Memaknai
Permen dan Konsekwensi Hukumnya
Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto –
Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 14 sumber berbeda)
Peraturan
menteri (Permen) dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya saya sebut sebagai UU No. 12/2011)
tidak diatur dalam ketentuan Pasal ayat (1). Namun demikian, jenis peraturan
tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang
menegaskan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.”
Walaupun ketentuan di atas tidak
menyebut secara tegas jenis peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan
Menteri”, namun frase “…peraturan yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas,
mencerminkan keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan.
Dengan demikian, Peraturan Menteri
setelah berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui keberadaannya.
Persoalan selanjutnya, bagaimanakah
kekuatan mengikat Peraturan Menteri tersebut? Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011
menegaskan:
“Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Dari ketentuan di atas, terdapat dua
syarat agar peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU
No. 12/2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundang-undangan,
yaitu:
1.
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
2.
dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam
doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar
kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk
atas dasar:
1. atribusi pembentukan peraturan
perundang-undangan; dan
2. delegasi pembentukan peraturan
perundan-undangan
A. Hamid S. Attamimmi (1990, hlm.
352), menegaskan Atribusi kewenangan perundang-undangan diartikan penciptaan
wewenang (baru)oleh konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang
(wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun
yang dibentuk baruuntuk itu.
Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan
atribusian dalam UUD 1945, berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan Daerah
(Perda). Dalam UU No. 12/2011 juga dikenal satu jenis peraturan
perundang-undangan atribusian di luar UUD 1945, yaitu Peraturan Presiden
(Perpres), yang pada masa lalu dikenal sebagai Keputusan Presiden yang bersifat
mengatur yang dasarnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu, delegasi dalam bidang
perundang-undangan ialah pemindahan/ penyerahankewenangan untuk membentuk
peraturan dari pemegang kewenangan asal yang memberdelegasi (delegans) kepada
yang menerima delegasi (delegataris) dengan tanggungjawab pelaksanaan
kewenangan tersebut pada delegataris sendiri, sedangkan tanggungjawab delegans
terbatas sekali (A. Hamid S. Attamimmi: 1990, hlm. 347).
Contohnya dari peraturan
perundang-undangan delegasi, misalnya tergambar dalam Pasal 19 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan
bahwa:
”Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara
Indonesiasebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.”
Peraturan menteri yang dibentuk atas
dasar perintah dari undang-undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan
demikian, secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Kembali pada persoalan keberadaan
dan kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8
ayat (1) UU No. 12/2011, termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) UU No.
12/2011 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar
delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 juga menegaskan adanya peraturan
perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”.
Istilah “kewenangan” dalam ketentuan
tersebut, tentu saja bukan kewenangan membentuk peraturan melainkan kewenangan
pada ranah lain.
Misalnya, Menteri melaksanakan
kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang merupakan kekuasaan Presiden.
Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri
tersebut tetap dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal
dalam doktrin tidak dikenal jenis peraturan perundang-undangan demikian.
Hal ini perlu dikaji lebih lanjut
dari perspektif Ilmu Perundang-undangan terutama dalam kaitannya peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dimana norma
hukum yang lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih tinggi
sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang disebut oleh Joseph Raz sebagai
chain of validity (dalam Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at: 2006, hlm.
157).
Dalam undang-undang sebelumnya
(Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), tidak dikenal peraturan perundang-undangan
yang dibentuk atas dasar kewenangan, termasuk dalam hal peraturan menteri.
Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku UU No. 12/2011, dikenal
secara teoritik sebagai peraturan kebijakan (beleidregels).Yaitu suatu
keputusan pejabat administrasi negara yang bersifat mengatur dan secara tidak
langsung bersifat mengikat umum, namun bukan peraturan perundang-undangan
(Bagir Manan dan Kuntana Magnar: 1997, hlm. 169).
Karena bukan peraturan
perundang-undangan, peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung
yang memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2)
UU No. 12/2011, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri yang
merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan Menteri yang merupakan
Aturan Kebijakan.
Kedudukan Peraturan Menteri yang
telah dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011, tetap berlaku sepanjang tidak
dicabut atau dibatalkan.
Namun demikian, menurut saya, terdapat dua jenis kedudukan Peraturan Menteri
yang dibentuk sebelum berlakunya UU No.
12/2011.
Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar
perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berkualifikasi sebagai
peraturan perundang-undangan.
Kedua, Peraturan Menteri yang
dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (atas dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan.
Hal ini disebabkan UU No. 12/2011
berlaku sejak tanggal diundangkan (vide Pasal 104 UU No. 12/2011 2011),
sehingga adanya Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum tanggal diundangkannya
UU No. 12/2011 masih tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang yang lama (UU
No.10/2004). Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori pertama di atas,
yang dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Agung.
Selanjutnya, kedudukan Peraturan
Menteri yang dibentuk setelah berlakunya UU No. 12/2011, baik yang dibentuk
atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang
dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada
pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut
memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat dijadikan objek
pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan
undang-undang. Sekedar
menegaskan kembali, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/
atas kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut. ###
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru