Penguasa
vs Rakyat
Indonesia
adalah penjelmaan bangunan Negara yang berdasrkan atas hukum (pasal 1 ayat (3)
UUD 1945) dan bersifat demokratis. Indonesia tidaklah menghendaki Negara ini
berdiri atas dasar kekuasaan.
Sejak 68 tahun Indonesia merdeka,
teriakan keadilan dan kesejahteraan masih terus digelorakan.
Betapa tidak, keinginan untuk
mendapatkan keadilan dan kesejahteraan adalah tuntutan hak yang dimiliki setiap
individu masyarakat dan sudah barang tentu mestilah dipenuhi oleh Negara.
Namun, iklim kekuasaan ke Indonesiaan
saat ini, belum juga menunjukkan i’tikad baik untuk benar-benar meweujudkan hal
itu, dimana peralihan masa pemerintahan sekarang ini dipandang masih tidak
responsive dengan tuntutan masyarakat Indonesia baik kini hingga kedepan.
Bahkan dipandang oleh sebagian
kalangan pakar hukum tata Negara dan sebagian politisi, adanya pengabsah
pemerintahan otoriter dan “executive heavy” terkandung dalam pemerintahan
selama ini.
Munculnya ketidak adilan,
ketidaksejahteraan, ketidakbebasan dll, adalah ending dari tindakan
penyalahgunaan kekuasaan yang tidak bertanggungjawab. Hal dcemikian tercermin
dalam pelbagai rumusan undang-undang yang dibuat.
Padahal, pada prinsipnya produk
hukum haruslah aspiratif, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat,
menjamin kebebasan masyarakat mengembangkan dirinya dan mencegah dan melindungi
masyarakat dari berbagai hal yang menghambat, merusak dan menghancurkan nilai –
nilai kemanusiaan dan kehidupan sosial.
Hak-hak yang ada dalam dokumen
sakral (konstitusi) Indonesia, menggambarkan betapa banyaknya hak-hak
masyarakat yang mesti dipenuhi oleh Negara, dan bukannya dibelenggu.
Kejadian ini seakan memberikan
tontonan sejarah dimasa silam, dimana realitas sejarah pemerintahan raja-raja
yang bersifat absolute.
Dikala itu kesewenang-wenangan raja
tanpa batas membuat hak-hak warga Negara terbelenggu, segala seuatunya
ditentukan oleh kehendak raja, sementara warga Negara tertindas.
Lahirnya konstitusi yang merupakan
bagian dari keharusan sejarah adalah paradigma hukum modern sebagai bentuk
pengekangan atas kekuasaan pemerintahan dalam menjamin keadilan, kesejahteraan,
kebebasan, dan hak warga Negara.
Namun sayangnya, kekuatan konstitusi
sebagai filter belumlah mampu untuk mengbungkus kekuasaan secara rapat-rapat.
Agar tak terjadi kesewenang-wenangan.
Hal ini penting, sebab adanya pertimbangan bahwa kekuasaan tidaklah mungkin
dipercayakan semata-mata pada pertimbangan moral dan etika.
Kekuasaan memiliki logikanya
sendiri, meskipun ia dipegang oleh philosofis, kiyai haji, maupun pastor. Lord
Acton, ahli sejarah inggris pernah menyampaikan bahwa “power tends to corrupt,
but absolute power corrupts absolutely”.
Bermakna manusia yang mempunyai
kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang
mempunyai kekuasaan mutlak akan secara mutlak pula menyalahgunakan kekuasaan
itu.
Nampaknya apa yang dikatakan Lord
Acton sangat tepat, sebab banyak realita yang terjadi.
Bahkan yang bergelar Kiyai, Pastor,
Negarawan pun juga terjebak dalam kenikmatan kekuasaan yang membutakan hati.
Soal moral dan etika tak lagi
diperdulikan. ini pula yang pemicu munculnya gaps antara pemimpin dengan
rakyatnya.
Pemimpin yang haus kekuasaan dan
menyalahgunakannya, versus rakyat haus keadilan dan kesejahteraan. Hingga pada
akhirnya, timbulnya jurang pemisah antara pemimpin dan yang dipimpin (rakyat).
Padahal pada prinsipnya, kesatuan
lahir dan bathin antara penguasa (pemimpin Negara) dengan masyarakat menjadi
pemantik terwujudnya nilai-nilai keadilan dan tentu saja berefek pada
paningkatam kesejahteraan.
Seperti yang pernah di kumandangkan
oleh Hegel berkenaan gagasan tentang asas kesatuan antara pemimpin dan rakyat
serta prinsip kesatuan seluruh Negara.
Prinsip ini seakan mengaminkan
sebuah perumpamaan, dimana antara pemimpin dan rakyat seperti satu tubuh.
Ketika anggota tubuh yang lain
merasakan sakit maka yang lainnya pun merasakan. Ketika rakyat menderita maka
pemimpn merasakan penderitaan dan segera turun tangan mengatasi penderitaan
(membantu meringankan).
Bukan malah menambah penderitaan itu
dengan menghisap hak dan melupakan kewajiban.
Dahulu, pemerintahan militer jepang
pernah memberikan nasihat dan mengusulkan kepada Soepomo melalui “somubucho”
(Kepala Departemen Urusan Umum) mengenai ideology Negara totaliter jepang yang
berpangkal pada adanya kesatuan yang kekal, lahir, dan bathin antara yang mulia
“teno heika” (kaisar; pusat spiritual rakyat), Negara, dan rakyat jepang.
Nasihat inilah yang kemudian coba di
aktualisasikan oleh soepomo dalam perumusan konstitusi Negara Indonesia dahulu.
Secemerlang apapun gagasan,
terkadang berbeda dengan aktualisasi. Kondisi kekinian membuktikan bahwa antara
cita Negara (staatside) dengan kondisi kenegaraan saat ini jauh berbeda.
Atau dengan kata lain; dalam das
sollen das sein (belanda) atau expectations and reality (inggris), harapan dan
kenyataan yang berbeda.
Meskipun demikian, harapan dan cita
tetap harus dijadikan patokan ideal, perjalanan bangsa menuju harapan ideal
berupa terwujudnya keadilan dan kesejahteraan adalah hal yang bukan utopis
semata.
Untuk apa bernegara dan menjadi
bagian dari bangsa ini jika bangsa ini pun “gantung handuk” dalam mengurusi
rakyatnya.
Pemerintah hanyalah berkuasa
menjalankan tugas dan kewajiban sesuai undang-undang– dimana mereka dibayar
untuk melakukan perbuatan itu dari uang rakyat- dan pemerintah bukanlah
penguasa negara dan rakyat..
Teorinya pemerintah adalah kumpulan para babu,
khadam dan pembantu yang bekerja untuk kebaikan rakyat yang membayar gaji
mereka. (Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto- Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU –
diolah dari berbagai Sumber)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru