Opini KARTINI & KORUPSI - tabloid INFOKU 52



Renungan Hari Kartini

Mengapa Perempuan ikut Korupsi?
Pemberitaan media massa belakangan ini banyak diramaikan dengan berita kasus korupsi yang melibatkan perempuan.
Belum pupus dari ingatan kita beberapa kasus korupsi besar yang mengguncang perpolitikan negeri ini mulai dari kasus Century yang membelit Sri Mulyani, kasus Malinda Dee, kasus cek pelawat yang melibatkan Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom, dan yang terbaru kasus Wisma Atlet yang melibatkan banyak sekali perempuan di dalamnya.
Bahkan, ditengarai peran perempuan dalam banyak kasus korupsi sangat strategis. Data Indonesian Police Watch menyebutkan, Tahun 2011 saja setidaknya ada 7 perempuan yang ditangkap karena kasus korupsi.
Para perempuan ini, menurut Police Watch memainkan peranan kunci dalam praktik mafia  hukum dan menjadi operator untuk mengamankan koruptor dari jeratan hukum.
Di luar angka yang diungkap lembaga swadaya masyarakat itu, terindikasi jumlah kaum perempuan yang terlibat korupsi lebih banyak lagi. Karena yang namanya korupsi tidak harus melibatkan sejumlah dana fantastis seperti kasus-kasus besar yang menjadi pemberitaan media massa.
Pada kesempatan ini saya tidak hendak mengulas kasus korupsinya, tapi ingin mendalami fenomena mengapa makin banyak kaum perempuan yang terlibat kasus-kasus korupsi.
Terus terang saya pribadi begitu prihatin dengan kondisi ini, saya yakin anda juga demikian.
Saya jadi teringat surat RA Kartini kepada Rosa Abendanon,
”Dari perempuanlah pertama- tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah anak itu belajar merasa dan berpikir, berkata-kata, dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu bukannya tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Dan, bagaimana ibu bumiputera itu sanggup mendidik anaknya, bilamana mereka sendiri tidak berpendidikan?”
Surat Kartini itu menemukan konteksnya kala kita merenungkan bagaimana bisa perempuan/ibu akan sanggup mendidik anaknya bila mereka sendiri koruptor, tukang suap, dan operator mafia kasus?
Tanpa bermaksud memukul rata terhadap semua perempuan, kita pun bertanya inikah gambaran kaum perempuan modern zaman sekarang?
Di saat sebagian kaum perempuan masih berjuang keras untuk memperjuangkan hak-haknya, di sisi lain kaum perempuan sudah banyak yang menikmati kesetaraan gender dan menduduki jabatan strategis, tapi mengapa ada perempuan yang mudah tergoda untuk melakukan praktik-praktik korupsi?
Ternyata, hasil penelitian dari Bank Dunia tahun 1999 lalu bahwa hasrat untuk menerima suap atau melakukan korupsi di kalangan kaum perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki tidak sepenuhnya benar.
Atas dasar penelitian itu, Bank Dunia merekomendasikan agar semua negara memberikan peluang yang lebih besar bagi kaum perempuan jabatan di pemerintahan dan parlemen, karena keberadaan mereka berpotensi besar untuk menurukan tingkat korupsi.
Faktanya, melihat kasus di Indonesia, makin banyak kaum perempuan yang tersandung kasus korupsi.
Sungguh ironis, mengingat kaum perempuan adalah "ibu" bangsa. Bukankah ada kata bijak yang mengatakan, dari ibu-ibu yang baik--yang notabene dari kaum perempuan--akan lahir anak-anak yang baik dan akan terciptalah bangsa yang baik pula.
Lantas bagaimana nasib negeri ini, jika kaum perempuannya, jika para ibunya mudah tergoda untuk melakukan korupsi, yang sama artinya menggunakan uang haram untuk keluarganya. Kita semua tahu, apapun yang masuk ke tubuh kita, jika mengandung hal-hal yang haram, tidak akan membawa keberkahan.
Akar Masalah
Jika kita cermati, para perempuan yang menjadi pelaku korupsi dan suap adalah orang-orang yang berkecukupan dalam hidupnya. 
Misalnya Malinda Dee pelaku penggelapan dana nasabah dalah Manajer di Citibank dengan penghasilan 1 M per tahun,
Mindo Rosalina terdakwa kasus wisma atlet merupakan Direktur Pemasaran Permai group, atau juga Angelina Sondakh yang saat ini menjabat anggota DPR RI.
Mengapa bisa perempuan-perempuan yang bergelang harta masih saja melakukan korupsi?
Ternyata ini berkorelasi positif dengan budaya hedonisme era kapitalis-sekuler saat ini.
Gaya hidup yang hedonis ala selebritis telah mendorong para ibu untuk selalu memenuhi keinginannya. 
Dalam prinsip kapitalis, keinginan adalah kebutuhan dan harus dipenuhi.  Pergaulan mahal sosialita, jalan-jalan keluar negeri, makan di restoran mewah, belanja barang-barang bemerek, permak kecantikan merupakan kebiasaan para ibu pejabat atau para ibu yang beruang saat ini. 
Trus, berapun besar gajinya atau gaji suaminya tidak pernah cukup untuk memenuhi keinginanya. 
Akhirnya akan mendorong para suami atau dirinya sendiri untuk mendapatkan uang secara instan meskipun haram.  Korupsi, broker suap atau penerima suap menjadi pilihan.
Hidup model kapitalis ini telah menyeret para perempuan masuk dalam pusaran arus korupsi yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki. 
Liberalisme dan sekulerisme yang merupakan ajaran kapitalis telah menjadikan manfaat -bukan benar dan salah menurut agama-sebagai standar kehidupan.  Demokrasi yang merupakan aplikasi kapitalis dalam sistem pemerintahan telah menetapkan suara terbanyak sebagai hasil suatu keputusan. 
Prinsip ini tentu akan rentan terhadap tindak kejahatan para anggota dewan yang menetapkan hukum, perundang-undang atau kebijakan negara. Kejahatan kerah putih semacam korupsi dan suap akan cenderung dilakukan secara berjamaah atau sistemik. 
 Toh perbuatan tersebut bisa ditutupi dan diselamatkan secara berjamaah pula dengan suara terbanyak. 
Polemik moratorium remisi bagi koruptor adalah salah satu buktinya.  Tidak aneh jika banyak kasus-kasus kejahatan kerah putih yang menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang pasti, jelas dan adil. 
Sebab, jika dibuka secara benderang maka banyak  dari mereka yang akan terlibat.  Kasus bill out Bank Century contohnya, sampai saat ini tidak jelas nasibnya.  Lagi pula, dalam sistem kapitalis uang yang menentukan segalanya. 
Koruptor bisa divonis bebas jika berhasil menyuap para penegak hukum; polisi, jaksa, hakim atupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
Dalam kasus wisma atlet bahkan ditengarai penggeraknya adalah perempuan-perempuan yang mendorong suami atau atasanya untuk terlibat korupsi. Ini menjadi lebih rumit ketika melibatkan partai politik berkuasa.
 Jadi, jelas sistem kapitalislah yang menjadi akar masalah terjadinya berbagai tindak korupsi maupun suap.
Untuk itulah penulis yang kelahiran Cepu kabupaten Blora, berharap agar para Wanita Blora yang saat ini mempunyai kekuasaan untuk lebih hati-hati dalam bertindak. Bekalilah diri anda dengan ajaran agama masing-masing yang niscaya tidak akan terlibat apa yang dinamakan virus Korupsi.
Ingat Ibu Kartini yang dialam sana, mungkin sangat prihatin bila melihat kaumnya yang saat ini terjerat Korupsi.
“Dirgahayu Perempuan Indonesian dan Selamat Hari Kartini”

(Penulis: Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU – diolah dari 4 sumber berbeda)