Tahun
ini Bukan Untuk Rakyat
Setahun
ke depan dikatakan sebagai tahun politik. Tepatnya 9 April 2014 kita
menyelenggarakan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) disusul dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Partai politik (parpol), calon
legislatif, KPU, Bawaslu, dan pemerintah sudah mulai disibukkan dengan berbagai
persiapan guna menyukseskan pesta rakyat lima tahunan tersebut. Bahkan ada
caleg dan capres yang sudah rajin nyicil kampanye dengan berbagai iklan dan
kunjungan.
Apakah hanya mereka yang sibuk dan
disibukkan akan kedatangan pesta demokrasi ini? Tidak. Semua pihak akan
tersibukkan dengan hajatan besar tersebut. Termasuk kalangan pebisnis. Pemilu
akan menguras sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar. Begitu pula
akan menghasilkan peluang bisnis sangat besar pula.
Jika pada sekarang hampir semua
orang berpikir politik untuk mencapai target-target politik, tapi tidak bagi
pebisnis. Mereka berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan Pemilu sebagai sarana
sebanyak mungkin meraih keuntungan.
Disadari atau tidak, politik
mengandung unsur bisnis. Karena di era sekarang politik memerlukan daya dukung
finansial yang amat besar.
Apalagi jika dihitung dengan
pemilihan kepala daerah. Disamping itu, berbagai bisnis lain, tergantung
keputusan dan kebijakan politik.
Daya dukung finansial antara lain
untuk keperluan perencanaan, konsolidasi, silaturahmi, kampanye dan marketing
politik. Yang terakhir disebut sebenarnya meminjam konsep bisnis yang telah
menjadi kebutuhan di dalam politik, yaitu marketing politik, sebuah strategi
pemasaran bisnis pada umumnya yang bergeser dan menjadikan politik sebagai
“barang dagangannya”. Meskipun makna ini terlalu sederhana. Bisnis politik
terjadi pada beberapa hal.
Pertama,
untuk menjadi calon legislatif, presiden atau kepala daerah misalnya, calon
harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendaftar pada parpol sebagai kendaraan
politiknya.
Ibarat pernikahan, ini dianggap
sebagai mahar politik. Terlihat tabu disebut, namun telah menjadi rahasia umum.
Tawar-menawar terjadi yang dilakukan antara calon dengan parpol. Bisnis politik
pun terjadi, yang diuntungkan adalah parpol dan sang calon.
Kedua, Konsultan Politik. Jika sudah memiliki kendaraan
politik, hal berikut yang dilakukan adalah melakukan konsultasi politik. Ini
dilakukan karena tidak semua calon “ngeh” terhadap politik.
Jika pun paham, tidak semua bisa
memahami bagaimana strategi mendulang suara secara signifan untuk mencapai
kemenangan. Konsultan politik berperan melakukan strategi marketing dan
pencitraan, survei dan pemetaan dukungan, termasuk penyusunan visi, misi dan
sebagainya.
Wilayah ini menjadi bisnis
tersendiri bagi para konsultan dan lembaga survei politik. Dari sini tumbuh
berbagai lembaga survei dan konsultan politik, tingkat nasional bahkan lokal.
Sebagaimana hukum permintaan dan
penawaran, para calon sebagai konsumen dan lembaga-lembaga survei dan konsultan
layaknya produsen, sama-sama mendapatkan keuntungan.
Ketiga, Media.
Hal yang sangat penting dalam mencapai kemenangan pemilihan langsung seperti
saat ini, adalah pencitraan. Terkait pencitraan ini, media memiliki peran
besar. Melalui media, personifikasi sang kandidiat bisa dipoles begitu rupa
sehingga marketable.
Media mampu mengubah persepsi
masyarakat dari yang biasa menjadi luar biasa. Media juga bisa membentuk bahkan
mengendalikan opini publik sedemikian rupa sesuai keinginan. Meskipun bukan
berarti berbuat kebohongan publik.
Bisa dibayangkan, berapa banyak uang
beredar terkait penggunaan jasa media. Iklan-iklan di TV, radio, koran,
tabloid, baliho, pencitraan pemberitaan, spanduk, stiker, kartu nama, ucapan
selamat, dan lain sebagainya.
Keempat, tim penggalangan suara (Makelar Suara). Diakui atau tidak, meskipun tidak
ada penelitian yang khusus tentang hal ini, aksi dukung mendukung kandidat
menjadi pekerjaan baru yang menguntungkan.
Tidak perlu modal, kecuali tenaga,
pikiran, sesekali perasaan dan kekuatan jaringan sosial, tim penggalangan suara
atau dengan sebutan tim sukses pun muncul, dijadikan lahan bisnis
tersendiri.
Hal ini ditempuh ketika hampir semua
kandidat tidak mungkin secara langsung menyapa konstituen, apalagi secara
intensif berinteraksi dengan mereka. Di sinilah diperlukan penguhubung antara
kandidat dengan konstituen bernama tim sukses.
Bukan
untuk Rakyat
Jika dicermati, berbagai macam
bisnis politik di atas ada yang diuntungkan dan dirugikan. Siapa yang
diuntungkan? Pertama adalah parpol, yaitu kelompok elit partai.
Namun demikian, dengan sistem suara
terbanyak dalam pemilu legislatif, bisa saja pengurus partai yang sudah aktif
sejak lama kalah bersaing dibanding pelamar yang memiliki finansial besar dan
kemampuan sosialisasi dengan konstituen.
Pengurus sering disibukkan dengan
urusan administratif kepartaian, sementara calon nonpengurus tidak, sehingga
lebih leluasa menyapa konstituen dan dengan modal besar bisa membuat opini
publik yang kuat mengalahkan pengurus yang telah lama mengabdi, membesarkan,
bahkan turut berkeringat mendirikan dan membesarkan partai.
Pihak kedua yang untung adalah sang
kandidat. Karena telah terbantu untuk ikut serta dalam proses pemilihan,
apalagi jika mendapat kemenangan. Namun, ia bisa saja rugi ketika mendapat
kerugian.
Dalam bisnis, ia ibarat pebisnis
gentle. Jika kalah rugi, jika menang untung. Itulah konsekuensi bisnis.
Pihak ketiga yang diuntungkan tentu
media, konsultan, tim penjaring suara, event organizer, dan sebagainya.
Mereka inilah yang tidak kenal kalah
atau menang sebagaimana para calon, ia akan selalu menang dan untung. Jika
sudah mendapatkan kepercayaan, bisnis di area ini nyaris tidak mengenal rugi.
Apakah semua diuntungkan? Tidak.
Lalu siapa yang dirugikan? Pertama, rakyat. Ia hanya untung pada saat musim
pemilu. Setelah suara berhasil didapat, mereka pun biasanya ditinggalkan.
Kedua, sistem politik, kader dan
pengurus. Sebagaimana dipaparkan di atas, tawar-menawar kursi dengan ukuran
kekuatan finansial bukan saja telah menggadaikan idealisme partai, juga para
kader dan pengurus partai yang bisa terdepak atas nama kekuatan finansial calon
pelamar diluar partai yang berkantong besar.
Disamping itu, hal ini juga bisa
menggangu sistem politik yang seharusnya murni menghasilkan suara rakyat, namun
kenyataannya adalah suara kapital.
Bersatunya pengusaha dan penguasa
dalam genggaman satu tangan menjadi bayang-bayang di depan mata. Jika pun tidak
bisa bersatu secara langsung kekuasaan di genggam dalam satu tangan, mereka
bisa bersimbiosis dengan mendukung penguasa atau calon penguasa.
Kerjasama penguasa dan pengusaha
ini, hanya akan menguntungkan kedua belah pihak, rakyat tidak mendapatkan
apa-apa.
Dengan didukung oleh pengusaha,
penguasa mendapatkan finansial untuk merebut dan mempertahakan kekuasaan.
Sebaliknya dengan dukungan penguasa, pengusaha bisa mengamankan dominasi bisnis
bahkan bisa melakukan ekpansi bisnisnya.
Walhasil, bisnis politik merupakan bisnis yang menggiurkan bagi berbagai pihak, namun akan menjadikan negara dan penguasa lebih condong berorientasi bisnis, termasuk ketika melayani rakyatnya, sehingga rakyat hanya akan mendapatkan residunya.(Penulis: Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU = Diolah dari 6 sumber berbeda)
Walhasil, bisnis politik merupakan bisnis yang menggiurkan bagi berbagai pihak, namun akan menjadikan negara dan penguasa lebih condong berorientasi bisnis, termasuk ketika melayani rakyatnya, sehingga rakyat hanya akan mendapatkan residunya.(Penulis: Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU = Diolah dari 6 sumber berbeda)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru