Mengintip Mutasi
Pegawai dan Intervensi Politik
Penulis Drs
Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 4 sumber berbeda)
Di masa order baru, mutasi jabatan
menjadi hal yang jarang sekali terjadi. Kalaupun ada, kebanyakan berupa promosi
dalam lingkup satu satuan kerja.
Maka tidak jarang seorang PNS yang
sejak diangkat sampai pensiun tidak beranjak dari lembaga satuan kerjanya.
Berbeda dengan sekarang. Tanpa
landasan dan dasar yang jelas, seorang PNS dapat berpindah-pindah tugas dari
satuan kerja satu ke yang lain, tanpa mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki
individu PNS dengan bidang tugas yang harus diembannya.
Padahal dalam Undang-Undang No 43
Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No 8 Tahun 1974 telah dijelaskan bahwa
untuk lebih menjamin objektivitas, dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam
jabatan dan kenaikan pangkat harus diadakan penilaian prestasi kerja.
Namun, kenyataannya penilaian
prestasi kerja sering kali terjerat subjektivisme sehingga berbagai macam
keberhasilan dalam menjalankan tugas, pendidikan, dan latihan kepemimpinan yang
diikuti seorang PNS tidak akan bermanfaat banyak untuk meniti karier jabatan struktural
maupun fungsional, meski otaknya cerdas sekalipun. ]
Sejak diberlakukannya Otonomi
Daerah, banyak survey dan riset yang mengungkap buruknya situasi birokrasi
pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat apalagi di daerah. Hal
tersebut ditandai dengan rendahnya SDM para pejabat yang berakibat semakin
melemahnya pelayanan publik.
Padahal, salah satu amanat reformasi
yang perlu terus-menerus dilakukan adalah reformasi birokrasi. Siapa pun yang
memimpin negeri ini, reformasi birokrasi harus menjadi prioritas program
kerjanya.
Dalam kenyataannya justru reformasi
birokrasi terabaikan. Ambil saja contoh, pola pemilihan atau pengangkatan
pejabat stuktural pemerintah tidak lagi merujuk kepada aspek profesional,
melainkan lebih kepada suka atau tidak suka, bahkan sudah bercampur dengan
intervensi politik.
Padahal jika pemimpin ingin
pemerintahannya berjalan dengan baik, orang yang dipercaya untuk memegang
birokrasi haruslah orang-orang profesional, cerdas, memiliki mindset yang tepat
dan tidak berorientasi pada kekuasaan.
Diakui secara jujur bahwa mismatch
yang terjadi saat ini terlalu besar, terutama di tingkatan pemerintah daerah
akibat adanya like and dislike. Ada sarjana hukum menjadi kepala PU, sarjana
IAIN menjadi Camat, dan sebagainya.
Seekor serigala akan nampak hebat
dan perkasa manakala ia berada di kawasan hutan belantara.
Namun jika ia harus hidup di gurun
pasir, meski disana banyak hewan buruan yang bisa di mangsa, pasti ia tidak
akan sehebat dan seperkasa jika berada di hutan.
Pada kenyataannya memang demikian,
banyak pejabat setingkat eselon II yang tidak mampu menjabarkan visi dan misi
kepala daerahnya di tingkatan praksis.
Akibatnya banyak persoalan yang
muncul sebagai dampak dari ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintah dalam
memberikan pelayanan kepada publik yang lebih baik.
Upaya menciptakan good governance
yang selalu dikumandangkan sejak era reformasi baru sebatas retorika yang
berkepanjangan.
PNS dalam Politik
Jika kita cermati, larangan bagi PNS
ikut berpolitik sebagaimana diatur dalam UU 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian,
masih bersifat setengah hati. Apa dan bagaimana terminologi ‘PNS berpolitik’
masih belum jelas.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa
bukti keikutsertaan hanya ditunjukkan melalui kartu tanda anggota (KTA) parpol.
Artinya, jika PNS tidak mempunyai
KTA parpol, maka dia tidak akan terkena sanksi pemecatan walaupun pada
kenyatannya PNS tersebut ikut serta dalam kegiatan politik baik dalam pemilu,
pilkada maupun pilpres.
Setiap kali akan diselenggarakan
pemilu, selalu muncul imbauan dari Pemerintah (baca : Depdagri) yang
meminta agar setiap gubernur dan bupati/walikota memantau anak buahnya untuk
tetap netral.
Harapan tersebut tidak lebih seperti
‘jeruk makan jeruk’ karena pada saat Pilkada, para Gubernur, Bupati dan
Walikota sebagai incumbent sangat berkepentingan terhadap PNS dalam meraup
perolehan suara.
Dalam kedudukannya sebagai aparatur
pemerintah, para PNS dapat diajak ikut kunjungan kerja, sosialisasi, atau
kegiatan lainnya yang bertujuan ‘memasarkan diri’ calon Kepala Daerah yang
notabene atasannya yang akan ikut bertanding dalam Pilkada.
Banyak para pengamat politik dan
lembaga survei yang menyatakan bahwa kunci kemenangan bagi para calon incumbent
sangat ditentukan oleh peran PNS yang dibawahinya, terutama dalam membangun citra
positif ditengah masyarakat.
Maka menjadi wajar jika para Kepala
Daerah sebagai calon incumbent sering melakukan mutasi dalam rangka ’penataan’
bagi pejabat stuktural dibawahnya, karena tidak ada seorang pun calon yang
ingin kalah bertanding, terlebih calon incumbent.
Hanya saja, karena adanya intervensi
politik maka penunjukan pada jabatan tidak lagi berdasarkan kriteria profesi,
seperti pendidikan, keahlian dan kompetensi administrasi. Mestinya penataan
yang dilakukan harus mampu menciptakan hirarki yang kuat dalam hubungan atasan
dan bawahan dengan satu mata rantai perintah atau komando.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
bertekad untuk melancarkan reformasi birokrasi pada seluruh kementerian dan
lembaga.
Bahkan SBY sempat berjanji bahwa
agenda reformasi ini akan diselesaikan pada 2011. Penegasan Presiden SBY
tersebut memang tidak lepas dari buruknya situasi birokrasi pemerintahan di
Indonesia.
Memang, pada titik inilah seharusnya
reformasi birokrasi digerakkan jika hasil yang diharapkan adalah suatu
pemerintahan yang baik.
Hal yang paling penting adalah agar
pola pemilihan atau pengangkatan pejabat pemerintah harus di ubah.
Kepemimpinan birokrasi harus merujuk
kepada aspek profesional, lepas dari belenggu patrimonial kekuasaan yang
merugikan PNS. Dengan kata lain, promosi jabatan harus dikembalikan ke
track-nya yang benar.
Pengangkatan pejabat harus terbebas
dari sekadar suka atau tidak suka, namun yang memang pintar di bidangnya.
Apabila selama ini sudah terasa ada
kontaminasi, maka harus dikembalikan. Perlu adanya kerangka hukum dan aturan
serta prosedur tata kelola yang dapat menjadi pegangan dalam proses reformasi
birokrasi.
Pembenahan birokrasi juga menyangkut
restrukturisasi agar lebih efisien, termasuk cara kerja, disiplin, perilaku
yang lebih terbuka dan bertanggung jawab. Penataan kembali berarti mengubah
watak.
Paling tidak pelaksanaan reformasi
birokrasi mencakup tiga aspek besar, yakni organisasi, ketatalaksanaan dan
sumberdaya manusia aparatur.
Untuk mendapatkan SDM aparatur yang
handal dan profesional, misalnya, perlu dirumuskan strategi pengolahan yang
tepat dan terarah, penyusunan penilaian kinerja, pengembangan sistem rekrutmen,
pengembangan pola diklat, penguatan pola rotasi, mutasi, promosi, pola karir
dan pola peningkatan kesejahteraan.
Fungsi-fungsi manajemen SDM tersebut harus
terintegrasi satu dengan yang lain dan dilaksanakan dengan semangat reformasi
birokrasi, yakni peningkatan kinerja aparatur pemerintah dan peningkatan
kualitas pelayanan publik. “Dirgahayu
Republik Indonesia ke 69-###
Lihat Model Tabloid....
Gambar Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru