Haji Korupsi tabloid INFOKU 64

Haji dengan Uang Korupsi
(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber berbeda)
Pergi haji merupakan kewajiban bagi orang Islam yang mampu dan memenuhi syarat. Haji merupakan ritual yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi religius dan dimensi sosial.
Namun, saat ini banyak orang haji hanya ingin mendapat gelar atau panggilan “Pak Haji” atau “Bu Hajah” belaka.
Ini merupakan pergeseran niat yang salah. Apalagi, sekarang muncul pameo; “Jangan pergi haji jika uangnya hasil korupsi”.
Lalu, timbullah pertanyaan, bagaimana hukumnya haji jika uangnya korupsi? Tentu masih menjadi kontroversi.
Dalam kacamata Islam, ada beberapa pendapat tentang haji dengan uang hasil korupsi.
Pertama, hajinya sah dan menggugurkan kewajiban haji, namun orang berhaji berdosa dan tak mendapat pahala.

Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, juga satu versi pendapat dalam mazhab Maliki dan Hambali.
Dalilnya, karena sahnya haji bergantung pada rukun dan syarat haji, bukan pada halal haramnya harta digunakan.
Imam Ibnu Abidin menyatakan berhaji dengan harta haram sama dengan orang sholat di tanah rampasan (maghshubah), yakni sholatnya sah selama memenuhi rukun dan syaratnya, tapi dia berdosa dan tak mendapat pahala  (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd Al Muhtar, 3/453).
Kedua, hajinya tidak sah, berdosa, dan tidak mengugurkan kewajiban haji. Inilah versi pendapat lain mazhab Maliki dan Hambali. Dalilnya sesuai sabda Rasulullah SAW (artinya),”Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahabaik (thayyib) dan tidak menerima kecuali yang baik,” (HR Muslim, no 1015).
Ketiga, niat semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah SWT, bukan untuk “bertamasya atau rekreasi.”
Para jemaah haji seharusnya memurnikan dan meluruskan niat berangkat ke Tanah Suci untuk beribadah meraih ridha Allah.
Kemudian, tak mencampuradukkan dengan perbuatan riya, sombong, dendam, atau ingin meningkatkan status sosial.
Keempat, sarana yang digunakan. Artinya, agar haji yang dikerjakan mabrur, jemaah harus menggunakan harta halal. Jadi, bukan dana subhat, hasil korupsi, atau hasil merampok.
Mereka yang berangkat menggunakan biaya haram, praktis hajinya “tak akan diterima” (mardud) oleh Allah.
Haji Korupsi?
Kita perlu pahami bahwa korupsi merupakan bahaya laten bagi bangsa dan negara.
Sebab, korupsi bisa menghancurkan realisasi program-program pemerintah, serta mengganggu dan menghambat upaya menyejahterakan dan memakmurkan rakyat. 
Korupsi juga mengancam keamanan dan ketertiban sosial, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, meluluhlantakkan kaidah-kaidah moral dan keadilan, membahayakan pembangunan yang berkelanjutan dan rule of law, bahkan bisa mengancam stabilitas politik nasional.
Karena itu, haji menjadi “tidak sah” jika uang yang dipakai untuk bekal bersumber dari korupsi.
Allah akan menolak seruan jemaah yang mengumandangkan talbiah “labbaik Allahumma labbaik” (aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah).
Sebab, mereka dianggap berbohong. Jika faktor itu tak terpenuhi, seseorang belum mendapatkan basyirah atau keterbukaan hati yang paling dalam dan bersih.
Karena itu, niat dan penggunaan sarana yang salah akan melahirkan bekal dan manasik hingga operasionalisasi haji yang salah pula.
Ini harus menjadi perhatian para calon haji (calhaj) dan seluruh kaum muslim. Jangan hanya membahas masalah-masalah fisik, namun aspek ibadah dan batiniah justru sangat urgen. Sebab, haji bukan “pariwisata atau jalan-jalan” ke Arab Saudi.
Namun, para jemaah sedang menghadapkan segenap jiwa dan raga ke hadirat Ilahi, dan berjanji untuk menjadi insan yang penuh kebaikan (mabrur).
Haji Mabrur
Menjadi haji mabrur merupakan dambaan seluruh umat Islam yang terpanggil berangkat ke Tanah Suci. Allah telah berjanji, imbalan bagi yang berhasil mencapainya adalah surga.
Kita berharap agar Semua haji Indonesia terkhususnya di Kabupaten Blora, setiap tahun bisa pulang ke Tanah Air menjadi Haji Mabrur.
Ini akan berdampak hebat, apalagi jika jumlah total mereka dikalikan rata-rata lima anggota keluarganya.
Maka, NKRI akan makin kukuh dan terbebas dari korupsi. Dan haji pun menjadi sarana pembentukan hati dan pikiran yang baik, sebagai landasan pembentukan karakter bangsa yang maju, beradab, religius, dan sejahtera.
Maka dari itu, umat Islam di Indonesia harus berbenah diri. Pasalnya, dewasa ini banyak sekali orang mela­kukan kebaikan, namun cara yang ditempuh kurang tepat dan “menghalalkan segala cara”.
Banyak koruptor di negeri ini melakukan kebaikan, namun uang yang dipakai adalah “uang haram” karena hasil dari menggarong uang rakyat.
Tak jarang mereka menyumbang masjid, berkurban, dan berhaji dengan uang hasil korupsi.
Padahal, sudah jelas ibadah tersebut akan sia-sia. Karena itu, jika ingin berhaji, umat Islam perlu melakukan perubahan. Jika koruptor ingin naik haji, mereka harus “memakai uang halal” dan membersihkan diri serta hati nurani.
Siapa saja di dunia ini yang melakukan haji dengan uang korupsi, pasti ibadah hajinya ditolak dan sia-sia. Jika ingin menjadi haji mabrur, cara yang dilakukan juga harus mabrur pula.
Pasalnya, haji mabrur bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh dengan cara instan dan dengan jalan salah. Maka dari itu, sudah saatnya umat Islam berhaji dengan cara benar dan menggunakan uang halal jika ingin menjadi haji mabrur.
Lalu, bagi koruptor, lebih baik uang tersebut dikembalikan kepada asal mula uang itu dicuri. Karena itu, jika sudah jelas bahwa haji uang hasil korupsi tak sah, apakah anda akan tetap berhaji dengan uang haram? (*)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru