Opini Tentang APBD



gagasan
APBD Bukan Untuk Pejabat
(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKUdiolah dari 7 sumber berbeda)

Pengalokasian anggaran yang proporsional dalam belanja aparatur dan belanja publik semestinya mendapatkan perhatian yang serius dari pihak-pihak legislatif, eksekutif yang duduk mewakili rakyat di kursi pemerintahan baik mewakili rakyat, maupun yang mengelola kepentingan rakyat.
Keberpihakan terhadap kepentingan rakyat dalam pengganggaran APBD sebuah jalan yang harus diambil untuk memberikan keseimbangan pembiayaan pembangunan, dalam artian semua komponen pembangunan perlu dibiayai dengan pertimbangan mana yang menjadi skala prioritas dan mana yang belum.
Akan tetapi, kenyataan di beberapa daerah di Indonesia, semua dibayai, tanpa ada skala prioritas dalam pengembangannya.
Hal ini hanya melahirkan rutinitas pembiayaan dan birokrasi berjalan lamban.
Pengalokasia anggaran yang berbasis kebutuhan masyarakat dengan menata skala prioritas pengembangannya dapat melahirkan langkah maju untuk kemaslahatan bersama.
Banyak orang mempersoalkan keberpihakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak condong pada kepentingan publik, melainkan lebih kepada kaum buruh negara (eksekutif ..red) dan buruh rakyat alias Wakil Rakyat.
Bukan rahasia kalau anggaran Milyaran bahkan Trilyunan di beberapa daerah , terpangkas habis pos belanja pegawai sebesar 65-70 %, dan sisanya terdistribusikan kepada pos belanja lain termasuk belanja Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos)
Kita ambil salah satu sampel di sebuah kabupaten di Jawa Barat.
Apabila sebagai masyarakat kecil diperbolehkan berandai-andai, maka jika APBD tahun anggaran 2013 yang nilainya Rp, 1,6 T, dibagikan merata kepada rakyat salah satu Kabupaten di jawa Barat yang diperkirakan berjumlah 2,1 juta penduduk, dipastikan satu orang mempunyai hak mendapatkan bagian sebesar Rp, 761.905.
Andai dana itu kemudian dipergunakan untuk membeli beras dengan harga Rp, 7,000/KG, maka setiap individu, berhak mendapat beras kurang lebih 109 Kg beras atau setera dengan 1,9 Kwintal beras siap nanak.

Maka dipastikan, tidak akan ada masyarakat cianjur yang kelaparan atau mengkonsumsi beras raskin dalam kurun waktu tertentu, di satu tahun anggaran pemerintah.
Tapi itu tidak mungkin, karena tentu pak Bupati dan Wakilnya tidak akan mau digaji dengan harga Rp, 761.905/tahun atau setara 1,9 Kwintal Beras.
Ini disebabkan, untuk biaya makan dan minum saja pada tahun anggaran tertentu sudah mencapi Rp, 4,6 M. ini terbukti dalam sebuah fakta persidangan
Mamin Gate yang menyeret dua terpidana Edi Iryana dan Heri Khaeruman. Jadi tidak akan mau toh, siapapun bupatinya berbagi “Rejeki” dengan rakyat.
Lebih jauhnya kalau dihitung ku kalkulator bukan berdasarkan kajian akademis para Doktor dan Profesor,  tertulis bagi pos anggaran antara lain Biaya Belanja Pegawai kurang lebih 1,4 T, jika dihitungan berdasarkan kebutuhan anggaran 65 % dari pagu anggaran APBD.  Maka diketahui sisa anggaran yang ada kurang lebih Rp, 560 M.
Setelah terpangkas kewajiban pokok itu, APBD juga diduga terancam dipereteli belanja Hibah sebesar Rp, 110 M untuk pos anggaran Hibah Ketua RT yang bernaung dalam satu lembaga besutan orang Pinter di Kabupaten tersebut.
Otomatis, anggaran terpangkas kembali hingga menyisakan Rp, 450 M. Sudah nyaris rontok dipangkas dua pos belanja tadi, APBD kembali harus ikhlas digelontorkan untuk Belanja Bantun Sosial yang dibungkus dalih Dana Aspirasi untuk para wakil rakyat sesar Rp, 500 juta/ anggota dewan.
Total kebutuhan anggaran ini mencapai Rp, 25 M. Penggelontaran anggaran didalihkan untuk melunasi janji para legislator terhadap konsituennya. Hitungan kalkulatornya sisa anggaran menjadi Rp, 425 M.
Belanja lainnya yang menyedot anggaran APBD adalah belanja untuk Dana Alokasi Desa (DAD) di 360 desa dengan hitungan kurang lebih Rp, 128 Jt/desa hingga muncul anggka kebutuhan anggaran pos satu ini mencapai Rp, 46.080 M.
Alhasil, sisa anggaran sudah kembali terpotong dan menjadi Rp, 378.920 M.
Menurut hitungan yang ada tadi, angka nominal APBD masih memungkinkan terpotong anggaran lainnya seperti Anggaran Pendidikan dan Anggaran Kesehatan.
Mengacu dari Undang-undang kesehatan pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran sebesar 10 % dari APBD dan kebutuhan anggaran Pendidikan berdsarkan Undang-undang Sisdiknas sebesar 20 % dari APBD
Hitung-hitungan tadi, merupakan gambaran yang menurut kacamata publik paling mudah dipahami tanpa embel-embel yang memusingkan.
Namun ironisnya, jika semua kalkulasi dijumlah maka perlu diduga APBD minus alias devisit untuk pembangunan.
Kondisi ini berangkali memungkinkan bagi publik, mencolek pemerintah dalam hal mempertanyakan arah kebijakan politik anggaran yang berpihak pada rakyat.
Toh, setelah ada gambaran, begitu besar cost anggaran belanja kebutuhan janji politik ketimbangan kebutuhan publik.
Nah, gambaran lainnya mudah-mudahan salah satu belanja anggaran diatas seperti anggaran DAD sudah termasuk belanja pegawai.
Sehingga cost untuk anggaran itu bisa pergunakan, menutupi kebutuhan anggaran lain seperti, belanja barang dan jasa untuk bidang infratsruktur jalan yang sudah memprihatinkan.
Wajar saja kalau masyarakat menuntut hal itu, karena jalan berlubang di ruas jalan Nasional, Provinisi, Kabupaten dan Desa, nyaris seperti selokan kering tak berpenghuni ikan mealinkan koral dan batu.
Protes masyarakat terhadap politik anggaran berangkali sangat beralasan, Meski Bupati pemagang hak preogratif terhadap penyaluran dana hibah itu, bukan berarti semau dewe mempergunakannya untuk kepentingan janji politiknya saat berkampanye.
Dalam aturan Permendagri yang mengatur soal pengalokasian dan penyaluran dan Hibah, dijelaskan dengan gamblang kalau pemberian dana hibah dilakukan setelah terpenuhi belanja atau kebutuhan wajib pemerintah daerah.
Bahkan lebih jauh, pemberian dana hibah atau Bansos tidak bisa dilakukan berulang kali pada tiap tahun mata anggaran untuk satu kelompok tertentu.
Bicara tolak ukur keberhasilan, maka yang harus dikedepankan pemerintah adalah data dan fakta serta angka bahkan statistik berdasarkan kajian lembaga independet yang tidak bisa terintervensi pemerintah.
Sementara bagi legislatif, keterlibatan dalam melakukan rancangan kebutuhan anggaran di APBD pada tahun anggaran tertentu dan seterusnya, tidak asal main ketuk palu. Pengalokasian anggaran harus dibahas bukan dikemas sehingga menghasilkan kebijakan pro rakyat. 
Sehingga pelaksanaan dan pengelolaan APBD 2014 lebih efektif dan efisien, DPRD dan TAPD harus mau bekerja keras menyusun anggaran dengan benar dan berpihak pada Rakyat bukan untuk Pejabat.#
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru