya bukan waris," ungkap Kepala Biro Hukum dan
Humas Mahkamah Agung (MA), Ridwan Mansyur, Senin (4/2).
Ridwan menjelaskan, perintah
tersebut dikeluarkan seusai dituangkan oleh Komisi Bidang Peradilan Agama MA
beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari hasil
hubungan perzinaan berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga
ayah biologisnya.
"Untuk memenuhi rasa keadilan,
melindungi kepentingan dan HAM anak, maka ayah biologisnya wajib menafkahi
segala biaya hidup si anak sesuai kemampuan dan kepatutan," urainya.
Sementara itu, Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Merdeka Sirait mengungkapkan, vonis MK
tersebut akan menjadi landasan hukum dalam memajukan upaya advokasi bagi
anak-anak di luar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi, langkah MA tersebut
mempertegas hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Sehingga, bagi
anak yang akta lahirnya tidak mencantumkan nama ayah tidak berimplikasi tidak
mendapatkan “hak waris”. Kami sangat mengapresiasi langkah ini," ujarnya.
Ia menjelaskan, hingga saat ini
hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai
sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri,
angka ini hampir separuh dari total jumlah anak di bawah 5 tahun yang ada di
Indonesia. "Jika untuk mendapatkan hak waris harus ada pengakuan
keperdataan, maka pastinya semua anak tersebut akan kehilangan haknya, ini
sangat tidak memenuhi rasa keadilan bagi mereka (anak)," imbuhnya.
Di bagian lain, MK dan MA diminta
untuk mengeluarkan semacam edaran atau pengingat kepada para pengadil untuk
memastikan keputusan pada perkara hak anak di luar nikah yang diputus di muka
meja hijau harus sesuai dengan konstitusi negara. Bukan fatwa dan semacamnya.
”Saya kira sudah tidak perlu lagi
mempertentangkan antara keputusan MK dengan fatwa MUI,” ujar aktivis perempuan
Nong Darol Mahmada. Wanita berambut pendek ini menyebut, sebagai negara hukum,
sudah sepantasnya konstitusi menjadi rujukan utama. Di negara hukum, konstitusi
negara diyakini menjadi sumber rujukan pemenuh rasa keadilan bagi warganya.
Apalagi menyangkut hak yang menyangkut kebutuhan asasi setiap manusia di negara
tersebut.
Keputusan MK memang sempat memantik
protes keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyorong argumen Islam
tidak mewajibkan ayah biologis seorang anak di luar nikah memenuhi
kebutuhannya. MUI sempat mengeluarkan fatwa untuk menanggapi keputusan MK
tersebut.
Menurut Nong, pasca keluarnya
putusan MK sudah tidak perlu lagi ada pertentangan pada persoalan hak anak di
luar nikah. Termasuk menentangnya dengan dalil-dalil hukum agama. ’’Nggak perlu
lagi ada pertentangan. Pengadilan Agama sudah seharusnya dengan sendirinya
merujuk pada keputusan MK. Buat apa ada MK kalau masih ada pertentangan lagi?’’
jelasnya.
Keputusan MK adalah bagian dari
konstitusi yang berlaku bagi semua warga negara, sedangkan fatwa MUI sifatnya
lebih spesifik pada umat tertentu. Nong menambahkan, sudah sewajarnya anak di
luar nikah tetap mendapat hak dari ayah biologisnya. ’’Anak itu kan tidak
berdosa. Dia tidak tahu latar belakang dan bagaimana kelakuan ibu dan bapaknya.
Sudah seharusnya dia kemudian mendapat hak dari orangtuanya,’’ jelasnya.
Bagi seorang perempuan, mengandung
dan melahirkan anak di luar nikah pada dasarnya adalah bentuk tanggungjawabnya.
Nah, si ayah biologis sudah sepantasnya kemudian ikut bertanggungjawab menopang
kehidupan si anak.
Di lapangan, Nong mengakui tidak
mudah untuk langsung menerapkan keputusan hukum seperti yang dikeluarkan oleh
MK. Pengawasan menjadi syarat penting. ’’Setelah keputusan MK keluar, sudah
seharusnya semua peraturan hukum yang bertentangan dengannya gugur,’’ sambung
Nong.
Di lain pihak, masyarakat juga perlu
mendapat informasi soal keputusan tersebut. Harapannya, mereka yang memiliki
persoalan anak di luar nikah bisa merujuk pada keputusan tersebut.
Wakil ketua bidang Fatwa MUI,
Asrorun Ni’am Sholeh menegaskan, secara prinsip tidak ada perbedaan pandangan
antara MUI, MK dan MA. ”Prinsipnya sama dan bisa diterapkan dalam persidangan,”
ujar Asrorun Ni’am Sholeh saat ditemui di DPR, Jakarta, Senin (4/2).
Namun, menurutnya, fatwa MUI tetap
mempertegas bahwa status anak lahir di luar nikah memiliki batasan yang tidak
sama dengan anak yang lahir dalam pernikahan. Anak lahir di luar nikah tidak
memilih hak waris, nasab dan perwalian. Dalam pandangan itu, lanjut dia, para
hakim MA menerima pendapat tersebut. Artinya anak yang lahir di luar nikah atau
hasil perzinahan tetap memiliki hak perlindungan. Dengan mewajibkan orang
tuanya memenuhi hak-hak hidupnya.
“Prinsipnya anak harus dilindungi.
Kebutuhan sebagai hak tak boleh diabaikan. Namun tetap harus dibatasi perbedaan
anak diluar nikah dan anak yang lahir dalam pernikahan,” paparnya.
Wakil Sekjen MUI, Ichwan Sam meminta
penerapan putusan MK yang dilakukan para hakim di pengadilan tidak boleh keluar
dari fatwa MUI. Alasannya kesepatan MUI, MK dan MA sudah jelas dalam pokok
perkara hak anak yang lahir dalam pernikahan dan hak anak yang lahir diluar
pernikahan.
Kesimpulan dan Saran
Mengenai tanggungjawab hukum seorang ayah
terhadap anak hasil perkawinan siri setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 ini, maka apabila anak di luar nikah ini terbukti melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum bahwa
merupakan anak biologis dari ayahnya atau memiliki hubungan darah, maka anak
tersebut mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, biaya hidup,
pendidikan dan waris. ###
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru