"Mikul
Dhuwur Mendhem Jero"
(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto –
Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 7 sumber berbeda)
Istilah
inilah yang mungkin sedang dialami beberapa pejabat dilingkup kabupaten Blora,
terkait pemberkasan CPNS K-2.
Tapi apakah hal ini juga berlaku
bila berkaitan dengan hukum, apalagi menyangkut diri pribadinya
masing-masing….. ?
Mari kita coba mempelajari hal itu
terkait fakta sejara di negeri ini.
Kita contoh Mantan Presiden Soeharto
mengajukan permintaan maaf bila ada kesalahan dan kekurangan selama memimpin
bangsa Indonesia.
"Atas bantuan dan dukungan
rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima
kasih dan meminta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa
Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya," demikian tulisan
tangan Soeharto saat turun dari tampuk kekuasaan 21 Mei 1998.
Tulisan tangan yang berparaf huruf S
dan H itu dimuat blog http://yusril.ihzamahendra.com.
Kita kutipkan naskah ini mengingat
almarhum Soeharto, mantan presiden RI kedua itu ternyata telah melengkapi jati
dirinya sebagai manusia yang tak luput dari salah, apalagi sebagai pemimpin
besar di zamannya. Ia meminta maaf dengan tulisan tangan di bawah naskah asli
pemberhentiannya sebagai presiden 21 Mei 1998 lalu.
"Naskah asli pengunduran diri
itu diserahkan kepada Arsip Nasional untuk disimpan di sana.
Semua ini kami lakukan agar dokumen
ini jangan sampai hilang seperti Naskah Supersemar tahun 1966. Hanya ada dua
copy yang dibuat waktu itu, satu disimpan oleh Almarhum Pak Saadillah Mursyid,
dan satunya saya simpan sebagai koleksi pribadi," tulis Yusril, mantan
Menhuk HAM.
Terlepas dari tulisan yang bukan
rahasia negara, tapi tak pernah dipublikasikan ini maka keadaannya menjadi
menarik setelah menyaksikan prosesi pemakaman Pak Harto Senin 28 Januari 2008.
Sebab, sejak 4 Januari 2008 dirawat di Rumahsakit Pertamina Pusat Jakarta,
kemudian wafat 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB hingga pemakamannya, masyarakat
begitu antusias memantau keadaan Pak Harto.
Kalangan Pers nyaris tak kenal lelah
memburu beritanya, dan begitu meninggal, tidak saja beritanya menjadi headline
semua koran di Indonesia, juga seperti berlomba menurunkan sejarah hidup
perjalanan Soeharto hingga berpuluh-puluh halaman dalam sehari.
Media massa elektronik malah
berjam-jam menayangkan liputan sejak wafat hingga pemakamannya.
Yang lebih menarik justru begitu
banyak masyarakat kecil yang datang melawat, dan membaca doa buat Pak Harto.
Ini sebuah kata hati yang jelas tentang rasa kasih pada sesama secara tulus
karena melawat dan berdoa merupakan amal yang dilakukan tulus tanpa pamrih.
Padahal mereka sangat mungkin tidak
tahu bahwa Pak Harto menorehkan tulisan tangan permintaan maaf sebagaimana
arispnya Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu guru besar ilmu Tata Negara di
Universitas Indonesia.
Kita menjadi yakin benar bahwa Pak
Harto itu orang besar yang disayang rakyat. Namun yang lebih menggembirakan
adalah bangsa ini pandai mikul dhuwur (menghormati dan menghargai orang) dan
mendhem jero (memaafkan atau tidak mengusik keburukan orang). Jadi ada pula
orang yang tega larane ora tega patine (tega sakitnya tidak tega matinya).
Kita juga tahu Pak Harto pernah mikul dhuwur
mendhem jero kepada Bung Karno karena beliau tidak pernah memperkarakan Bung
Karno meski dalam keadaan negara yang gawat akibat pemberoktakan PKI, Pak
Harto 'mengamankan' Presiden RI pertama itu dengan caranya. Yang jelas
dua putra terbaik bangsa itu punya jiwa kebangsawanan patut kita ambil
hikmahnya.#
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru