Yang
Terlupakan dalam Penetapan RUU Pilkada
Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 12 sumber
berbeda)
Proses penetapan RUU Pilkada sudah
berakhir. Hjasilnya yakni Pilkada dipilih DPRD.
Sebelumnya ada 2 kubu. yaitu
kelompok pertama berpikir jauh kedepan untuk kemajuan demokrasi Indonesia,
dengan tetap menginginkan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat.
Namun kelompok kedua, justru
berfikir jauh mundur kebelakang, pemilihan kepala daerah kembali oleh DPRD.
Kelompok pertama berpikir saat
Pemilihan langsung kepada daerah (Pilkada) yang berlangsung di berbagai wilayah
sejak 2006, kelompok prodemokrasi mempunyai potensi memenangkan Pilkada
(Strategi Kandidat Pro Demokrasi Dalam Pilkada, Demos 2008).
Pemilihan kepala daerah Kabupaten
Belitung Timur 2005, kala itu berhasil dimenangkan Basuki Tjahaja Purnama, kini
Wakil Gubernur DKI Jakarta yang merupakan aktor prodemokrasi yang membangun
perluasan basis hingga akar rumput.
Gamawan Fauzi (Bupati Solok periode
tahun 1995 – 2000 dan tahun 2000 – 2005) sekarang Mendagri, Suyoto (Bupati
Bojonegoro tahun 2008-2013 dan 2013 – 2018).
Kemudian Jokowi saat terpilih
menjadi Walikota Solo (periode 2005 – 2010 dan periode 2010 – 2012) dan
Gubernur DKI Jakarta (2012 – 2014) merupakan sederet aktor prodemokrasi yang
memperjuangkan isu – isu publik meskipun tidak sedikit kepala daerah yang
terpilih lewat pemilihan langsung tersangkut kasus korupsi.
Agak sulit diterima akal sehat, jika
melihat keinginan dari kelompok kedua yang menghendaki pemilihan kepala daerah
kembali ke DPRD.
Tatanan demokrasi lokal Indonesia
yang mulai rapi dan mapan, justru diberengus oleh mereka yang seharusnya
menjaga hal tersebut.
Menurut Koalisi Kawal RUU Pilkada
yang terdiri dari Perludem-ICW-Puskapol UI-Pattiro
-Yappika-IPC-JPPR-Correct-PVI-Rumah Kebangsaan-TEPI-FORMAPPI-PSHK-LIMA TI
Indonesia-YLBHI-LBH Jakarta-Demos-Wahid Institute-Migrant Care-Solidaritas
Perempuan-GPSP-KIPP-Kontras-Imparsial-Demos-Walhi-Sebumi-KPI-Fitra-Unas-KSN-UBK-BEM
UI-UKI-SBSI , Hal yang paling memilukan adalah, partai yang berpotrensi menjadi
“pengkhianat” demokrasi ini adalah partai yang lahir dalam semangat reformasi.
Beberapa tokoh di dalam partai
tersebut adalah mereka yang dulunya bersuara lantang melawan rezim orde baru.
Rezim yang penuh ketertutupan, anti demokrasi, dan sangat sentralistik.
Sehingga Koalisi Kawal RUU Pilkada, dalam pernyataan sikapnya
mengatakan sebagai berikut:
1.
Rakyat
adalah pihak yang mempunyai kedaulatan tertinggi di republik ini, maka sudah
seharusnya mereka menentukan pemimpinnya sendiri;
2.
Pemilihan
kepala daerah secara langsung akan membuat kepala daerah terpilih bertanggung
jawab langusng kepada rakyat dan mempunyai legitimasi yang kuat sebagai
pemimpin dan pelaksana otonomi daerah;
3.
Pemimpin
yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih mudah ditagih janji kampanye untuk
dapat dilaksanakan serta, proses pemilihan kepala daerah secara langusung akan
melahirkan pemimpin yang pro demokrasi dan independen.
4.
Pemilihan
kepala daerah secara langsung selama ini sudah berjalan dengan baik. Tinggal
menata sistem agar proses pemiihan kepala daerah berlangsung jauh lebih baik;
Anggota DPR semestinya fokus
membahas perbaikan pilkada langsung untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraanya,
bukan justru mengembalikan pemilihan pada DPRD.
Pemilihan Kepala daerah secara
serentak adalah solusi yang dapat dikedepankan dalam memperbaikai pelaksanaan
pemiilihan kepala daerah;
Harus adanya pemberian sanksi yang
tegas terhadap partai politik dan calon dalam proses pencalonan, jika terdapat
praktik politik uang dan jual beli dukungan.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD
adalah pilihan poliitk terburuk yang dilakukan oleh DPR, ditengah masih
bobroknya sistem kepartaian di Indonesia, khususnya di dalam rekruitmen dan kaderisasi politik;
Dari catatan Indonesia Corruption
Watch (ICW), terdapat 45 orang anggota DPRD terpilih pada Pemilu 2014 yang
terjerat kasus korupsi. Ini tentu menjadi bukti sahih, bahwa lembaga ini sangat
tidak cakap untuk diberi kepercayaan untuk memilih kepala daerah;
Jika yang menjadi kekhawatiran
adalah praktik politik uang, maka para elit partai politik harus sadar, bahwa
yang melakukan praktik politik uang adalah elit, jangan rakyat menjadi korban
dari prilaku buruk elit partai politik.
DPR harus membuka dan belajar lagi,
bahwa mayoritas atau lebih dari 90% pelaksanaan kepala daerah berjalan dengan
lancar dan damai;