Broker
Politik alias Makelar Suara Caleg
(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9
sumber berbeda)
Pemilu 2014 semakin dekat. Berbagai
aktivitas politik kini tampak marak. Mulai pencalegan, penggalangan massa,
pembekalan kader, perekrutan anggota parpol, hingga peragaan teknik atau cara
kampanye agar memberikan nuansa teduh, nyaman, dan jauh dari konflik.
Ramainya proses
“perpolitikan” di negeri ini membuka peluang “bisnis” bagi mereka yang punya visi
bisnis/dagang untuk menjadi Makelar Suara caleg, Makelar Politik. atau
lebih keren juga disebut Broker Politik.
Makelar ternyata tidak hanya
berlaku pada jenis perdagangan umum, tapi juga untuk even nasional, seperti
Pemilu 2014.
Ada makelar caleg, makelar
nomor urut caleg, makelar calon penguasa atau pemimpin parpol, dan lain-lain.
Dengan begitu, proses
politik amat mungkin disusupi jiwa makelar, asa ongkos, atau pembagian fee.
Kalau demikian, proses politik yang bersih ternyata sulit dicapai.
Ongkos untuk makelar saja
sudah tinggi, bagaimana mau berpikir untuk peningkatan kesejahteraan wong
cilik?
Apalagi Kenyataan ini lebih
lengkap bila tumbuh subur jugalah para calon wakil rakyat karbitan.
Punya uang , kedudukan atau dikenal populeritasnya,
tetapi minim pengalaman dan wawasan politik, namun berambisi meraih kursi
dewan dengan berbagai alasan.
Kondisi
inilah dibaca dengan cerdas oleh sekelompok orang sebagai ajang empuk mencari
nafkah. Kebutaan para celeg karbitan ini dimanfaatkan maksimal.
Si
Broker Politik hanya Bermodal sejuta janji mampu menghimpun massa untuk
memberikan suara bagi si caleg, mereka mengaku tahu betul peta politik di
dapil yang bersangkutan.
Banyak
yang terpedaya bahkan ada yang sampai merogoh kocek hingga ratusan juta
padahal pileg masih lama.
Persaingan
antara caleg baru dan incumbent baik di internal partai maupun lintas partai
serta permasalahan sosialisasi inilah yang dimanfaatkan oleh makelar politik
yang belakangan banyak berkeliaran.
Mereka
dijanjikan duduk manis dan pengumpulan suara bakal ditangani sang makelar.
Mereka
hanya diharuskan menyediakan sejumlah besar dana untuk sosialisasi ke
masyarakat yang ia mobilisir, buah tangan dan mendanai pembangunan sarana atau
kegiatan mereka .
Sebenarnya
cara-cara itu sah saja, tetapi akan jadi salah kaprah jika janji sang makelar
politik diandalkan sepenuhnya.
Antipasi Bagi Caleg
Walau
mencari simpati dan menunjukkan kepedulian itu perlu, tetapi sang caleg jangan
mau dibodohi.
Ia
seharusnya tahu batasan seperti apa yang layak dilakukan. Sumbangan yang wajar
sebagai bentuk kepedulian sah saja tetapi kalau mendanai pembangunan sarana,
rasanya sih berlebihan.
Anggota
dewan saja menyumbang warga pakai dana aspirasi bukan duit pribadi, dia belum
jadi apa-apa sudah harus menyumbang dan menyelesaikan masalah warga pakai dana
sendiri .
Tapi
sang caleg dibuat yakin dengan bantuan itu warga dipastikan akan
memberikan suara buatnya.
Dia
lupa, bagaimana kalau caleg lain juga melakukan hal serupa , lantas untuk siapa
suara warga tersebut nantinya.
Nyatanya
tidak ada peraturan yang menyebutkan bahwa wilayah yang sudah dimasuki seorang
caleg tak boleh dimasuki yang lain.
Masalah Broker politik ini sebenarnya lagu lama.
Profesi ini tumbuh makin subur seiring perkembangan demokrasi di Indonesia yang
menghadirkan aneka pemilihan langsung di masyarakat seperti pemilihan anggota
legislatif, bupati, walikota, gubernur dan sebagainya .
Dari 2005 sampai September 2013 ini saja telah dipilih
524 kepala daerah kabupaten/kota, belum lagi untuk legislatifnya yang jumlahnya
puluhan di setiap tingakatan baik tingkat kabupaten kota maupun propinsi .
Dan jumlah itu juga membengkak hingga ratusan orang untuk
DPR RI. Itu yang terpilih, yang mencalonkan diri kan jauh lebih banyak lagi.
Panen Uang Sang
Broker
Fenomena inilah yang dirasakan sebagai ladang
menjanjikan bagi Broker/makelar politik.
Sejak terbit DCS mereka mulai meraba, calon mana yang
sekiranya berkantong tebal dan tak punya pengalaman politik.
Mereka inilah yang diincar, diiming-imingi massa siap
bungkus. Orang-orang ini beranggapan uang bisa membeli segalanya, mereka
menyerahkan proses pencarian suara pada pihak ketiga yang mau cape blusukan.
Tetapi apa benar para makelar ini blusukan dan mampu
memobilisir suara ?! Ini yang patut dipertanyakan.
Pengalaman di lapangan, makelar politik ini
tidak benar-benar blusukan dan sesungguhnya tidak pernah ada yang namanya massa
siap saji itu.
Yang mereka lakukan adalah mendatangi kantung-kantung
kemiskinan di berbagai wilayah, bicara pada RT atau tokoh setempat
untuk mengumpulkan massa karena ada caleg mau datang.
Mereka dijanjikan sembako atau bantuan ala kadar. Jadi
yang datang jangan dipastikan akan jadi kelompok pemilih si caleg karena untuk
satu wilayah bisa didatangi oleh 10 celeg dengan alas an yang sama.
Dan karena wilayah itu kantung masyrakat menengah ke
bawah wajar saja banyak yang mau berkumpul demi sekatung sembako! Untuk menjadi
pemberi suara pada si caleg ? Ya belum tentulah.
Para caleg harus waspada, mereka harus bisa membedakan
antara Makelar Poltik yang advonturir dengan konsultan politik.
Sekilas hampir sama, konsultan politik akan membatu
menggiring massa, mengarahkan agar si caleg mendapat pencitraan yang baik saat
soasialisasi tetapi tidak pernah menjanjikan massa pemilih.
Sebaiknya caleg memadukan kekuatan. Boleh saja
ia menggunakan jasa makelar politik atau konsultan, timses atau apalah istilah
lainnya, untuk membilisir massa.
Tetapi di situ ia harus kerja karas sehingga saat
bertatap muka dengan warga, hasilnya maksimal. Ia bisa memperoleh simpati dan
mampu menciptakan interaksi positif berjangka panjang.
Inilah
yang bakal membuahkan pilihan. Jangan mudah percaya jika makelar politik Anda
menjanjikan adanya komitmen kelompok, yang sudah-sudah meski di depan si caleg
mereka berjanji bakal memilihnya, janji yang sama juga digulirkan saat caleg
lain datang.
Sunat Dana
Para
caleg juga jangan mudah diakali oleh para makelar politik . Dalam
menggelontorkan bantuan pun sebaiknya dilakukan secara langsung.
Dalam
banyak kasus , yang terjadi adalah penyunatan. Yang diminta berapa yang sampai
ke masyarakat berapa.
Akan
jadi masalah jika si caleg terlanjur mengumbar janji di depan massa sementara
bantuan yang sampai ke masyarakat tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Akibatnya
alih-alih dapat suara ia dianggap pembual dan tak layak dipilih, padahal
koceknya sudah habis-habisan terkuras.
Sebenarnya,
suburnya makelar politik ini bisa dibilang pembelajaran politik yang baik bagi
para caleg.
Para
makelar poltik takkan makan korban kalau calegnya smart dan tak mudah dibodohi.
Jadi
sebelum memutuskan terjun, pelajari dulu dapil yang dituju, peta politik di
wilayah tersebut, susun strategi matang yang sesuai untuk warga setempat,
sosialisasi perlu tetapi tak harus membabi buta, kerja keras menciptakan
komunikasi yang baik lebih perlu, begitu juga pencitraan positif.
Jangan
mau instant, tahu beres dan menyerahkan pencarian suara ke pihak
ketiga saja.
Kalau
strategi matang sudah dilakukan tinggal berharap pada faktor
keberuntungan.
Karena persaingan memang begitu ketat apalagi sekarang
ada wakil dari 12 parpol semuanya juga ingin hasil maksimal sementara kesempatan
hanya untuk segelintir orang.#
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru