Antara
Emasipasi dan Kodrat Perempuan
(Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKUdiolah dari 4 sumber
berbeda)
TANGGAL
22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu”. Momen tersebut senantiasa menggugah
untuk merenungkan perihal ke”ibu”an itu.
Seperti halnya mengajar, menyair,
mengatur lalu lintas berikut segala sesuatu aktivitas sehari-hari, pada
mulanya, agaknya memang bukan kepunyaan atau haknya kaum ibu.
Sebab, kalaulah kaum ibu yang ambil
bagian maka kita selalu memberi embel-embel “wanita” di depan maupun di
belakang jenis pekerjaan atau profesinya. Sehingga dewasa ini kita pun mengenal
umpamanya ‘guru wanita’ (atau ‘wanita guru’?) ‘wanita penyair’ (atau ‘penyair
wanita’?), ‘polisi wanita’, ‘wanita penerbang’, ‘dokter wanita’ dan lain
sebagainya.
Singkat kata, bilamana sebutan yang
mengacu pada pengertian profesi ditemui kapan dan di manapun, kita cenderung
mengatakan —meski hanya di dalam hati— bahwa itu adalah milik yang sah atau
dunianya kaum bapak.
Tak pelak, pada gilirannya kaum ibu
atau perempuan-perempuan tergolong cerdas lagi berkualitas pun unjuk gigi dan
berusaha ekstra keras menandingi sekaligus menampik sinyalemen (tak tertulis)
yang menerangkan bahwa dunia ini adalah milik laki-laki belaka.
Lantas mengapunglah ke permukaan
sejumlah bidang pekerjaan yang kiranya dapat mengukuhkan eksistensi kaum ibu.
Beberapa aktivitas yang mencuat ke permukaan itu diharapkan… semata-mata
dilakoni oleh perempuan.
Tetapi apa kenyataannya? Kecuali
melahirkan anak, semua yang digagas dan diupayakan kaum ibu, seperti membantu
persalinan, memasak, mengurus serta mengatur rumah-tangga, nyatanya juga bisa
dilakukan kaum bapak.
Bahkan, dengan penuh rasa percaya
diri kaum bapak tidak pernah ingin menambahkan predikat laki-laki, baik di muka
atau pun di belakang sektor profesi yang (baru) ditekuninya.
Sebutlah misalnya, sekadar contoh,
tak pernah terdengar istilah “laki-laki koki” maupun “juru masak laki-laki”
untuk pria yang bekerja sebagai tukang masak.
Kontekstual, secara ekstrem mungkin
dapat dikatakan bahwa elan feminism merupakan pengejewantahan daripada rasa
hati perempuan oleh laki-laki yang,
karena pelbagai pembenaran yang salah tafsir terhadap aturan adat maupun agama
terkadang memang suka “mentang-mentang”.
Kementang-mentangan dimaksud secara
faktual diaktualisasikan, umpamanya melalui resolusi Nomor 54 Sidang Umum PBB
17/12/1999, Undang Undang KDRT yang disahkan pada 14/9/2004 dan Deklarasi HAM,
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Dalam bahasa yang lain, persatuan
maupun gerakan yang didengung dan atau digadang-gadangkan kaum ibu selama ini
kurang lebih merupakan tindak lanjut dari “perlawanan” atas dominasi laki-laki
terhadap “alam” (ke)perempuan(an) atau rumah-tangga.
Perlawanan yang selalu digalang dan
digalakkan dengan aneka cara: menghalalkan segenap pekerjaan berkonotasi
positif-konstruktif, di samping mendiskusikan atau menyeminarkan sepak terjang
serta segala macam aktivitas yang berbau dan berembel-embel “perempuan”.
Meski begitu tampaknya kaum
perempuan bukan pihak yang sanggup berdiri sendiri.
Buruk-baik perempuan cenderung
bersuluh mata orang banyak. “Identitas” perempuan, sadar tidak sadar, sering
terbentuk oleh dan melalui kacamata laki-laki.
Sikap setengah-setengah atau
ambivalensi suasana hati yang meringkus kaum ibu konon berkaitan erat dengan
sifat alamiahnya.
Kaum ibu, secara naluriah senantiasa
terpanggil berbuat sesuai kodrat, yang antara lain berupa hasrat untuk menjadi
ibu rumah-tangga teladan yang mempunyai harga diri serta rasa malu yang tinggi.
Kaum ibu yang adalah wanita atau
perempuan selalu rikuh dan bahkan merasa berdosa andaikata dicap, misalnya,
melanggar kelaziman dan kesucian kaumnya.
Sejalan dengan itu, seperti
ditengarai , perempuan berdasarkan fitrahnya lebih mengutamakan perasaan dalam
bersikap dan bertindak.
Namun ironisnya perasaan ini pulalah
justru yang membuat perempuan jadi suka nelangsa dan atau penasaran dalam
hidupnya.
Lepas dari segala kecurigaan atau
pretensi macam apa pun, kita toh pernah mendengar riwayat tentang nenek-moyang
kita Sitti Hawa yang seringkali bangun di tengah malam guna memastikan jumlah
tulang rusuk Nabi Adam.
Hal itu dilakukan karena, menurut
keyakinan, Sitti Hawa (perempuan) berasal dari tulang rusuk Nabi Adam
(laki-laki).
Masalahnya adalah, bersediakah kita
sekalian mengakui sinyalemen serta argumentasi tersebut di atas?
Entahlah! Namun yang jelas, menurut
hemat saya sudah tiba saatnya semua-semua mengkaji ulang dan mempertanyakan
kembali persatuan atau gebrakan berlabel perempuan.
Apakah aktivitas ibu-ibu yang
dimotivasi emansipasi itu secara murni mengandung upaya pembebasan diri dari
dunia laki-laki?
Andaikata tidak, maka usaha kaum ibu
selama ini cuma dapat dikategorikan sebagai penjelmaan rasa keperempuanan itu
sendiri, dalam mencari dan menciptakan sebentuk persamaan hak berlatar-belakang
gender.
Dengan demikian terjelaskan pula
bahwa gerakan emansipasi maupun kiprah yang dimotori RA Kartini sekalipun,
kurang lebih (hanya) merupakan salah satu dimensi penjabaran —yang lain
daripada yang lain— atas suatu modernisasi.
Sebab perempuan, walau bagaimanapun
tak ubahnya dengan laki-laki, sudah dari sono-nya ingin dan harus berjuang
berdampingan saling melengkapi, menuju dunia dan masyarakat modern yang
menjanjikan begitu banyak kemungkinan dan kebahagiaan bersama selaku makhluk
berakal hamba sahaya Tuhan Yang Mahakuasa.
“Dirgahayu Hari Ibu”. #
Lihat Ukuran Besar
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru