Fitri Korupsi
(Penulis
drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 4
sumber berbeda)
Idul Fitri
kali ini menimbulkan banyak renungan dan tanda-tanda. Antara lain, bahwa Idul
Fitri kali ini, kita rayakan di saat bangsa ini dihadapkan pada persoalan
korupsi yang kian hari kian akut dan menakutkan.
Sederet
bukti konkret bahwa moralitas politik dan ekonomi, bahkan moralitas keagamaan,
kini hanya sebatas komoditas politik dan ekonomi yang indah dan manis di bibir,
tapi diragukan berfungsi mengontrol perilaku mereka.
DPR,
yang bertugas melakukan pengawasan, justru memperlihatkan kinerja buruk, bahkan
terkenal sebagai lembaga yang korup.
Tidak
sedikit anggota Dewan digiring Komisi Pemberantasan Korupsi ke bui. Tragisnya
lagi, DPR tidak pernah jera.
Ingat
kasus anggota DPR yang menjadi calo
anggaran seperti yang terungkap dalam nyanyian Nazaruddin. Tugas utama DPR
sebagai penyalur aspirasi rakyat terhenti, lalu menjelma menjadi makelar.
Begitu
juga dengan kasus daging impor yang melibatkan petinggi partai dan banyak kasus
lainya.
Singkatnya,
semua gerbang di negeri ini sudah dijaga mafia. Sudah tidak ada lagi gerbang,
pintu, atau jendela yang berhubungan dengan kekuasaan dan keadilan yang tidak
ditunggui para garong uang negara.
Hampir
di tiap level birokrasi terjadi korupsi. Bukan hanya dilakukan secara oligarkis
oleh para elite di sekitar istana dan anggota Dewan, tetapi juga menyebar ke
semua lini kekuasaan politik dan ekonomi, dari pucuk sampai akar, dari hulu
sampai hilir.
Para
calo pun berkeliaran dari terminal hingga gedung DPR dan pemerintahan, dari
pasar sampai lembaga penegak hukum.
Lalu,
bila ada satu hal yang kiranya dapat berperan secara maksimal untuk meluruskan
kembali yang melenceng, memelihara dan meningkatkan moralitas individu,
masyarakat, dan bangsa, maka itu adalah agama. Hari Raya Idul Fitri kali ini
semestinya memberi momentum untuk memfitrikan bangsa ini dari praktek suap dan
korupsi.
Puasa Korupsi
Secara
substansial, misi utama setiap agama dengan kitab sucinya dimaksudkan untuk
mempertemukan kehendak dan kasih Tuhan di satu sisi, dengan kehendak dan
perjalanan manusia di sisi lain.
Demikian
juga agama Islam dan syariat yang dibawa oleh Nabi SAW, termasuk di dalamnya
ibadah puasa yang bersifat sangat pribadi itu, sejatinya dimaksudkan untuk
menyadarkan umat manusia agar mampu melihat realitas lain yang lebih tinggi dan
hakiki, yaitu “Realitas Ilahi” yang Maha Hadir.
Adalah
benar bahwa sains dan teknologi telah memperpendek jarak suatu negara dengan
negara lain, planet yang satu dengan planet lain.
Namun
kedekatan itu tidak berarti menjamin eratnya persahabatan di antara sesama
manusia, dan tidak pula berarti bahwa pengalaman dan perjalanan spiritualnya
semakin mendalam.
Artinya,
semakin jauh dan sejauh-jauh pengembaraan manusia dengan sains dan
teknologinya, bila tanpa visi keilahian, mereka akan tetap terkungkung dan
melingkar-lingkar dalam orbit bumi yang selalu dihadapkan pada jalan buntu
dalam upayanya meraih pengetahuan.
Pada
saat yang sama, karena terlalu mengagung-agungkan sains dan teknologi, mereka
menjadi manusia-manusia yang teralienasi dari nilai spiritualitas-religius, dan
membuat mereka menjadi positivist. Pandangan dunia yang dibangun di atas premis
positivis-empiris ini, pada gilirannya, akan membawa implikasi pada penolakan
realitas yang berada di luar jangkauan indra dan rasio.
Dalam
konteks inilah, visi dan kesadaran spiritualitas yang dibangun melalui ibadah
puasa menjadi sangat urgen dan diyakini akan mampu menembus kabut kegelapan
yang menghalangi pandangan nurani, karena inti spiritualitas terletak pada
wilayah batin (inner life).
Maka,
sangat relevan jika dimensi spiritualitas itu mampu hadir dalam proses
transformasi sosial, yang wilayah operasionalnya terletak pada dataran
struktural, atau titik beratnya pada dimensi praksis dari perilaku seseorang
dalam jaringan-jaringan institusi masyarakat.
Kesadaran Beragama
Dalam
perspektif Islam, kesadaran spiritualitas berimpit erat dengan kesadaran
manusia. Artinya, semakin tinggi kesadaran keberagamaan seseorang, semestinya
semakin tinggi pula kualitas kemanusiaannya, dalam kondisi dan situasi yang
bagaimanapun.
Ini
berarti, nilai kemanusiaan hanya bisa dipahami ketika semua perilaku
lahir-batinnya diorientasikan kepada Tuhan, dan dalam waktu yang bersamaan,
juga membawa implikasi konkret terhadap upaya meningkatkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Pendeknya,
manusia tidak bisa dipahami tanpa keterkaitannya dengan Tuhan dan
keterkaitannya dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial.
Kiranya
benar apa yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya,
Ihya’ Ulumuddin, "Aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi cahaya Ilahi
bagaikan orang berjalan di atas lorong setan yang gelap.
Dan
orang yang hanya sekadar percaya kepada Tuhan tetapi tidak menumbuhkan
sifat-sifat atau nilai-nilai spiritual-religius di dalam dirinya, ia bagaikan
iblis yang gentayangan.”
Dari
sini bisa dipahami bahwa korupsi yang merajalela di Republik ini sumbernya
adalah tumpulnya hati nurani dan hilangnya nilai spiritual-religius para elite
politik.
Mereka
memahami politik sebagai cara untuk merampok uang rakyat, bukan untuk melayani
rakyat. Dalam konteks ini, mereka sebenarnya mencederai fungsi politik yang
hakikatnya harus mewujudkan kemaslahatan publik (al-mashlahah al-ammah).
Nah,
selama bulan Ramadan, jasmani dan rohani kita telah digodok untuk beribadah dan
bermuamalah secara proaktif agar menjadi manusia yang bermoral dan bertakwa.
Manusia
yang lebih mengenali jati dirinya sebagai manusia yang lemah. Manusia awam yang
gampang dikotori oleh debu duniawi. Ini berarti, setelah ber-Idul Fitri, setiap
orang semestinya akan mengalami reaktualisasi diri sebagai manusia primordial,
sosok manusia baru yang suci. Sinyal ketuhanan dan kemanusiaannya pun tak
meredup, bahkan kian kuat, meski Ramadan telah lewat.
Tak
ada lagi suap, korupsi, dan selingkuh kekuasaan serta dusta atas janji-janji
politik, karena syahwat korupsi dan nafsu liar kekuasaan telah tertundukkan
setelah menjalani terapi rohaniah sebulan penuh. Saat itulah berlaku makna
simbolik Idul Fitri.
Yakni, kembalinya manusia kepada fitrah kemanusiaan.
Sosok manusia yang dekat dengan Tuhan, manusia yang suci, memiliki integritas
moral yang tinggi, dan fitri dari segala jenis korupsi. Selamat Idul Fitri 1434 H Mohon
Maaf Lahir & Batin*
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru