Wartawan
"Bakul Berita" Bukan Hakim
(Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber
berbeda)
Menjadi
pewarta merupakan sebuah seni tersendiri bagi siapa saja yang benar-benar
menganggap bahwa profesi ini sebagai pekerjaan yang mulia dan membanggakan.
Tentunya jika hal itu telah
ditanamkan sudah pasti akan menjalankan kapasitasnya dengan cara terhormat.
Yang dimana kehormatan itu akan muncul dengan mengedepankan etika sesuai dengan
kode etik jurnalis.
Kredibilitas dan integritas seorang
wartawan akan bertahan seiring sikap yang mampu berdiri pada pondasi-pondasi
tersebut.
Seorang wartawan adalah figur yang
mampu berbaur pada seluruh kalangan dan memiliki koneksitas yang sangat luas.
Karena insan pers tidak hanya
memiliki keahlian dalam meramu redaksi pemberitaan melainkan mampu menempatkan
peranannya sebagai mediator yang independen, mampu memahami kapasitasnya yang
memiliki banyak batasan.
Sebaliknya,
tidak sedikit ditemui di lapangan banyak oknum wartawan yang justru terkesan
berlaku seolah kapasitasnya mencakup segala lini baik itu sebagai PENYIDIK,
PENUNTUT bahkan sebagai HAKIM.
Beberapa orang kepala sekolah. Kades
ataupun Kuntraktor misalnya, sering
menuturkan pada saya bahwa mereka kadang berhadapan dengan wartawan yang
terkesan menyidik bak Polisi, menetapkan dakwaan bak seorang jaksa bahkan tidak
ragu menjastifikasi (menfonis) bersalah bak seorang Hakim.
Keluhan seperti ini sebenarnya telah
lama berlangsung sejak menjamurnya media cetak yang muncul hampir setiap bulan.
Dengan makin banyaknya media cetak
maupun elektronik yang beredar di Blora yang tentunya jumlah itu akan
berpengaruh pada personil yang semakin banyak.
Ironisnya ada perekrutan tenaga
pewarta terkesan asal-asalan tanpa mengedepankan unsur kualitas dan SDM calon
wartawan atau setidaknya memberikan pembekalan untuk mengedepankan kode etik
jurnalisme indonesia yang bermartabat dan cerdas.
Buktinya, di lapangan tidak sulit
menemukan oknum wartawan yang tidak hanya menggunakan kapasitasnya untuk
mengintimidasi sumber bahkan juga menganggap dirinya sebagai super power yang
dapat menentukan nasib setiap sumber, dengan berlaku seolah dirinya tak
terjangkau hukum.
Dia tidak sadar bahwa bahasa hukum
itu jelas didalamnya mengatakan (BARANG SIAPA), tidak disebut (KECUALI).
Hanya kemitraan yang menjadikan
seorang wartawan menjadi kuat, bukan arogansinya... Kekuatan bermitra dengan
menjunjung tinggi ETIKA Jurnalis akan membentuk kewibawaan seorang wartawan.
Karena wartawan hanya penyaji informasi yang berimbang dengan mengedepankan
azas praduga tak bersalah. Karena wartawan adalah bakul (penjual) berita bukan
HAKIM.
Artinya menulis adalah makanan
sehari-hari jurnalis media cetak. Entah itu majalah, tabloid, atau koran.
Selain itu ada juga wartawan media
online yang tetap harus ahli menyampaikan kata-kata secara terstruktur agar
informasi dapat tersampaikan dengan jelas pada pembaca.
Kebanyakan wartawan memang fasih
merangkai kata saat menuliskan reportase. Data dan fakta di lapangan, baik
pandangan mata atau wawancara diramu dengan baik. Berpikir sebentar menentukan
angle/sudut pandang berita, langsung tulis.
Kalau mingguan atau bulanan, mungkin
waktu berpikirnya lebih panjang ketimbang wartawan harian.
Dari penulisan berita inilah. awal apakah
media itu dapat diterima dimasyarakat atau tidak.
Artinya dari rangkaian kata sebuah
berita yang ditulis seorang wartawan juga merupakan faktor daya tarik yang
menyebabkan laku tidaknya media tersebut.
Atau dengan kata lain seorang wartawan hendaknya
harius mampu menjual beritanya sehingga dapat menarik orang untuk membacanya.#
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru