Ijasah Palsu Perguruan Tinggi



Ijazah Palsu, Borok Dunia Pendidikan Tinggi yang Tidak Pernah Tuntas
31/05/15, 07:00 WIB
Polresta Medan saat menunjukkan ijazah palsu University of Sumatera di Medan Kamis (28/5). (Jawa Pos Group)

SAKING mudahnya, kita bahkan tidak perlu beranjak dari tempat tidur untuk mencari ijazah palsu. Di banyak situs, ditawarkan berbagai pilihan ijazah palsu. Harganya bervariasi, sesuai kelas level kampus. Segala jurusan pun ada.

Ijazah palsu laris karena semua jadi serbamudah. Ijazah S-1 seharga Rp 20 juta. Itu jauh lebih murah bila dibandingkan dengan biaya kuliah sungguhan. Apalagi, dari segi waktu, kuliah S-1 butuh empat sampai lima tahun. Beli ijazah palsu, dalam hitungan hari, gelar sudah dalam genggaman.

Melihat betapa maraknya praktik ijazah palsu, kalau Kemenristekdikti bersama pihak berwajib mau, para pelaku pasti sangat mudah ditangkap. Namun, karena operasi untuk memberantas kejahatan itu tidak pernah konsisten, praktik kotor-kotor tersebut tidak pernah hilang. 

Padahal, hukuman pidana pelaku untuk pelaku kejahatan itu sangat berat, penjara selama sepuluh tahun atau denda Rp 1 miliar. Itu berdasar UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Selain ijazah palsu, peredaran ijazah asli tapi palsu (aspal) sangat marak. 

Dua hal tersebut berbeda. Ijazah palsu adalah ijazah yang dikeluarkan perorangan atau lembaga yang tidak berizin sebagai perguruan tinggi.
Jika pelakunya perorangan, biasanya dia memiliki banyak stempel logo kampus ternama untuk membuat ijazah palsu. Misalnya, penerbitan ijazah palsu oleh sebuah lembaga yang terungkap seperti di kasus University of Berkley Jakarta.

Sementara itu, ijazah aspal adalah ijazah yang dikeluarkan perguruan tinggi resmi. Tetapi, mahasiswanya tidak menjalani aturan perkuliahan sesuai ketentuan. Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemenristekdikti Supriadi Rustad menuturkan, ada mahasiswa yang datangnya cuma saat wisuda, tetapi mendapatkan ijazah.

”Pemerintah tidak mengakui keduanya. Ijazah palsu maupun ijazah aspal,” tandasnya kemarin.

Supriadi mengatakan, modus kejahatan ijazah yang paling sering adalah ijazah aspal. Sebab, sekilas lembar ijazah terlihat meyakinkan karena diterbitkan kampus yang mengantongi izin operasional. Namun, ijazah itu bisa kena cekal karena mahasiswa tidak melalui perkuliahan sesuai ketentuan.

Guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut menjelaskan, memang saat ini ada celah bagi PTS untuk memasukkan rombongan mahasiswa ’’gelap’’ saat wisuda. Modusnya, mereka biasanya dibuat seolah-olah sebagai mahasiswa transfer dari kampus lain. Tetapi, mahasiswa itu tidak pernah mengikuti perkuliahan lanjutan di kampus baru. Tiba-tiba mereka langsung wisuda.

Dia menuturkan, seharusnya satu hingga dua bulan sebelum wisuda, semua PTS wajib melaporkan nama-nama wisudawan dan wisudawatinya ke Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) setempat. Kemudian, oleh Kopertis, nama-nama itu dicek melalui pangkalan data pendidikan tinggi (PDPT). Apakah para mahasiswa itu telah mengikuti proses perkuliahan dengan wajar atau tidak.

Namun, pada praktiknya, PTS-PTS tidak melaporkan nama-nama para mahasiswa untuk dilakukan pengecekan ulang oleh Kopertis. Selama ini pelaporan menjelang wisuda itu memang bersifat tidak wajib mengikat. Jadi, sistem tersebut menjadi celah suburnya praktik ijazah aspal jika tidak dilakukan revisi. Yakni, dengan mewajibkan setiap wisuda melaporkan ke Kopertis.

Jawa Pos pernah mengikuti inspeksi wisuda PTS yang dilakukan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Ditjen Dikti ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. 

Awalnya, inspeksi itu bertujuan mengecek wisuda yang diadakan STIE Adhy Niaga Bekasi, yang diduga kuat menjual ijazah palsu. Tetapi, tiba-tiba wisuda yang sedianya digelar di Gedung Pewayangan TMII Rabu lalu (27/5) itu dibatalkan. Tak seorang pun mahasiswa yang akan diwisuda datang ke TMII.

Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Ditjen Dikti Hermawan Kresno Dipojono menuturkan, tidak benar jika kampus-kampus (PTN maupun PTS) yang menerbitkan ijazah palsu dan aspal dibiarkan beroperasi. ”Selama saya menjabat, banyak kampus yang saya cabut izinnya,” katanya.

Hermawan menyatakan, pemerintah akan konsisten menekan kejahatan akademik itu. Sebab, masyarakat bisa menjadi korban dan ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah karena tidak melakukan upaya perlindungan. Dia juga sudah memampang daftar kampus yang berstatus nonaktif. Diharapkan, masyarakat tidak memilih kampus berstatus nonaktif daripada menanggung risiko legalitas ijazah.
Namun, dia menuturkan, pemerintah tidak bisa main tutup begitu saja. Jika memang kampus yang bersangkutan harus ditutup, skemanya berjenjang. Yakni, izin prodi tertentu yang melakukan kesalahan atau menerbitkan ijazah palsu dicabut. Jika ternyata kasus ijazah palsu terjadi di banyak prodi, yang dicabut adalah izin operasional kampus sekaligus.

Menurut Hermawan, upaya utama untuk menangani kampus resmi yang nakal adalah pembinaan. ”Jika tidak bisa dibina, ya ditutup,” tegas dia. Sebab, bagaimanapun, PTS merupakan aset bangsa. PTS ikut membantu negara dalam menyediakan akses bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Dengan bantuan PTS saja, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi masih sekitar 30 persen. Artinya, hanya ada 30 persen kalangan usia kuliah yang masuk ke perguruan tinggi. Jika PTS-PTS asal dihabisi tanpa pembinaan, APK pendidikan tinggi itu dikhawatirkan turun lagi.

Gebrakan Menristekdikti Muhammad Nasir dalam membongkar kasus ijazah palsu tidak sepenuhnya disambut positif. Khususnya terkait dengan konsistensi menjalankan upaya bersih-bersih itu. Pengamat pendidikan sekaligus penulis buku pendidikan karakter Doni Koesoma khawatir jika gerakan sporadis itu hanya digunakan untuk pencitraan. ”Apalagi, baru-baru ini ada isu Presiden Jokowi mau me-reshuffle menteri-menterinya,” katanya.

Doni menjelaskan, sampai detik ini, belum ada langkah serius dan sistematis untuk menghapus kejahatan pemalsuan ijazah. Dia mengatakan, ijazah palsu ada sejak dulu. Termasuk ketika urusan pendidikan tinggi dipimpin oleh Mendikbud Mohammad Nuh. 

Tetapi, sampai sekarang, belum ada program konkret untuk mencegah dan menghentikannya.

Menurut dia, harus ada kebijakan bersama antara dikti, polisi, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta badan-badan lain untuk urusan ijazah palsu itu. ”Sampai sekarang, saya menilai masih besar indikasi pencitraannya. Masih besar nuansa ingin diliput media,”tutur dia.

Dia mengatakan, supaya tidak dicap sebagai pencitraan, upaya Menristekdikti untuk memberantas ijazah palsu itu harus berjalan berkesinambungan atau konsisten. ”Tidak perlu sekelas menteri ngobrak-abrik kampus. Menteri cukup buat kebijakan saja, biar pegawainya yang jalan,” kata dia.

Wakil Ketua Komisi X (bidang pendidikan) DPR Ridwan Hisjam juga meminta Nasir konsisten. ”Jangan sampai ada cap gerakan ini hanya pencitraan,” kata dia.

Jika ada upaya yang sungguh-sungguh, semua lembaga harus mengecek ijazah pegawai masing-masing. Mulai para menteri; pejabat eselon I, II, dan di bawahnya; para anggota DPR; hingga PNS di seluruh Indonesia harus dicek.

Ridwan juga berharap polisi bekerja secara profesional. Dia mengatakan, kasus ijazah palsu itu bukan delik pengaduan. Artinya, upaya polisi tidak hanya menunggu ada laporan dari Nasir. ”Selama ini, polisinya ke mana? Apakah ikut main-main juga dengan ijazah palsu?” ucap dia.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat ikut berkomentar tentang peredaran ijazah palsu dan aspal. Dengan blak-blakan, dia mengatakan bahwa ijazah bodong kerap lolos dalam penyetaraan ijazah PNS. 

”Kalau untuk PNS yang baru mendaftar, agak ketat screening-nya. Tetapi, bagi PNS yang sudah bekerja tapi butuh ijazah, itu yang sering lolos,” katanya.

Tumpak mengakui, ada beberapa posisi jabatan PNS yang membutuhkan upgrading kualifikasi ijazah. Misalnya yang awalnya D-3 harus S-1 atau yang awalnya S-1 harus S-2. Dengan kesibukan pekerjaan yang padat, banyak oknum PNS yang mengambil jalur singkat dengan memesan ijazah kilat.

Menurut Tumpak, salah satu modus pemesanan ijazah kilat di kalangan PNS yang existing adalah memanfaatkan kelas kuliah jauh. Misalnya ada kampus resmi di Jawa, tetapi membuka kelas jauh di Kalimantan atau Sumatera. ”BKN kesulitan untuk memastikan ijazah itu hasil kuliah jauh atau kuliah normal. Karena logo ijazahnya sama,” kata Tumpak.

Untuk itu, Tumpak berharap lembaga terkait seperti Kopertis atau bahkan kepolisian bertindak tegas kepada kampus-kampus yang membuka kelas jauh. Kemenristekdikti melarang keberadaan kelas jauh itu. Proses kuliah jauh sangat sulit dikontrol. Misalnya, ada mahasiswa yang masuk saat ujian saja atau bahkan ketika wisuda saja.

Namun, Tumpak mengatakan, peredaran ijazah palsu dan aspal justru lebih banyak di instansi atau lembaga swasta. Dia menuturkan, tidak semua posisi jabatan tinggi di perusahaan-perusahaan swata murni diperebutkan berdasar kinerja. Adakalanya juga didasari kualifikasi ijazah.

Penggunaan ijazah palsu di lembaga atau perusahaan swasta itu diperparah dengan sistem internal perusahaan yang lemah. Perusahaan tentu tidak memiliki waktu atau kapasitas yang kuat untuk memastikan ijazah karyawannya diperoleh dengan cara yang benar atau tidak.

Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbud Haryono Umar memiliki pengalaman kuliah di tengah statusnya sebagai PNS Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). ”Waktu itu saya libur kerja sama sekali. Karena kuliah lanjutan saja (S-2) di Amerika Serikat,” tegas dia.

Mantan pimpinan KPK itu mengatakan, PNS memang bisa melanjutkan kuliah. Tetapi, skema paling aman adalah mengambil aturan status tugas belajar. Dengan demikian, dia bisa berfokus untuk kuliah tanpa terbebani pekerjaan sehari-hari.

Haryono, yang sebentar lagi full jadi dosen, menuturkan, ada aturan atau skema baku dalam proses perkuliahan. Untuk jenjang S-1, misalnya, skema tatap muka kuliahnya adalah 7-UTS-7. Maksudnya adalah tujuh kali tatap muka sebelum ujian tengah semester (UTS) dan tujuh kali tatap muka setelah UTS. ”Semua itu harus diikuti,” tegas dia. Tidak boleh hanya ikut ujian saja atau bahkan wisudanya saja.

Aturan penggunaan ijazah aspal bagi PNS memang kurang menggigit. PNS yang kedapatan menggunakan ijazah aspal hanya diberi sanksi administrasi. Yakni, dicopot dari jabatannya. Juga sanksi penurunan pangkat satu level atau satu tingkat.

Tetapi, jika proses ijazah aspal itu disidik oleh kepolisian dan berujung hukuman pidana, status PNS bisa dicabut. Sebab, dalam aturan kepegawaian, PNS yang dipidana penjara dalam jangka waktu tertentu akan dipecat. (wan/mia/far/ang)