Reformasi Birokrasi, Masih Jalan ditempat
(penulis: Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU –
diolah dari 4 sumber berbeda)
Reformasi politik "98 adalah
pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional.
Reformasi politik yang
diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, fakta sosial
menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini,
akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari reformasi
politik 98.
Seolah terlihat Reformasi
yang selalu digembor-gemborkan pemerintah masih jalan ditempat alias tidak ada
perubahan yang signifikan.
Sabagai bukti nyata atas
situasi beberrapa daerah di Indonesia adalah buruknya pelayanan publik,
misalnya; biaya yang harus dikeluarkan masyarakat secara illegal dalam
pengurusan berbagai dokumen, seperti; pengurusan KTP, pembuatan SIM, perpanjang
STNK, pengurusan IMB, sertifikat tanah, ijin usaha, tata kelola pengadaan
barang dan jasa pemerintah (PBJ) yang banyak menimbulkan kerugian Negara, dan
lain lain.
Kemudian kasus kasus
Korupsi tidak semakin surut, bahkan telah merambah pada segala lini, tidak
hanya di kalangan Eksekutif tapi juga merambah juga wilayah Legislatif, yang
seharusnya lembaga wakil rakyat tersebut menjadi mesin control terhadap
jalannya tata kelola Pemerintahan yang baik (good govemance).
kemudian lembaga penegak
hukum juga tidak luput dari wabah "kanker korupsi", kongkalikong dan
konspirasi untuk memenangkang atau melindungi oknum tertentu, sehingga banyak tuduhan
mafia peradilan yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum.
Dalam aspek politik dan
hukum, reformasi birokrasi menjadi issue penting untuk mendapat kajian
tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan
birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar
terhadap kondisi keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang
berkepanjangan.
Birokrasi yang telah
dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi
yang kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Namun demikian,
pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi
birokrasi dapat terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca
reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan
kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi
penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini.
Bila kita tilik sejarah
ke belakang, buruknya mentalitas birokrasi kita saat ini, tidak terlepas dari
warisan mentalitas, birokrasi Kolonial, yang berfungsi mengawasi dan
mengontrol, serta menguasai masyarakat, bukan melaksanakan dan menjalankan
pemerintahan dengan baik, dalam melayani dan melindungi masyarakat dari
kesewenangan, ini fakta sosial, birokrasi lebih seperti pangreh praja dari pada
pamong praja, lebih ingin dilayani dari pada melayani.
Mengutip, catatan guru
besar ilmu politik Universitas Airlangga, Prof Dr Ramlan Surbakti, yang banyak
mengomentari atas fenomena birokrasi di Indonesia, birokrat di Indonesia
memiliki kewenangan besar, sehingga hampir semua lini kehidupan masyarakat
ditangani birokrasi.
Kewenangan yang terlalu
besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan
ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani
masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai
sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang
dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi
karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk
menguasai masyarakat dengan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi
lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian
terjadi politisasi birokrasi.
Pada rezim lalu,
birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Era Pasca reformasi pun para
pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin
melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan
non karier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan
Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa lalu.
Dalam masyarakat Madani
(civil society), masyarakat merupakan subjek hukum dalam ruang public (Negara),
sehingga, ketika terjadi kontrak publik antara masyarakat dan Negara keduanya
berada pada posisi sejajar (equal position). Dalam kondisi seperti ini, peran
masyarakat cukup penting dalam mendorong untuk mengurangi dan mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan birokrasi,
serta mendorong pelayanan public yang lebih baik.
Birokrasi
Weberian
Sosiolog Jerman, Max
Weber adalah salah satu sosiolog penting yang banyak melakukan riset soal
birokrasi, menurutnya organisasi birokrasi ditandai dengan, berbagai aktivitas
regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan tujuan organisasi yang
didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban kewajiban resmi.
Kemudian, organisasi
kantor kantor mengikuti prinsip hierarki, yaitu setiap kantor yang lebih rendah
berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi.
Selanjutanya, operasi
operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah kaidah abstrak
yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah kaidah ini terhadap kasus kasus;
spesifik, dan kemudian, pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan
impersonalitas, formalistic tanpa kebencian atau kegairahan, dan kerenanya
tanpa antusiasme atau afeksi.
Birokrasi pemerintahan
seringkali diartikan sebagai official kingdom atau kerajaan pejabat, yaitu
suatu kerajaan yang raja rajanya adalah pejabat. Di dalamnya terdapat
yurisdiksi dimana setiap pejabat memiliki official duties.
Mereka bekeda pada
tatanan hierarki dengan kompetensinya masing masing. Pola komunikasinya didasarkan
pada dokumen tertulis.
Birokrasi Weberian,
seperti pola dan system birokrasi saat ini kurang efektif diera modern, karena
tuntutan dan partisipasi masyarakat yang cukup kuat, birokrasi yang ramping,
efektif, efisien, professional, transparan, komunikatif, akuntabel dan memiliki
visi pelayanan masyarakat yang baik serta bebas dari praktik praktik KKN yang
sangat membebani masyarakat.
Birokrasi
dan Politik
Hadirnya partai politik
dalam sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi pemerintah.
Susunan birokrasi pemerintah bukan hanya di isi oleh para birokrat karier
tertapi juga pejabat politik.
Menurut teori liberal,
bahwa birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan kebijakan pemerintah yang
mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam
pemilihan umum.
Dengan demikian birokrasi
pemerintah itu bukan hanya di isi oleh para birokrat, melainkan ada bagian
bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994).
Demikian pula sebaliknya
bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin
politik dari partai politik tertentu saja, melainkan ada juga pemimpin
birokrasi karier profesional.
Ketika keinginan
memasukkan pejabat politik dalam birokrasi pemerintah itu timbul, maka timbul
pula suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya.
Pertanyaan ini harus
dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik
(political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan
antara fungsi kontrol dan dominasi (Carino, 1994).
Dalam hubungan seperti
ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa
pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa.
Dominasi kepemimpinan
pejabat politik atas birokrasi, menjadikan masalah baru, yaitu menjadikan mesin
birokrasi menjadi sedemikian berat menjalankan fungsinya.
Birokrasi menghadapi
kendala inefisiensi, profesionalitas dan tidak jarang menjadi "sapi
perahan" para politisi, demi kepentingan sesaat, dengan mengorbankan
kepentingan yang lebih besar.
Kembali pada kabupaten
Blora, muncul pertanyaan dari penulis, mampukah Djoko Nugroho sebagai Orang
nomor satu dikabupaten ini, mewujudkan reformasi birokrasi yang lebih baik dari
sebelumnya dan mampu Birokrasi tersebut bekerja demi kepentingan rakyatnya ?
Kita tunggu aksi Bupati
Blora ke 27 ini yang kurang lebih 2 tahun pemerintahannya akan segera berakhir.
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru