Dinasti
Politik, Jabatan, Korupsi, dan Demokrasi
(Penulis Agung
Budi Rustanto, Drs Ec. – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber
berbeda)
Ada sebuah Cerita yang sudah 157
tahun peristiwa itu berlalu sejak Douwes Dekker datang ke Lebak pada akhir
Januari 1856.
Namun, Lebak L masa kini
dan Banten B pada umumnya masih menyimpan warisan masa lalu yang sama: korupsi
dan dinasti.
Dulu Bupati Lebak disokong oleh Raden Wirakusuma,
Demang Parungkujang sekaligus menantunya, yang berperan sebagai operator
politik pengisap rakyat.
Tak jauh beda dengan profil dinasti sekarang yang
memiliki eksekutor politik yang diambil dari keluarganya.
Perbedaannya, pada masa Havelaar, idealisme kalah
oleh culas. Adapun sekarang, kita masih belum tahu ujung dari nasib dinasti
politik predatoris di Banten.
Perbedaan mendasar lainnya ialah sumber legitimasi
kekuasaan yang berbeda. Dinasti politik sekarang bermain di atas arena
demokrasi, sementara dahulu murni bergantung pada status ningrat dan
kebangsawanan.
Hal itu membuktikan bahwa dinasti mampu bertarung
dalam cuaca politik apa pun. Dinasti bisa hidup di sistem otoriter maupun
demokrasi. Memang banyak dinasti politik kita di daerah yang memanfaatkan
pemilu kada agar berkuasa, seperti yang terjadi juga di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara.
Namun, aktor dinasti politik akan tetap bermain
dalam sistem politik apa pun karena lem perekat mereka ialah akses terhadap
sumber daya negara.
Kalau sistem pemilu kada dirubah pilihan DPRD,
bukan jaminan dinasti politik akan hilang.
Justru praktik dinasti makin menggurita karena
untuk memenangi jabatan publik, para aktor dinasti cukup menguasai elite terbatas
di DPRD.
Lapangan permainan justru dikuasai segelintir elite dan
rakyat tak punya kuasa untuk menentukan pemimpinnya.
Jadi salah bila ada yang mengatakan Ratu Atut tidak
bisa disebut dinasti politik semata-mata karena dia dan keluarga besarnya
dipilih berdasarkan proses demokrasi.
Pablo Querubin (2011: 2) dari Harvard Academy for
International and Area Studies mendefinisikan dinasti politik sebagai `a
particular form of elite persistence in which a single orfew family groups
monopolize political power' (sebentuk penguasaan elite yang lama ketika sebuah
atau beberapa keluarga memonopoli kekuasaan politik).
Dia justru mengaitkan dinasti politik di Filipina
dalam bingkai demokrasi, dan karena itu dia mengkritisi kebijakan pembatasan
jabatan yang masih punya celah untuk dimanfaatkan dinasti politik agar tetap
berkuasa. Querubin juga mengaitkan keberlangsungan dinasti politik di Filipina
karena efek petahana.
Banyak incumbent yang melakukan segala cara agar
dirinya atau ke luarganya terpilih dalam proses demokrasi, entah melalui
praktik money politics secara telan jang maupun de ngan meman faatkan dana ne
gara (pork barrel, patronase, dan kebijakan programatik) untuk mengelabui
rakyat.
Kita ambil saja yang mudah yakni kasus Banten,
Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan kenaikan fantastis dana hibah dan
bansos menjelang pemilihan gubernur 2011.
Pada 2009, total dana hibah dan bansos dianggarkan
sebesar Rp74 miliar. Tapi pada 2010, anggaran hibah dan bansos melonjak hingga
empat kali lipatnya, Rp290,7 miliar. Peningkatan cukup tajam juga terlihat pada
anggaran 2011, ketika hibah dan ban sos dianggarkan nyaris menyentuh angka
Rp400 miliar dengan tujuan jelas untuk memenangkan Atut kembali sebagai
gubernur.
Selain itu, dalam literatur ilmu politik, dinasti
selalu dikaitkan dengan hukum besi oligarki dan distribusi ekonomi-politik yang
timpang (Dal Bo', Dal Bo' & Snyder, 2009).
Filipina merupakan contoh klasik dinasti politik
yang beru rat akar. Studi Dante Simbulan (2007) terhadap elite poli tik di
Filipina pada 1946 hingga 1963 menemukan dari 169 keluarga berpe ngaruh,
lahirlah 584 pejabat publik, ter masuk 7 presiden, 2 wakil presiden, 42
senator, dan 147 anggota DPR. Ahli Filipina, Paul Hutchcroft (1998),
membuktikan bahwa dinasti politik telah meningkatkan praktik rent-seek ing dan
state capture dengan memberikan mengalokasikan sumber daya negara hanya bagi
mereka yang dekat dengan kekuasaan dinasti.
Dalam kasus di Indonesia, temuan ICW menunjukkan
sedikitnya 175 proyek pengadaan barang/ jasa di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Pemerintah Provinsi Banten dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi
dengan Atut, dengan total nilai kontrak Rp1,148 triliun.
Personalisasi politik
Secara politik, dinasti juga memakan ongkos yang
mahal. Hedman dan Sidel, dalam buku Philippine Politics and Society in the
Twentieth Century (2000), menuding praktik dinasti sebagai pihak paling
bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya
kapasitas negara dan institusi politik.
Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan
pada proses rasionalitas instrumental, tetapi didasarkan pada keputusan
individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa.
Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena
asas meritokrasi ditundukkan oleh hubungan darah dan hubungan keluarga.
Dinastokrasi juga tidak menawarkan insentif jenjang karier politik yang jelas
bagi kalangan luar yang berintegritas dan punya kapasitas agar sudi aktif di
dalam partai.
Tentu ada sisi positif dinasti yang juga layak
diapresiasi. Di India, Filipina, dan Amerika Serikat, dinasti politik bisa juga
dianggap proses mentorship ketika tokoh politik akan menularkan pengalaman dan
`proses pembelajaran' secara langsung kepada anggota keluarganya.
Dinasti politik per definisi juga tak bisa
disalahkan karena tak ada dalam pasal konstitusi kita yang dilanggar.
Konstitusi tegas menyatakan bahwa setiap warga negara punya hak memilih dan
dipilih.
Karena itu, pembahasan di DPR terkait UU untuk
membatasi dinasti politik harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menabrak
rambu-rambu konstitusi.
Intinya, ada dua level reformasi yang harus
dilakukan untuk mencegah dinasti politik predatoris.
Pertama, reformasi dari sisi supply-side, partai politik
sebagai produsen pejabat publik harus bertindak adil dalam mencalonkan pejabat
publik.
Partai tak boleh sekadar melirik faktor popularitas
dan sumber daya finansial calon, tapi juga mengedepankan calon-calon yang punya
integritas dan kapasitas.
Justru mesin partai akan lebih maksimal
dimanfaatkan daripada bergantung pada dinasti politik yang sudah mengandalkan
faktor personal dan mesin uang.
Aturan pembatasan dana kampanye juga harus
ditegakkan agar tercipta playing field yang adil antara calon yang kantongnya
cekak dan calon dari dinasti yang biasanya berkelimpahan dana. Akses dinasti
untuk melanggengkan kekuasaannya dengan caracara yang tak terpuji juga harus
ditutup rapat-rapat.
Kedua, reformasi dari sisi demand-side. Pemilih harus
mendapatkan pendidikan politik dari kalangan civil society dan media agar bisa
memilih dengan didasarkan kualitas pilihan yang baik, bukan semata-mata
popularitas dan uang.
Prinsip reward and pu nishment harus dilakukan pe
milih. Kalau memang ada petahanan dari kalangan dinasti yang berhasil, sudah selayaknya
dia dipilih kembali.
Namun, jika terbukti gagal total membenahi masalah
kemiskinan, angka pengangguran, pendidikan, dan lain-lain, siapa pun dia harus
dihukum dengan cara tidak dipilih. ###
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru