Rakyat Majikan - OPINI - tabloid INFOKU 49



Penguasa vs Rakyat
Indonesia adalah penjelmaan bangunan Negara yang berdasrkan atas hukum (pasal 1 ayat (3) UUD 1945) dan bersifat demokratis. Indonesia tidaklah menghendaki Negara ini berdiri atas dasar kekuasaan.
Sejak 68 tahun Indonesia merdeka, teriakan keadilan dan kesejahteraan masih terus digelorakan.
Betapa tidak, keinginan untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan adalah tuntutan hak yang dimiliki setiap individu masyarakat dan sudah barang tentu mestilah dipenuhi oleh Negara.
Namun, iklim kekuasaan ke Indonesiaan saat ini, belum juga menunjukkan i’tikad baik untuk benar-benar meweujudkan hal itu, dimana peralihan masa pemerintahan sekarang ini dipandang masih tidak responsive dengan tuntutan masyarakat Indonesia baik kini hingga kedepan.
Bahkan dipandang oleh sebagian kalangan pakar hukum tata Negara dan sebagian politisi, adanya pengabsah pemerintahan otoriter dan “executive heavy” terkandung dalam pemerintahan selama ini.
Munculnya ketidak adilan, ketidaksejahteraan, ketidakbebasan dll, adalah ending dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang tidak bertanggungjawab. Hal dcemikian tercermin dalam pelbagai rumusan undang-undang yang dibuat.
Padahal, pada prinsipnya produk hukum haruslah aspiratif, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, menjamin kebebasan masyarakat mengembangkan dirinya dan mencegah dan melindungi masyarakat dari berbagai hal yang menghambat, merusak dan menghancurkan nilai – nilai kemanusiaan dan kehidupan sosial.
Hak-hak yang ada dalam dokumen sakral (konstitusi) Indonesia, menggambarkan betapa banyaknya hak-hak masyarakat yang mesti dipenuhi oleh Negara, dan bukannya dibelenggu.
Kejadian ini seakan memberikan tontonan sejarah dimasa silam, dimana realitas sejarah pemerintahan raja-raja yang bersifat absolute.
Dikala itu kesewenang-wenangan raja tanpa batas membuat hak-hak warga Negara terbelenggu, segala seuatunya ditentukan oleh kehendak raja, sementara warga Negara tertindas.
Lahirnya konstitusi yang merupakan bagian dari keharusan sejarah adalah paradigma hukum modern sebagai bentuk pengekangan atas kekuasaan pemerintahan dalam menjamin keadilan, kesejahteraan, kebebasan, dan hak warga Negara.
Namun sayangnya, kekuatan konstitusi sebagai filter belumlah mampu untuk mengbungkus kekuasaan secara rapat-rapat.
Agar tak terjadi kesewenang-wenangan. Hal ini penting, sebab adanya pertimbangan bahwa kekuasaan tidaklah mungkin dipercayakan semata-mata pada pertimbangan moral dan etika.
Kekuasaan memiliki logikanya sendiri, meskipun ia dipegang oleh philosofis, kiyai haji, maupun pastor. Lord Acton, ahli sejarah inggris pernah menyampaikan bahwa “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”.
Bermakna manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan mutlak akan secara mutlak pula menyalahgunakan kekuasaan itu.
Nampaknya apa yang dikatakan Lord Acton sangat tepat, sebab banyak realita yang terjadi.
Bahkan yang bergelar Kiyai, Pastor, Negarawan pun juga terjebak dalam kenikmatan kekuasaan yang membutakan hati.
Soal moral dan etika tak lagi diperdulikan. ini pula yang pemicu munculnya gaps antara pemimpin dengan rakyatnya.
Pemimpin yang haus kekuasaan dan menyalahgunakannya, versus rakyat haus keadilan dan kesejahteraan. Hingga pada akhirnya, timbulnya jurang pemisah antara pemimpin dan yang dipimpin (rakyat).
Padahal pada prinsipnya, kesatuan lahir dan bathin antara penguasa (pemimpin Negara) dengan masyarakat menjadi pemantik terwujudnya nilai-nilai keadilan dan tentu saja berefek pada paningkatam kesejahteraan.
Seperti yang pernah di kumandangkan oleh Hegel berkenaan gagasan tentang asas kesatuan antara pemimpin dan rakyat serta prinsip kesatuan seluruh Negara.
Prinsip ini seakan mengaminkan sebuah perumpamaan, dimana antara pemimpin dan rakyat seperti satu tubuh.
Ketika anggota tubuh yang lain merasakan sakit maka yang lainnya pun merasakan. Ketika rakyat menderita maka pemimpn merasakan penderitaan dan segera turun tangan mengatasi penderitaan (membantu meringankan).
Bukan malah menambah penderitaan itu dengan menghisap hak dan melupakan kewajiban.
Dahulu, pemerintahan militer jepang pernah memberikan nasihat dan mengusulkan kepada Soepomo melalui “somubucho” (Kepala Departemen Urusan Umum) mengenai ideology Negara totaliter jepang yang berpangkal pada adanya kesatuan yang kekal, lahir, dan bathin antara yang mulia “teno heika” (kaisar; pusat spiritual rakyat), Negara, dan rakyat jepang.
Nasihat inilah yang kemudian coba di aktualisasikan oleh soepomo dalam perumusan konstitusi Negara Indonesia dahulu.
Secemerlang apapun gagasan, terkadang berbeda dengan aktualisasi. Kondisi kekinian membuktikan bahwa antara cita Negara (staatside) dengan kondisi kenegaraan saat ini jauh berbeda.
Atau dengan kata lain; dalam das sollen das sein (belanda) atau expectations and reality (inggris), harapan dan kenyataan yang berbeda.
Meskipun demikian, harapan dan cita tetap harus dijadikan patokan ideal, perjalanan bangsa menuju harapan ideal berupa terwujudnya keadilan dan kesejahteraan adalah hal yang bukan utopis semata.
Untuk apa bernegara dan menjadi bagian dari bangsa ini jika bangsa ini pun “gantung handuk” dalam mengurusi rakyatnya.
Pemerintah hanyalah berkuasa menjalankan tugas dan kewajiban sesuai undang-undang– dimana mereka dibayar untuk melakukan perbuatan itu dari uang rakyat- dan pemerintah bukanlah penguasa negara dan rakyat..
Teorinya pemerintah adalah kumpulan para babu, khadam dan pembantu yang bekerja untuk kebaikan rakyat yang membayar gaji mereka. (Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto- Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari berbagai Sumber)

Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru