Pembangunan
Wajib Pro Rakyat
(Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU Kelahiran Sitimulyo Cepu
Kabupaten Blora)
Blora
dikenal sebagai Wilayah di Indonesia
yang kaya dengan sumberdaya alam. Mineral, minyak dan gas bumi, hutan
Jati, Pasir alamnya dan lain-lain adalah sumber kekayaan alam yang diberikan
Allah SWT kepada rakyat kabupaten Blora.
Karena itu, ungkapan bahwa Blora
secara khusus diusulkan partai Gerindra sebagai alternative ibu kota RI
sangatlah layak.
Blora dapat diibaratkan seperti
untaian zamrud khatulistiwa, atau kolam susu merupakan ekspresi yang
menggambarkan keindahan dan kekayaan alam yang dimiliki negeri tercinta ini.
Tetapi, apakah kekayaan alam
tersebut membawa nikmat dan telah mengantarkan rakyat Blora atau rakyat dan
bangsa Indonesia ke tingkat kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang
dicita-citakan dalam Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945?
Rezim orde baru memang sudah
berlalu, namun rezim-rezim penggantinya masih terus melanggengkan warisan
kebijakan sebelumnya, obral murah dan keruk habis sumberdaya alam yang ada.
Inilah kesesatan berfikir pemerintah yang memaknai era globalisasi dan pasar
bebas hanya dari sudut pandang ekonomi.
Sementara bayang-bayang krisis
energi yang sudah menghantui dunia saat ini tidak dipandang sebagai sesuatu
yang penting dan serius.
Tidak aneh jika pemerintah pusat hari ini pun lebih sibuk mengurusi soal
bagaimana investor asing mau menanamkan modal sebesar-besarnya, tapi melupakan
nasib rakyat banyak yang tidak pernah memperoleh tetesan dollar karena diangkut
oleh para pemodal ke negaranya masing-masing.
Tak Mengubah Nasib
Rakyat Blora
Apa yang kemudian diperoleh oleh
rakyat dari berbagai ekplorasi dan ekploitasi sumberdaya alam yang dari waktu
ke waktu makin menunjukkan kecenderungan yang negatif.
Berbagai upaya telah ditempuh Bupati
maupun DPRD blora agar Blora mendapat dan bias mengelola hasil alamnya, dan
tidak mengandalkan bagian seperkian persen nampaknya sulit terwujud.
Bahkan Penulis yang asli Blora ini
kalau boleh mengatakan Istilah “perampokan” mungkin terlalu
sarkastis (kasar), tapi itulah kenyataan yang ada.
Eksploitasi sumberdaya alam yang
dimulai hampir bersamaan dengan berdirinya Republik ini ternyata tak pernah
bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Bahkan saat perangpun kabupaten Blora
merupakn daerah penyangga bahan bakar untuk pesawat terbang yakni Migas di
kecamatan Cepu.
Namun pemerintah kita sepertinya
cukup puas dengan memperoleh keuntungan yang tak lebih dari 10 persen bahkan
lebih kecil lagi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh
perusahaan-perusahaan yang berdalih atas nama “investasi”.
Pemasukan dari sektor tambang
misalnya, yang masuk ke kas negara/daerah setiap tahunnya hanya berkisar antara
3-4 persen.
Bahkan Untuk kekayaan alam yang
berupa batu-batuan dan pasir kwarsa Pemkab Blora belum menerima hasil itu.
Sebuah angka yang terlalu kecil jika
dibandingkan dengan biaya sosial dan biaya lingkungan yang harus ditanggung
oleh rakyat.
Di semua tempat, kehadiran berbagai
industri yang eksploitatif justru telah menciptakan enclave ekonomi.
Ada jurang yang begitu lebar antara
perusahaan disatu sisi dengan masyarakat adat/lokal di sisi lain yang
seharusnya berhak untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alamnya sebagai sumber-sumber
kehidupan mereka.
Masyarakat seolah cuma jadi penonton
atas eksploitasi yang dilakukan oleh berbagai industri yang ada.
Lebih miris lagi bisa kita saksikan,
dilokasi-lokasi dimana eksploitasi sumberdaya alam dilakukan, di situlah kantong-kantong
kemiskinan ditemukan.
“Pepatah mengatakan Rakyat Blora
menjadi Buruh didaerahnya sendiri”
Berbagai praktek alih fungsi lahan
dan hutan untuk berbagai kepentingan atas nama pembangunan seperti Pengeboran
Minyak dan Gas, Penambangan batu-batuan dll.
Pertambangan misalnya, selama ini
dikenal sebagai suatu usaha yang destruktif dan ekstraktif bila tidak ada
kontribusa yang besar terhapap masyarakat setempat.
Pemkab Haru Lebih
Serius Lagi
Apanila Pemkab tidak serius niscaya
akan hilangnya kemampuan kawasan untuk mendukung kehidupan sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat sekitar hutan.
Hutan terbukti mendukung perekonomian
dan sumber kehidupan rakyat Blora sejak dulu berubah Gundul lewat pengambilan hasil
hutan.
Selain itu juga sebagai sumber terbesar
ketersediaan air bersih. Bila kawasan hutan tersebut hilang, maka hilang pula
dukungan dan fungsi hutan bagi masyarakat.
Untuk itu upaya perlindungan dan
penyelamatan atas sumberdaya alam tersebut dari kerusakan merupakan sesuatu
yang mutlak untuk terus diperjuangkan bersama.
Pelaksanaan pembangunan di Blora
sudah seharusnya memenuhi setidaknya dua syarat utam.
Yaitu pertama mampu menyejahterakan
rakyat banyak, baik rakyat yang berada disekitar wilayah sumberdaya alam, yang
selama ini menjadi korban berbagai aktivitas eksploitasi sumberdaya alam, maupun seluruh rakyat di Blora.
Kedua, pengelolaan sumberdaya alam
yang ada haruslah memperhatikan daya dukung dan pelayanan ekologis setempat.
Sehingga lingkungan tidak
ditempatkan sebagai obyek dari kegiatan manusia semata, tetapi juga dilihat
sebagai satu kesatuan ekologi dengan manusia, karena kerusakan terhadapnya akan
membawa malapetaka/bencana bagi manusia (Ingat bagaimana kejadian banjir
bandang di lalu di Ngampel, Tanah lonsor dan Rimah diterjang angin).
Untuk itu kebijakan pembanguan Blora ke depan diharapkan benar-benar pro
rakyat dan lingkungan.
Harapan besar dari kita semua kepada
Pemerintah Kabupaten Blora untuk tidak terjebak pada pilihan-pilihan pembangunan
yang keliru dan sesat.
Seharusnya mari kita tetap
membangun, namun pastikan upaya melestarikan dan melindungi hutan dan
sumberdaya alam Aceh dari kehancuran dan mengurangi berbagai risiko akibat
bencana yang berulang kali terjadi di Blora menjadi sebuah keharusan. Untuk itu
segeralah “bercermin” sebelum terlambat.#
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru