Haji dengan Uang
Korupsi
(Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber
berbeda)
Pergi
haji merupakan kewajiban bagi orang Islam yang mampu dan memenuhi syarat. Haji
merupakan ritual yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi religius dan dimensi
sosial.
Namun, saat ini banyak orang haji
hanya ingin mendapat gelar atau panggilan “Pak Haji” atau “Bu Hajah” belaka.
Ini merupakan pergeseran niat yang
salah. Apalagi, sekarang muncul pameo; “Jangan pergi haji jika uangnya hasil
korupsi”.
Lalu, timbullah pertanyaan,
bagaimana hukumnya haji jika uangnya korupsi? Tentu masih menjadi kontroversi.
Dalam kacamata Islam, ada beberapa
pendapat tentang haji dengan uang hasil korupsi.
Pertama, hajinya sah dan menggugurkan
kewajiban haji, namun orang berhaji berdosa dan tak mendapat pahala.
Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu
pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, juga satu versi pendapat dalam mazhab
Maliki dan Hambali.
Dalilnya, karena sahnya haji
bergantung pada rukun dan syarat haji, bukan pada halal haramnya harta
digunakan.
Imam Ibnu Abidin menyatakan berhaji
dengan harta haram sama dengan orang sholat di tanah rampasan (maghshubah),
yakni sholatnya sah selama memenuhi rukun dan syaratnya, tapi dia berdosa dan
tak mendapat pahala (Ibnu Abidin,
Hasyiyah Radd Al Muhtar, 3/453).
Kedua, hajinya tidak sah, berdosa, dan
tidak mengugurkan kewajiban haji. Inilah versi pendapat lain mazhab Maliki dan
Hambali. Dalilnya sesuai sabda Rasulullah SAW (artinya),”Sesungguhnya Allah
adalah Dzat Yang Mahabaik (thayyib) dan tidak menerima kecuali yang baik,” (HR
Muslim, no 1015).
Ketiga, niat semata-mata untuk melaksanakan
perintah Allah SWT, bukan untuk “bertamasya atau rekreasi.”
Para jemaah haji seharusnya
memurnikan dan meluruskan niat berangkat ke Tanah Suci untuk beribadah meraih
ridha Allah.
Kemudian, tak mencampuradukkan
dengan perbuatan riya, sombong, dendam, atau ingin meningkatkan status sosial.
Keempat, sarana yang digunakan. Artinya,
agar haji yang dikerjakan mabrur, jemaah harus menggunakan harta halal. Jadi,
bukan dana subhat, hasil korupsi, atau hasil merampok.
Mereka yang berangkat menggunakan
biaya haram, praktis hajinya “tak akan diterima” (mardud) oleh Allah.
Haji
Korupsi?
Kita perlu pahami bahwa korupsi
merupakan bahaya laten bagi bangsa dan negara.
Sebab, korupsi bisa menghancurkan
realisasi program-program pemerintah, serta mengganggu dan menghambat upaya
menyejahterakan dan memakmurkan rakyat.
Korupsi juga mengancam keamanan dan
ketertiban sosial, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi,
meluluhlantakkan kaidah-kaidah moral dan keadilan, membahayakan pembangunan
yang berkelanjutan dan rule of law, bahkan bisa mengancam stabilitas politik
nasional.
Karena itu, haji menjadi “tidak sah”
jika uang yang dipakai untuk bekal bersumber dari korupsi.
Allah akan menolak seruan jemaah
yang mengumandangkan talbiah “labbaik Allahumma labbaik” (aku datang memenuhi
panggilan-Mu, ya Allah).
Sebab, mereka dianggap berbohong.
Jika faktor itu tak terpenuhi, seseorang belum mendapatkan basyirah atau
keterbukaan hati yang paling dalam dan bersih.
Karena itu, niat dan penggunaan
sarana yang salah akan melahirkan bekal dan manasik hingga operasionalisasi
haji yang salah pula.
Ini harus menjadi perhatian para
calon haji (calhaj) dan seluruh kaum muslim. Jangan hanya membahas
masalah-masalah fisik, namun aspek ibadah dan batiniah justru sangat urgen.
Sebab, haji bukan “pariwisata atau jalan-jalan” ke Arab Saudi.
Namun, para jemaah sedang
menghadapkan segenap jiwa dan raga ke hadirat Ilahi, dan berjanji untuk menjadi
insan yang penuh kebaikan (mabrur).
Haji
Mabrur
Menjadi haji mabrur merupakan
dambaan seluruh umat Islam yang terpanggil berangkat ke Tanah Suci. Allah telah
berjanji, imbalan bagi yang berhasil mencapainya adalah surga.
Kita berharap agar Semua haji
Indonesia terkhususnya di Kabupaten Blora, setiap tahun bisa pulang ke Tanah
Air menjadi Haji Mabrur.
Ini akan berdampak hebat, apalagi
jika jumlah total mereka dikalikan rata-rata lima anggota keluarganya.
Maka, NKRI akan makin kukuh dan
terbebas dari korupsi. Dan haji pun menjadi sarana pembentukan hati dan pikiran
yang baik, sebagai landasan pembentukan karakter bangsa yang maju, beradab,
religius, dan sejahtera.
Maka dari itu, umat Islam di
Indonesia harus berbenah diri. Pasalnya, dewasa ini banyak sekali orang
melakukan kebaikan, namun cara yang ditempuh kurang tepat dan “menghalalkan
segala cara”.
Banyak koruptor di negeri ini
melakukan kebaikan, namun uang yang dipakai adalah “uang haram” karena hasil
dari menggarong uang rakyat.
Tak jarang mereka menyumbang masjid,
berkurban, dan berhaji dengan uang hasil korupsi.
Padahal, sudah jelas ibadah tersebut
akan sia-sia. Karena itu, jika ingin berhaji, umat Islam perlu melakukan
perubahan. Jika koruptor ingin naik haji, mereka harus “memakai uang halal” dan
membersihkan diri serta hati nurani.
Siapa saja di dunia ini yang
melakukan haji dengan uang korupsi, pasti ibadah hajinya ditolak dan sia-sia.
Jika ingin menjadi haji mabrur, cara yang dilakukan juga harus mabrur pula.
Pasalnya, haji mabrur bukanlah
sesuatu yang bisa diperoleh dengan cara instan dan dengan jalan salah. Maka
dari itu, sudah saatnya umat Islam berhaji dengan cara benar dan menggunakan
uang halal jika ingin menjadi haji mabrur.
Lalu, bagi koruptor, lebih baik uang
tersebut dikembalikan kepada asal mula uang itu dicuri. Karena itu, jika sudah
jelas bahwa haji uang hasil korupsi tak sah, apakah anda akan tetap berhaji
dengan uang haram? (*)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru