Renungan Hari Kartini
Mengapa
Perempuan ikut Korupsi?
Pemberitaan media massa belakangan ini banyak
diramaikan dengan berita kasus korupsi yang melibatkan perempuan.
Belum pupus dari ingatan kita
beberapa kasus korupsi besar yang mengguncang perpolitikan negeri ini mulai
dari kasus Century yang membelit Sri Mulyani, kasus Malinda Dee, kasus cek
pelawat yang melibatkan Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom, dan yang terbaru
kasus Wisma Atlet yang melibatkan banyak sekali perempuan di dalamnya.
Bahkan, ditengarai peran perempuan
dalam banyak kasus korupsi sangat strategis. Data Indonesian Police Watch menyebutkan, Tahun 2011 saja
setidaknya ada 7 perempuan yang ditangkap karena kasus korupsi.
Para perempuan ini, menurut Police
Watch memainkan peranan kunci dalam praktik mafia hukum dan menjadi
operator untuk mengamankan koruptor dari jeratan hukum.
Di luar angka yang diungkap lembaga
swadaya masyarakat itu, terindikasi jumlah kaum perempuan yang terlibat korupsi
lebih banyak lagi. Karena yang namanya korupsi tidak harus melibatkan sejumlah
dana fantastis seperti kasus-kasus besar yang menjadi pemberitaan media massa.
Pada kesempatan ini saya tidak
hendak mengulas kasus korupsinya, tapi ingin mendalami fenomena mengapa makin
banyak kaum perempuan yang terlibat kasus-kasus korupsi.
Terus terang saya pribadi begitu
prihatin dengan kondisi ini, saya yakin anda juga demikian.
Saya jadi teringat surat RA Kartini kepada Rosa Abendanon,
”Dari perempuanlah pertama- tama
manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah anak itu belajar merasa dan
berpikir, berkata-kata, dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang
mula-mula itu bukannya tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di
kemudian hari. Dan, bagaimana ibu bumiputera itu sanggup mendidik anaknya,
bilamana mereka sendiri tidak berpendidikan?”
Surat Kartini itu menemukan
konteksnya kala kita merenungkan bagaimana bisa perempuan/ibu akan sanggup
mendidik anaknya bila mereka sendiri koruptor, tukang suap, dan operator mafia
kasus?
Tanpa bermaksud memukul rata
terhadap semua perempuan, kita pun bertanya inikah gambaran kaum perempuan
modern zaman sekarang?
Di saat sebagian kaum perempuan
masih berjuang keras untuk memperjuangkan hak-haknya, di sisi lain kaum
perempuan sudah banyak yang menikmati kesetaraan gender dan menduduki jabatan
strategis, tapi mengapa ada perempuan yang mudah tergoda untuk melakukan
praktik-praktik korupsi?
Ternyata, hasil penelitian dari Bank Dunia tahun 1999 lalu bahwa hasrat untuk
menerima suap atau melakukan korupsi di kalangan kaum perempuan lebih rendah
dibandingkan dengan kaum laki-laki tidak sepenuhnya benar.
Atas dasar penelitian itu, Bank
Dunia merekomendasikan agar semua negara memberikan peluang yang lebih besar
bagi kaum perempuan jabatan di pemerintahan dan parlemen, karena keberadaan
mereka berpotensi besar untuk menurukan tingkat korupsi.
Faktanya, melihat kasus di
Indonesia, makin banyak kaum perempuan yang tersandung kasus korupsi.
Sungguh ironis, mengingat kaum
perempuan adalah "ibu" bangsa. Bukankah ada kata bijak yang
mengatakan, dari ibu-ibu yang baik--yang notabene dari kaum perempuan--akan
lahir anak-anak yang baik dan akan terciptalah bangsa yang baik pula.
Lantas bagaimana nasib negeri ini,
jika kaum perempuannya, jika para ibunya mudah tergoda untuk melakukan korupsi,
yang sama artinya menggunakan uang haram untuk keluarganya. Kita semua tahu,
apapun yang masuk ke tubuh kita, jika mengandung hal-hal yang haram, tidak akan
membawa keberkahan.
Akar Masalah
Jika kita cermati, para perempuan
yang menjadi pelaku korupsi dan suap adalah orang-orang yang berkecukupan dalam
hidupnya.
Misalnya Malinda Dee pelaku
penggelapan dana nasabah dalah Manajer di Citibank dengan penghasilan 1 M per
tahun,
Mindo Rosalina terdakwa kasus wisma
atlet merupakan Direktur Pemasaran Permai group, atau juga Angelina Sondakh
yang saat ini menjabat anggota DPR RI.
Mengapa bisa perempuan-perempuan
yang bergelang harta masih saja melakukan korupsi?
Ternyata ini berkorelasi positif
dengan budaya hedonisme era kapitalis-sekuler saat ini.
Gaya hidup yang hedonis ala
selebritis telah mendorong para ibu untuk selalu memenuhi keinginannya.
Dalam prinsip kapitalis, keinginan
adalah kebutuhan dan harus dipenuhi. Pergaulan mahal sosialita,
jalan-jalan keluar negeri, makan di restoran mewah, belanja barang-barang
bemerek, permak kecantikan merupakan kebiasaan para ibu pejabat atau para ibu
yang beruang saat ini.
Trus, berapun besar gajinya atau gaji
suaminya tidak pernah cukup untuk memenuhi keinginanya.
Akhirnya akan mendorong para suami
atau dirinya sendiri untuk mendapatkan uang secara instan meskipun haram.
Korupsi, broker suap atau penerima suap menjadi pilihan.
Hidup model kapitalis ini telah
menyeret para perempuan masuk dalam pusaran arus korupsi yang kebanyakan
dilakukan oleh laki-laki.
Liberalisme dan sekulerisme yang
merupakan ajaran kapitalis telah menjadikan manfaat -bukan benar dan salah
menurut agama-sebagai standar kehidupan. Demokrasi yang merupakan
aplikasi kapitalis dalam sistem pemerintahan telah menetapkan suara terbanyak
sebagai hasil suatu keputusan.
Prinsip ini tentu akan rentan
terhadap tindak kejahatan para anggota dewan yang menetapkan hukum,
perundang-undang atau kebijakan negara. Kejahatan kerah putih semacam korupsi
dan suap akan cenderung dilakukan secara berjamaah atau sistemik.
Toh perbuatan tersebut bisa ditutupi dan
diselamatkan secara berjamaah pula dengan suara terbanyak.
Polemik moratorium remisi bagi
koruptor adalah salah satu buktinya. Tidak aneh jika banyak kasus-kasus
kejahatan kerah putih yang menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang pasti,
jelas dan adil.
Sebab, jika dibuka secara benderang
maka banyak dari mereka yang akan terlibat. Kasus bill out Bank Century contohnya, sampai saat
ini tidak jelas nasibnya. Lagi pula, dalam sistem kapitalis uang yang
menentukan segalanya.
Koruptor bisa divonis bebas jika
berhasil menyuap para penegak hukum; polisi, jaksa, hakim atupun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam kasus wisma atlet bahkan
ditengarai penggeraknya adalah perempuan-perempuan yang mendorong suami atau
atasanya untuk terlibat korupsi. Ini menjadi lebih rumit ketika melibatkan
partai politik berkuasa.
Jadi, jelas sistem kapitalislah yang menjadi
akar masalah terjadinya berbagai tindak korupsi maupun suap.
Untuk itulah penulis yang kelahiran
Cepu kabupaten Blora, berharap agar para Wanita Blora yang saat ini mempunyai
kekuasaan untuk lebih hati-hati dalam bertindak. Bekalilah diri anda dengan
ajaran agama masing-masing yang niscaya tidak akan terlibat apa yang dinamakan
virus Korupsi.
Ingat Ibu Kartini yang dialam sana,
mungkin sangat prihatin bila melihat kaumnya yang saat ini terjerat Korupsi.
“Dirgahayu
Perempuan Indonesian dan Selamat Hari Kartini”
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru