PT
Freeport dan Penjajahan Ekonomi Terselubung
Pernah dengar istilah Bandit
Ekonomi? ‘Bandit Ekonomi’ atau ‘Economic
Hit Man’ yaitu istilah bagi orang yang mempunyai tugas untuk membangkrutkan
sebuah negara dengan memberinya hutang yang begitu besar sehingga tidak mungkin
dapat dibayar oleh negara tersebut.
Hutang yang dibuat dengan
dalih pembangunan dan
pengurangan kemiskinan tapi sebenarnya bertujuan untuk membangkrutkan negara
tersebut karena tidak mungkin
mampu membayar dengan proyek yang dibangun dengan dalih hutang tersebut.
Setelah tidak mampu membayar
barulah pemberi hutang menagihnya dalam bentuk penguasaan SDA negara korbannya.
‘Bandit
Ekonomi’ atau selanjutnya kita sebut EHM (Economic Hit Man) adalah orang-orang
yang ditugaskan oleh pemerintah yang berkuasa di AS untuk menerapkan
kebijakan-kebijakan korporatokrasi (koalisi pemerintah, bank dan korporasi) dengan tujuan jangka panjang menjerat
negara-negara macam Indonesia, Panama, Ekuador,Venezuela, Kolumbia, Arab Saudi,
Irak dan Iran agar kelak harus membayar dengan segala kekayaan alamnya demi kepentingan nafsu imperialisme
Amerika.
Sayangnya kisah tentang ’Bandit Ekonomi’ ini bukanlah fiksi
dan merupakan fakta sesungguhnya yang diungkapkan langsung oleh John Perkins, penulis sekaligus
pelakunya sendiri. Pengakuannya ini ditulisnya dalam buku yang berjudul ”Confessions of an Economic Hit Man” (Pengakuan
Seorang Bandit Ekonomi atau Pengakuan Seorang Ekonom Perusak) yang ditulis pada
tahun 2004 yang kemudian disusul dengan buku keduanya
“The
Secret History of The American Empire : Economic Hit Men,Jackals, and The Truth
About Global Corruption” yang
baru terbit.
Perkins mengakui semua ini
dalam bukunya karena
merasa sangat bersalah dan sangat muak dengan apa yang telah dilakukannya
setelah melihat begitu besarnya
dampak buruk dari korporatokrasi yang dilakukan pemerintahnya ini.
Ia berharap agar bukunya
tersebut akan dapat membukakan mata para pelaku korporatokrasi lainnya dan
bertobat.
Buku John Perkins merupakan
Buku terlaris versi New
York Times, ini
benar-benar mengiris hati dan benar-benar membuat menangis dalam hati dan
terpuruk dalam kesedihan sampai sekarang.
Apa yang dilakukan oleh
Perkins dalam tugasnya sebagai EHM (Economic Hit Man) adalah kejahatan korporatokrasi, yaitu
jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dari dunia ketiga.
Indonesia bahkan menjadi
sasaran pertamanya! Praktek korporatokrasi
pemerintah AS ini memperalat IMF dan Bank Dunia yang disokong CIA.
Para pembunuh yang akan
mengeksekusi para pemimpin dunia yang mencoba melawan kehendak mereka.
Korban mereka seperti yang
disampaikan oleh Perkins adalah Jaime
Roldos, Presiden Ekuador, yang meninggal karena helikopternya terbakar
pada tanggal 24 Mei 1981, dan Omar
Torrijos, Presiden Panama, yang terbunuh juga karena pesawatnya jatuh.
Tentu saja CIA menyangkal
tuduhan tersebut tapi Perkins meyakinkan bahwa CIA-lah yang mengeksekusi
mereka. Mereka dibunuh karena tidak mau menuruti kemauan pemerintah AS agar
mengikuti skenario jahat mereka.
Di buku keduanya, Perkins
mengakui bahwa Indonesia adalah Negara
yang menjadi korban pertamanya pada tahun 1970-an.
Pemerintah AS, IMF dan Bank
Dunia bekerja sama untuk mencaplok Indonesia melalui pinjaman-pinjaman untuk
pembangunan proyek-proyek kelistrikan dan kapasitas energi di Pulau Jawa yang
secara sepintas akan sangat menguntungkan tapi akhirnya justru akan
membangkrutkan Indonesia.
Apakah mereka tidak tahu
bahwa hal tersebut akan dapat membangkrutkan Indonesia?Tentu saja mereka tahu
dan bahkan justru itulah yang mereka tuju.
”Krisis IMF” pada tahun 1977 mengakibatkan ribuan mungkin jutaan nyawa
melayang karena penyakit, kelaparan dan bunuh diri, dan kemudian menyebar ke
seluruh dunia.
Salah satu perampokan
terbesar yang dilakukan Amerika adalah perampokan di Gold Mountain Papua.
Semenjak
kehadiran Freeport di Tanah Papua tahun 1967, mengakibatkan rakyat Papua berada
dalam genggaman dua Negara yaitu Negara Freeport dan Negara Indonesia yang
lahir pada 17 Agustus tahun 1945.
Klaim
bahwa intergrasi Papua 1 Mei tahun 1963,tidak final sebab konsensi Negara
Freeport berpengaruh pada proses penentuan pendapat rakyat ( PEPERA ) tahun
1969.
Jika
benar Papua sah kedalam NKRI, mengapa harus ada mekanisme PBB???soal status
Papua yang digelar tahun 1969.
Kapitalisme
punya sejarah dalam mendirikan negara baru dengan tujuan dapat menguasai dan
menjajakan keinginan ekonomi neoliberal.
Pengalaman
Timor Leste menjadi negara baru dengan dalih perebutan minyak laut oleh negara-negara
adikuasa.
Letak
kekayaan alam suatu wilayah sering jadi bedil bagi upaya pemenuhan kaum pemodal
dengan tetap membentuk satu negara baru.
Freeport
di Papua punya sejarah yang sama dengan apa yang terjadi di Timor Leste.
Bila
Freeport tidak diatasi hari ini, Papua pasti keluar dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia oleh kepentingan kelompok industri dunia.
Akar
masalah dalam sejarah massa lalu bila tidak diselesaikan secara benar dan
bermartabat justru menjadi batu loncatan bagi hubungan imperialisme dunia yang
haus dan lapar akan penguasaan wilayah dan sumber-sumber strategis milik rakyat
dan bangsa.
Bertindak
untuk mengatur kepentingan negara adalah cara ampuh, dimana undang-undang negara
tidak harus di jual kepada kepentingan kelompok pemodal saja, tetapi roh bangsa
tertuang dalam roda negara harus di konkritkan.
Sejahtera,
adil dan makmur adalah pilihan mendirikan negara berdaulat untuk kedaulatan
rakyat semesta.
Mengingatkan
kita tentang sejarah pahit di negeri Indonesia, bahwa orientasi politik
terselubung negara-negara para industrialisasi ini mengakibatkan penderitaan
yang dialami rakyat Papua sangat kompleks.
Mulai
dari penghilangan kemerdekaan politik, penindasan atas sistem ekonomi bangsa,
rapuhnya peradaban penduduk pribumi Papua. Bagi masyarakat Papua, nasib bangsa
Papua Barat kemudian di eksekusi dengan amunisi kehadiran PT. Freeport. Dimana
disatu sisi, Integrasi Bangsa Papua Barat kedalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia terjadi dengan kehadiran PT. Freeport (Indonesia). Amerika dan
negara-negara kapitalisme lainnya dengan keinginan kuat mengambil sumber-sumber
alam rakyat Papua dimasa lalu membuat nasib bangsa.
Terbukti
sudah, selama beroperasi di Timika, per hari, penghasilan perusahaan AS ini
diperkirakan mencapai 27 juta dollar.
Dari
sejak beroperasi, pemerintah dan pemilik hak ulayat baru diberi status
pembayaran wajib investasi pada tahun 1996 pasca kontrak karya ke-dua.
Sedangkan
sebelumnya sejak tahun 1967, Freeport belum diwajibkan dalam pembayaran kepada
pemilik hak ulayat dan pemerintah.
Fakta
keberadaan Freeport selama 39 tahun (1967-2009)
sebuah niscaya ketidakadilan terjadi.
Aspek
politik Papua final kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia masih berlanjut
pada tahun 1969 dengan proses penentuan pendapat rakyat. Namun, sudah benar
bahwa rekayasa pemodal sudah ada dua tahun sebelum status de jure integrasi
Papua kedalam RI.
Rekayasa
pemasukan Papua kedalam bingkai NKRI inilah, mengakibatkan masalah yang terjadi
di Tanah Papua pemerintah Indonesia cenderung mengedepankan hubungan arbitrase
dan diplomasi politik semata dengan menjaga integritas negara adidaya
diutamakan negara daripada rakyat di Papua.
Pemerintah
harus memberi ruang politik dan ekonomi baru bagi rakyat Indonesia khususnya
rakyat Papua.
Akar
konflik politik pencaplokan tanah Papua harus disikapi hari ini dengan satu
jalan terbaik, menutup Tambang bermasalah di Papua ini.
Penutupan
PT. Freeport Indonesia juga sebagai langkah maju sebab disinilah pola penataan
ekonomi dan kedaulatan bangsa terbebasakan dari upaya cengraman yang telah
ditanam neo-imperialisme Negara-negara kapitalisme global.
Freeport
sebagai akar kolaborasi usaha-usaha politik lahirnya jajahan diatas bumi Papua.
Sudah
semakin parah ketidakberdayaan pemerintah Indonesia dalam mengontrol keberadaan
Freeport membuktikan bahwa Undang-undang No.21 tahun 2001 hanyalah solusi yang
bermasalah hari ini.
Sebab,
kebijakan otsus tidak dibarengi dengan penyelesaian terlebih dahulu terkait
Freeport.
Freeport
seakan beroperasi di Papua dengan suatu jaminan khusus. Faktanya, otsus tak
begitu berarti bagi sang kapitalis Freeport.
Sulusi terbaik menurut pandangan penulis yakni pemerintah segera menerbitkan peraturan pengganti undang-undang ( PERPU
) untuk menyelesaikan masalah Freeport dan investasi asing secara keseluruhan
di Indonesia.
Perpu
sebagai kekuatan hukum, negara berani memberi amunisi baru bagi pemulihan
kedaulatan politik dan ekonomi terutama bagi rakyat Papua yang menjadi korban
konspirasi ekonomi dunia ketiga.
Untuk
itulah, kami mengajukan beberapa solusi kepada pemerintah :
Tutup PT. Freeport Indonesia.
Penutupan
Freeport adalah solusi terbaik untuk membentuk suatu sistem tatanan pengelolaan
tambang yang mengedepankan kedaulatan ekonomi nasional dan tentunya dengan
pembenahan instrumen pertambangan, awal bagi pemenuhan ekologis, penegakan HAM,
keadilan ekonomi yang mandiri menuju tatanan masyarakat Papua yang tentram dan
bermartabat didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kolaborasi
kepentingan militer organik maupun non organik dengan penempatan sejumlah
satuan di areal tambang bahkan di perkampungan hanyalah proyek Negara yang
sia-sia.
Sebab,
ulah ketidak efisiensi aparatur negara di Papua terbukti menimbulkan implikasi
adanya tragedi kemanusiaan. Sebagian sandi operasi militer digelar tanpa
keputusan undang-undang resmi negara.
Banyak
sandi operasi militer di Papua yang digelar secara illegal bahkan melecehkan konstitusi
NKRI.
Sudah
saatnya dikurangi keberadaan militer dengan aktifitas tidak jelas. Pengurangan
aktifitas militer di Tanah Papua juga mengurangi penggunaan dana negara dan
tentunya kontradiksi perlawanan bersenjata semakin mengecil.
Negara
baru mengedepankan sanksi terkait kesewenangan siapapun, terutama para pemodal
yang seenaknya merusak tatanan ekologis, hingga pemenuhan HAM yang tidak
mendapat tanggapan akibat dominasi pemodal.
Freeport
harus di usut kejahatanya terhadap lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia.
Rakyat
Papua harus berdaulat diatas negerinya untuk menuju kemandirian bangsa yang
adil dan bermartabat,agar tidak dimanfaatkan untuk meraih dan mengeruk
keuntungan dari negara dunia ketiga bagi kepentingan negara-negara adikuasa seperti
yang diungkapkan dalam buku John Perkins (”Confessions
of an Economic Hit Man”).
(Penulis : Septika Lindawati / Mahasiswa semester 3
: Ilmu
Pemerintahan FISIP UNDIP)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru