Pemberantasan
Korupsi ala Pers
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber
berbeda)
Sebagai
salah satu pilar demokrasi, pers menduduki posisi penting dalam bernegara.
Eksistensi pers tak sekadar menjalankan fungsi penyaji informasi dan sarana
pendidikan, tapi sekaligus memiliki fungsi kontrol terhadap kebijakan
penyelenggara negara.
Beberapa kebijakan tidak populis dan
penggunaan anggaran negara yang tidak rasional ditelusuri lebih mendalam
melalui kerja jurnalistik sehingga masyarakat mengetahui potensi
kesewenang-wenangan penguasa berwujud korupsi.
Beberapa skandal megakorupsi terus
dikawal pers, mulai dari penyelidikan hingga penjatuhan vonis di pengadilan.
Apabila ada kejanggalan dan perlakuan tebang pilih terhadap koruptor, pers
menggalang suara publik melalui pemberitaan yang imbang. Dapat dikatakan bahwa
kedudukan pers sebagai instrumen check and balances berjalannya pemerintahan.
Sepanjang tahun pers setidaknya
memiliki kiprah positif dalam pemberantasan korupsi, di antaranya berhasil
mendukung dan merilis kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
tentang sejumlah transaksi finansial yang mencurigakan kepada masyarakat.
Misalnya, siasat koruptor mengelabui
penegak hukum dengan menyimpan hasil korupsi di rekening anak, istri, suami,
atau sanak saudara. Begitu pula aset koruptor yang berjumlah besar dan telah
terintegrasi dalam sebuah capital perusahaan berskala internasional berhasil
diungkap berkat peran media.
Pers memberi informasi berharga
kepada masyarakat tentang sejumlah koruptor yang belum dieksekusi lantaran
melarikan diri dan belum dijebloskan ke penjara karena sejumlah alasan.
Pemberitaan demikian sangat penting diarusutamakan dalam mewujudkan prinsip
kesamaan kedudukan di hadapan hukum.
Pers sangat kritis menyorot tren
vonis rendah yang dijatuhkan hakim pengadilan tipikor. Kejelian pers dalam
menggali informasi, tak pelak, membuat hakim yang sejak awal dicurigai
putusannya memihak harus tertangkap tangan oleh KPK tersebab menerima suap.
Dengan demikian, peran pers sangat vital di tengah ancaman korupsi yang tak
terbendung.
Potret evolusi korupsi di Indonesia
kian mengerikan. Bukan perkara perubahan siasat cara sederhana menjadi lebih
canggih seperti korupsi kebijakan, kongkalikong perizinan dalam bisnis,
jual-beli pasal dalam perumusan aturan, hingga praktik dagang hukum.
Persoalan korupsi patut juga dilihat
dari segi kualitas pelaku yang bukan lagi pada level aparat setingkat
kelurahan. Pejabat negara dan kalangan elite politik pun kini justru semakin
banyak terperangkap dalam jaringan korupsi. Meluasnya level pelaku korupsi
hingga ke jantung pemangku utama negara tentu semakin menyulitkan Indonesia
keluar dari mimpi buruk peringkat negara dengan tingkat korupsi tinggi.
Kondisi keprihatinan terhadap sikap
kemaruk elite bangsa tersebut semakin diperparah dengan persebaran virus
korupsi pada generasi muda. Berdasarkan kualifikasi umur, mulai banyak koruptor
muda yang menduduki jabatan strategis di partai politik maupun lembaga
pemerintahan harus mendekam di balik jeruji.
Hal ini menandakan regenerasi
koruptor telah membiak secara berjenjang pada berbagai level jabatan dan
rentang usia. Transparency International Indonesia (TII) menyebut Indonesia
sebagai negara ke-114 dari 1 negara dengan indeks persepsi korupsi terendah.
Berdasarkan hasil survei tersebut,
dari 1 negara yang menjadi lokus survei, 0 persen negara-negara di dunia
memiliki skor di bawah 50. Ironisnya, hanya sedikit negara yang memiliki
mitigasi risiko korupsi cukup baik. Indonesia termasuk dalam kualifikasi negara
dengan indeks persepsi korupsi rendah dengan skor 32 atau setara dengan Mesir.
Berkaca pada fenomena regenerasi
koruptor dan kualitas pelaku korupsi tadi, pemberdayaan pers yang independen
harus terus dilakukan. Pers harus membebaskan diri dari konflik kepentingan
industri media yang belakangan acap membelokkan idealisme untuk kepentingan
tertentu. Pers juga diharapkan tampil lebih tangguh menghadapi serangan balik
pemegang tampuk kekuasaan melalui peningkatan akurasi informasi.
Sekali lagi, pers Indonesia harus
merdeka! Pekik harapan ini mengemuka pada tiap momentum Hari Pers Nasional, 9
Februari. Dalam perjalanannya pers acap kali dipandang secara tidak
proporsional. Benar doktrin kebebasan pers dijamin di Indonesia, namun pada
saat yang sama keberlangsungannya selalu disudutkan penguasa.
Setiap Hari Pers, Presiden kerap
mengapresiasi kiprah pers nasional yang dianggap mampu menjalankan fungsi
sebagai bagian dari proses check and balances penggunaan kekuasaan. Namun,
giliran pers menjalankan fungsi kontrol, tak jarang disikapi penguasa dengan
mengecam sehingga media kehilangan independensi. Wajar Napoleon Bonaparte
gelisah sembari mengatakan, “Apabila pers dibiarkan, saya tidak akan kuat
memerintah lebih dari 3 bulan.”
Pemerintah hanya melanggengkan media
yang dianggap mendukung politik pencitraan, sementara harapan membangun pilar
pers yang merdeka dengan memelihara nalar kritisnya hanyalah cita-cita utopis.
Padahal, pers menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian persoalan bangsa.
Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakan kebebasan dalam
menjalankan tugas jurnalistik untuk mendapat berita, mengolah, menyusun, serta
menyiarkan.
Semua bentuk pengerdilan otoritas
pers, baik pembatasan bersifat preventif ataupun represif, yang dilakukan
adalah kesewenang-wenangan. Karena itu harus dilarang.
Selama ini, pers dianggap terlalu
“kebablasan”dan kerap mengkritik pemerintah. Ini menjadi mimpi buruk kebebasan
pers di Indonesia dan awal mula robohnya media karena tidak mungkin mengkritik
pemerintah tanpa dasar. Pers “ngawur”dalam pemberitaan tanpa didukung fakta,
secara alamiah akan ditinggalkan pembaca.
Pemerintah tidak perlu pusing
dikritik media. Masyarakat yang akan menilai. Cukuplah menjawab kritikan itu
dengan kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi pemerintah
terkuras habis hanya berpolemik dengan media sehingga agenda besar terbengkalai.
Sekarang zaman yang menghendaki
kedewasaan dalam bernegara, ketulusan dalam memimpin tanpa mengaharap pujian,
serta diperlukan problem solving. Anggap saja kritik pers sebagai cambuk
introspeksi atas kinerja. Masyarakat lebih jeli dan cerdas dalam menilai
pemerintah.
Tanpa kritik pers pun, jika melihat
banyak kegagalan pemerintah dalam memimpin, masyarakat sudah tahu. Hanya
masyarakat perlu media untuk menyalurkan aspirasi karena lembaga legislatif
yang diharapkan menyuarakan kepentingan rakyat kadangkala tersumbat.
Ketidakharmonisan hubungan pers
dengan kekuasaan akan menimbulkan banyak beberapa implikasi. Pengecaman atas
fungsi kontrol pers akan melanggengkan rezim otoriter sehingga berpotensi
munculnya kekuasaan sewenang-wenang. Ketika pemerintah antikritik, check and
balances negara dan masyarakat terganggu. Ini sangat membahayakan bagi
berlangsungnya sistem demokrasi.
Pers sebagai unsur kekuasaan sosial
akan kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi. Dalam jangka panjang ini
akan melemahkan keberdayaan masyarakat. Ketika pers mengkritik penguasa,
sesungguhnya sedang mewakili suara masyarakat.
Dengan kata lain, pers menjadi
instrumen demokrasi untuk menyuarakan mereka yang tidak mampu lagi bersuara. Di
masa mendatang pers yang merdeka semakin diperlukan untuk mendobrak mental
korup para penguasa.
“Dirgahayu Pers Indonesia 9 Pebruari 2015”. ###
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru