Sanggupkah
Puasa Menekan Korupsi
(Penulis drs Ec Agung
Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 4 sumber berbeda)
Ini bukan catatan agama. Karena itu,
ini bukan untuk dipersembahkan dalam
mimbar-mimbar keagamaan yang bakal sangat marak di bulan Ramadhan.
Namun, sedikit-sedikit boleh juga ini
ditujukan kepada mereka yang suka sinis terhadap hubungan agama (terutama Islam)
dan fenomena negara ini.
Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) soal korupsi yang ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris MUI
(waktu itu), KH Sahal Mahfudh dan Din Syamsuddin, dikeluarkan pada 29 Juli
2000.
MUI membingkainya dalam
term risywah yang dikatakan sebagai pemberian yang diberikan oleh seseorang
kepada pejabat dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil atau
membatilkan perbuatan yang hak.
Pemberi disebut sebagai
rasyi, penerima disebut murtasyi, dan penghubung antara rasyi dan murtasyi
disebut ra'isy.
Dalam fatwa MUI juga
dijelaskan mengenai definisi suap, yakni uang pelicin, money politics, dan lain sebagainya.
Suap ini dapat
dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang
batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
Selain itu, hadiah kepada
pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau masyarakat yang
diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan
pemerintahan maupun lainnya.
Sedangkan pengertian
korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya
dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.
Atas dasar itu, MUI
memutuskan, memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram. Melakukan
korupsi hukumnya adalah haram.
Majelis juga memutuskan
memberikan hadiah kepada pejabat, jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan
sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya
halal (tidak haram), demikian juga menerimanya.
Namun, jika pemberian
hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan,
maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan yakni pertama, jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau
tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut
tidak haram.
Kedua, jika antara pemberi
hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima
hadiah tersebut. Sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila pemberian
dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya).
Terakhir, jika antara pemberi
hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian
hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka
halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat
haram menerimanya.
Aneh memang, setelah 11
tahun fatwa itu dikeluarkan MUI, dan juga fatwa yang dikeluarkan ormas Islam
lainnya berkaitan perkara yang sama, kini prakteknya malah sudah masuk stadium
empat.
Lihatlah ketika kasat
matanya korupsi menjadi tontonan masyarakat beberapa tokoh partai besar
terbongkar korupsinya.
Uang terus bermain ketika hubungan antara
partai politik dengan kekuasaan yang seharusnya menjadi wadah rekrutmen
kekuasaan dalam sistem demokrasi, justru menjadi korelasi positif antara uang
dan kekuasaan.
Akses politik adalah
jaminan bagi akses ekonomi. Menjadi elit Parpol, apalagi Parpol besar, menjadi
garansi akan besarnya akses kepada kekuasaan. Akses ini dipergunakan untuk
mengeruk uang yang muncul dari kekuasaan tersebut.
Kekuasaan laksana pusaran
puting beliung yang menyedot dengan kuat apapun yang ada di sekitarnya, dan
termasuklah di dalamnya uang. Negara telah jatuh hanya menjadi instrumen atau
wadah besar bagi para bandit-bandit kekuasaan dan ekonomi untuk berkumpul. ]
Proyek-proyek pemerintah
menjadi sasaran tembak yang begitu memikat siapapun yang ada di pusaran
kekuasaan. Dia adalah target.
Dan jangan lupa, proyek
yang menjadi target itu pun, sejatinya telah disusun sebelumnya dengan
bisikan-bisikan para bandit-bandit ini. Kalimat itu “terpaksa” dipakai untuk
memperhalus dugaan bahwa yang menyusun rancangan proyek itu justru adalah para
bandit itu sendiri, bahwa yang menjadi bandit adalah para eksekutor dan
pusarannya itu.
Ada bandit besar, ada
bandit kelas menengah dan ada pula bandit kelas teri. Persis seperti level
dalam catur; ada raja, mesah (menteri), gajah, kuda, benteng dan pion. Kalaupun
ada kerangka atau program pembangunan (yang sungguh memikat hati) yang menjadi
dasar bagi proyek-proyek itu, maka dia tak lain adalah hasil dari
praktek-praktek kamuflase (penyamaran) korporatokrasi yang jahat.
Kondisi negara yang sakit
parah ini jelas penyakit menular. Dan tragisnya itu menyebar ke seluruh rakyat
tanpa tedeng aling-aling, tanpa reserve, tanpa filter lagi.
Korupsi menjadi hal yang
biasa, karena dia sudah menyebar ke seluruh lapisan. Tidak hanya di tempat
paling kentara bagi korupsi yaitu eksekutif, di tempat para pengawas seperti
legislatif dan yudikatif pun begitu.
Tak heranlah kalau negara
ini disimpulkan sebagai negara yang sakit, negara yang rusak dan negara yang gagal. Bila
diibaratkan seorang ibu, maka wajah negara telah pucat pasi karena anak-anaknya
telah menyedot darah ibunya dengan tanpa ampun. Ular-ular telah membelit dengan
kuat sang ibu dan membuatnya sesak nafas.
Puasa Ramadhan tahun ini
kita yakini belum akan menjadi bulan yang berkah bagi negara ini. Puasa, ya,
puasa, korupsi tetap jalan terus.
Jangan bayangkan bulan
ini akan dihormati oleh para bandit koruptor itu. Justru, karakteristik para
bandit adalah mampu menyiasati setiap peluang sekecil apapun untuk mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya.
Puasa bakal membuat kita
sibuk dengan diri sendiri, bersendirian mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya,
sehingga mata kita pun menjadi rabun dari praktek-praktek korupsi itu.
Kalaupun kita melihat
praktek itu di depan mata kita, kita hanya bisa berucap istighfar sembari
berharap semoga itu tidak terjadi pada diri kita. Safari ramadhan kita masih
akan berkutat masalah “ibadah”-nya, bukan esensinya. Padahal Tuhan sudah
berfirman,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan
keji dan mungkar”. Kalaulah kekejian dan kemungkaran itu terbentang massif di
hadapan kita, masihkah kita menganggap kalau ibadah kita sudah benar?
Anda mungkin saja
berpuasa, tapi apakah bandit koruptor tak akan pernah berpuasa ?