Nikmatnya Uang Pada
Pilkades
(Penulis drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 5 sumber
berbeda)
Banyak yang gagal
di pemilihan calon kepala desa setelah mengeluarkan uang yang tidak sedikit.
Konon
walau tidak dalam wilayah kerja penyelenggara pemilu (KPU dan Panwaslu),
pemilihan kepala desa (pilkades) merupakan aktualisasi pemerintahan politik
yang berasal langsung dari rakyat.
Maka tidak mengherankan bila
kegiatan pilkades pun tidak kalah serunya dengan pemilihan kepala daerah
(pilkada) ataupun pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres).
Pembedanya hanyalah pilkades berada
di wilayah yang sangat lokal, yaitu desa. Sebagai bagian dari pemerintahan
politik, seorang kepala desa pun dipilih langsung melalui proses pemungutan
suara sebagaimana layaknya pemilu.
Setiap warga masyarakat di daerah
tersebut yang dibuktikan dengan kartu kependudukan, yang sudah memenuhi syarat
untuk memilih dan dipilih, memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi
suaranya.
Pendek kata, persyaratan
administrasi yang diberlakukan sama persis dengan aturan dalam penentuan
pemerintahan politik, misalnya : usia minimal 17 tahun atau sudah menikah,
bukan anggota TNI/ Polri, memiliki surat panggilan, mencoblos surat suara yang
sudah ditentukan panitia dan seterusnya.
Ironisnya, walau hanya perhelatan
pemilu lokal di tingkat desa, berbagai kebusukan politik dibalik kegiatan
pilkades tidak dapat dielakkan.
Bahkan dapat dikatakan, penodaan
nilai-nilai demokrasi di pilkades jauh lebih buruk dibandingkan pemilihan umum
di tingkatan pemerintahan politik yang lebih tinggi.
Salah satu contoh dalam pilkades
yang paling menonjol ialah merajalelanya praktik politik uang (money politics)
karena tidak ada sanksi hukum yang bersifat mengikat, kecuali hanya sanksi
moral.
Konyolnya, praktik money politics dalam
pilkades dianggap sebagai hal yang lumrah dan dipandang sebagai tradisi yang
tidak harus dipersoalkan.
Sebagian besar masyarakat bahkan
sangat mengharapkan adanya pembagian uang dari para kontestan pilkades
tersebut.
Sebaik apapun integritas kontestan,
tapi jika tidak memberikan ‘upeti’ kepada masyarakat pemilih, kecil harapan
untuk memenangkan pilkades.
Sebaliknya, seorang kontestan yang
secara nyata di hadapan masyarakat memiliki reputasi buruk baik integritas moral maupun profesionalitas,
bila kucuran upeti mengalir lancar kepada masyarakat, harapan menang pun akan
ada di depan mata.
Sisi yang lain yakni pilkades
melalui praktik money politics juga tidak semata-mata dilakukan oleh kontestan
yang ingin memenangkan persaingan dengan cara yang tidak jujur, bahkan justru
yang paling membuat heboh ialah para botoh (petaruh).
Para botoh ini pada umumnya justru
orang-orang dari luar desa yang sedang melaksanakan perhelatan demokrasi
tersebut, walaupun Sudah dilakukan secara serentak di beberapa kabupaten.
Tidak jarang para botoh tersebut yang
membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar memilih kontestan tertentu.
Harapannya, bila calon yang
didukungnya menang, maka botoh tersebut akan mendapatkan-keuntungan yang jauh
lebih besar dari uang yang dibagikan kepada masyarakat.
Banyak model dan modus yang
dilakukan para ‘tim sukses’ cakades maupun botoh dalam membagi uang kepada
masyarakat.
Di antaranya melalui ‘serangan
fajar’ pada pagi hari menjelang hak suara pemilih dipergunakan. Tidaklah
mengherankan, semakin banyak cakadesnya, maka akan semakin banyak pula ‘uang
panas’ tersebut beredar di tengah-tengah masyarakat pemilih.
Setiap individu pemilih memiliki
harga tersendiri. Kisaran uang yang diterima individu pemilih ratarata antara
lima puluh ribu hingga satu juta rupiah.
Semakin banyak anggota keluarga yang
memiliki hak pilih, dapat dipastikan semakin besar pula uang cakades yang
diperoleh keluarga tersebut.
Bila dalam pemilu, para praktisi money
politik cenderung menjalankan aksinya secara diam-diam, sebaliknya dalam
pilkades terjadi secara terang- terangan.
Kontestan, tim sukses hingga botoh
tidak lagi punya malu untuk membagibagi uang kepada masyarakat.
Lebih konyol lagi, ada pula yang
membagi uang secara terang terangan dijalan dengan cara menghadang masyarakat
yang sedang menuju tempat pemungutan suara (TPS), atau bahkan ada yang
membaginya di depan TPS.
Panitia pilkades pun cenderung tidak
ambil pusing dengan situasi itu, dan menganggap sebagai urusan internal
kontestan.
Mengapa panitia diam? Bagi panitia
pada umumnya yang penting ritual pilkades berjalan lancar, juga tidak ada jerat
hukum yang bersifat mengikat bagi pelaku money politics.
Risiko terburuknya adalah konflik
horizontal antar pendukung dan menganggap pilkades tidak berjalan secara
sportif.
Pertanyaannya, mengapa money
politics dalam pilkades tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana seperti
halnya dalam pileg, pilpres maupun pilkada?
Tampaknya sudah saatnya keadaban
pemilu diturunkan hingga tingkat desa. Desa merupakan wilayah pemerintahan
politik paling dasar dalam sistem pemerintahan di negeri ini.
Akhirnya, dalam rangka menuju desa
yang berperadaban dan dipimpin oleh kepala desa yang berintegritas tinggi, dan sudah saatnya money politics dalam
pilkades sudah saatnya dikategorikan sebagai kejahatan pemilu.
Mungkin cukup ideal bila wilayah kerja penyelenggara pemilu tidak berakhir di pilkada, tapi juga sampai ke tingkat pilkades.
Mungkin cukup ideal bila wilayah kerja penyelenggara pemilu tidak berakhir di pilkada, tapi juga sampai ke tingkat pilkades.
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru