Refleksi Hari Jadi Blora
Jangan Kaburkan
Sejarah Blora
INFOKU, BLORA- Lokasi Kabupaten Blora yang letaknya diperbatasan Jawa
Tengah dan Jawa Timur harusnya dipandang sangat strategis di kemudian hari.
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur,
kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih
dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air,
dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W
dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.
Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi
BAILORAH, dari BAILORAH menjadi Balora dan kata Balora akhirnya menjadi Blora.
Jadi nama Blora berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan
pengertian tanah berlumpur.
Sampai saat ini tentang tanggal dan tahun berdirinya Kabupaten Blora dan
siapa Bupati pertamanya masih rancu.
adanya 2 versi yang berbeda tentang sejarah Blora, antara versi yang
tercatat dan dipublikasikan selama ini dengan versi yang dipahami oleh
keturunan Sunan Pojok di Yogyakarta.
Raden Tumenggung Djaya Dipa Atau Tumenggung
Wilatikto
Puncak kejayaan Mataram terjadi ketika dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1613-1645). Ia merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar- besaran dan
teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari
Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah
seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Blora yang pada saat itu juga bagian dari Mataram disinggahi seorang
panglima Mataram yang bernama Pangeran Surabahu atau yang kita kenal
dengan Sunan Pojok (Syaikh Amirullah Abdulrahim).
Dari sisi geneologisnya Sunan Pojok masih mempunyai hubungan darah
dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Dewi
Candrawati binti
Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari
Jipang Panolan.
Tugas yang diemban Sunan Pojok pada waktu itu adalah menghadapi VOC dan
beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap
Sultan Mataram.
Sunan Pojok berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang
diraih pada 20 Nopember 1626, yang
tercatat sebagai arsip nasional karena satu satunya peperangan yang mampu
mengalahkan VOC, serta mengalahkan semua adipati yang menentang.
Setelah melapor den kembali ke wilayah Blora dan Tuban, Pangeran Pojok
kelelahan dan jatuh sakit kemudian dirawat oleh putranya, R. M Sumodito, yang
juga mempunyai sifat yang sama seperti ayahnya untuk selalu setia dan patuh
pada kanjeng Sultan Agung dan Pangeran Mangkubumi Hamengkubuwono I selain juga
berbakti pada orang tua.
Untuk itu, diangkatlah Sumodito menjadi Bupati Blora pertama kali dengan
nama atau
Raden Tumenggung Djoyodipo atau
dikenal juga Raden Tumenggung Djoyowiryo sesuai dengan "lenggahan"
(kedudukan) yang dimiliki (Dinasti Surobahu Abdul Rohim).
Hal itu di ungkapkan Ir. Kanjeng Raden Tumenggung H. Harjono
Nitidipuro,MM. salah satu ahli waris Sunan Pojok.
Dia menceritakan kakek moyangnya yang mempunyai makam di Blora, tepatnya
di belakang masjid agung Baitunnur Blora itu mempunyai makna sejarah yang
tinggi
Berdasarkan sejarah tersebut, Blora lebih berorientasi pada Budaya
Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat karena hubungan kedekatan dengan Sultan
Mataram daripada Surakarta Hadiningrat.
Meskipun pada waktu penjajahan VOC dulu, Blora ingin diarahkan oleh
Belanda untuk mendekati orientasi Surakarta Hadiningrat.
VOC waktu itu menganggap bila Blora dikuasai Ngayogyakarta Hadiningrat
maka Belanda akan sukar menguasai Blora, karena hubungan yang kuat dengan para
keturunan Kerajaan Kesultanan Demak dengan Kerajaan Kasultanan Mataram
Ngayogyakarta.
Jika menurut keterangan ini maka Bupati Blora yang pertama RT Djaya Dipo
bukanlah Raden Tumenggung Wilotikto sebagaimana yang sering kita jumpai
diberbagai keterangan.
Setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama RT Djaya Dipo (RT Djoyo Wiryo),
Kemudian oleh RT Jaya Kusumo Keduanya, setelah wafat dimakamkan dilokasi
Makam Pangeran Pojok Kauman.
Kejayaan Mataram berakhir ketika terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid (Pangeran Sambernyawa), pemberontakan
ini muncul sebagai bentuk penolakan terhadap campur tangan VOC yang kian kuat
di Mataram. Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora,
dan Yogyakarta.
Atas keberhasilannya itu Mangkubhumi diangkat menjadi raja oleh
rakyatnya pada 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749.
Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat pula
para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit
Mangkubumen,
Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Pengangkatan RT Wilotikto sebagai bupati Blora ini didaulat menjadi hari
jadi Kota Blora sampai saat ini.
Balada pemberontakan di Mataram di bawah pemerintahan Sunan Pakubuwana
II & III berujung pada peristiwa yang disebut sebagai Palihan Nagari atau
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Perjanjian yang terdiri dari 9 pasal
membagi Mataram menjadi dua.
Putuskan mana yang Benar
Perbedaan pendapat siapa Bupati Blora Pertama hendaknya mendapat
perhatian serius Pemkab Blora saat ini.
Masyarakat banyak berharap agar Bupati Blora ke 27 saat ini Djoko
Nugroho diakhir periode masa jabatanya segera mengadakan penelitian kembali
sejarah berdirinya Blora.
Begitu
juda himbauan masyarakat yang masuk email INFOKU berharap mahasiswa yang
berasal dari Blora dan sedang menempuh pendidikan di sekitar kesejarahan, agar
memilih penelitian sejarah Blora sebagai pilihan tugas akhir/ skripsinya.(Agung/Endah/Fendi)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru