Saatnya Bongkar
Korupsi di Tahun Politik
Bagi
Indonesia, sebenarnya tiada tahun tanpa tahun politik. Sepanjang sejarah negeri
ini tidak pernah lepas dari persoalan politik.
Ini merupakan kosekuensi dari asas
konkordansi (penundukan) sebagai negara yang lahir akibat perjuangan politik
yang boleh jadi tak pernah lekang dalam sejarah pertumbuhan negeri ini.
Ada prediski bahwa tahun 2013 adalah
tahun politik yang akan menimbulkan hiruk-pikuk dan kehebohan.
Ada dua indikatornya, pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
akan menetapkan partai politik (parpol) yang menjadi peserta pemilihan umum
2014. Sekitar 34 parpol yang diverifikasi KPU dan diperkirakan sekitar sepuluh
parpol yang lolos menjadi peserta pemilu.
Kedua, imbas tahun politik akan berdampak pada proses
penegakan hukum. Para elit parpol dan kekuasaan akan saling membongkar dan
menuding telah melakukan korupsi.
Ini menunjukkan bahwa hukum dan
politik laksana dua sisi keping mata uang. Keduanya saling memengaruhi, karena
politik hanya bisa efektif jika dilandasi oleh ketentuan hukum yang memadai.
Sebaliknya, hukum akan bergantung
pada keputusan politik lantaran hukum dibuat oleh lembaga politik seperti
parlemen dan pejabat publik yang berasal dari kalangan politisi.
Menjelang pemilu 2014, para aktor
politik akan berlomba menggunakan jalur kekuatan sipil demi meraih kepentingan
pribadinya.
Tujuannya untuk meningkatkan posisi
tawar diri dan partainya agar dilirik oleh pemilih. Dalam kondisi seperti itu,
biasanya yang memiliki kekuasaanlah yang paling diuntungkan.
Untuk
mencari logistik pemilu, mereka punya kekuasaan untuk mengakali anggaran negara
(APBN dan APBD) dengan beragam cara.
Sepuluh parpol yang lolos pemilu 2014,
tetapi jumlah parpol sebanyak itu masih tambun dan tidak akan mengefektifkan sistem
pemerintahan presidensial.
Dua periode pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang mengakomodasi koalisi parpol lantaran tidak
mayortitas di parlemen, bisa dijadikan pembenaran akibat kabinet yang
dipimpinnya tidak bekerja efektif.
Para menteri yang berasal di luar Partai
Demokrat memiliki dua atasan. Selain presiden, juga pimpinan partai yang mengusulkannya
masuk jajaran kabinet.
Akibatnya, semua kebijakan persiden
akan senantiasa dikonsultasikan dengan partainya, yang tentu saja secara
diam-diam, meskipun mereka tergabung dalam koalisi. Itu yang membuat Presiden
SBY begitu lamban dalam mengambil keputusan strategis seperti saat mengganti
menteri lantaran mempertimbangkan keseimbangan koalisinya.
Tetapi terlepas sepuluh parpol yang lolos yang
sejatinya masih terlalu besar, tetapi realitas selama tiga kali pemilu di
era-reformasi, keberadaan sebagian besar partai-partai tidak memperjuangkan
kepentingan rakyat. Yang dominan adalah bagaimana mendahulukan kepentingan
partai atau golongannya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat.
Belum terlihat anggota parlemen (DPR)
kita memosisikan dirinya sebagai “negarawan” saat akan menetapkan undang-undang
atau Perda, menetapkan APBN dan APBD, atau saat melakukan pengawasan. Mereka
masih terjebak pada posisinya sebagai politisi yang selalu memperhitungkan
kepentingan partai dan golongannya. Itu yang membuat tingkat kepercayaan publik
terhadap parpol terus tergerus, karena para calon legislatif dan elit politik
mendekati masyarakat hanya saat membutuhkan suaranya menjelang pemilu.
Berbagai survei menunjukan hal itu dan
semakin memperjelas betapa rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap parpol.
Penyebabnya antara lain lantaran
parpol tidak memihak rakyat. Hanya sibuk menebar pesona menjelang hajatan
politik, seperti pemilihan gubernur, bupati, wali kota, pemilihan legislatif,
dan pemilihan presiden. Setelah berlalu, pesta pun selesai dan semua
janji-janji yang ditebar saat kampanye dilupakan. Jika pun ada yang
dilaksanakan, tetapi teknisnya tidak seperti yang dijanjikan. Wajar jika ada
yang menyebut janji-janji politik calon pemimpin dan caleg tak ubahnya seperti
penipuan.
Karena itu, pembatasan parpol untuk ikut
pemilu sesuatu yang niscaya. Saat ini hanya beberapa partai tertentu yang eksis
karena “agak peduli” terhadap konstituennya. Pembatasan jumlah partai tidak
melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Parpol
Korup
Saat pemilu 2014 atau saat memilih
pemimpin, rakyat seharusnya menjatuhkan hukuman kepada parpol dan politisi
korup dengan tidak memilihnya. Selain memberikan tekanan agar papol dan
politisinya tidak korupsi, juga memberikan pendidikan politik dan pendidikan
korupsi bagi parpol, para politisi, dan masyarakat.
Rakyat sangat muak dengan perilaku
elit politik dan kekuasaan yang hampir setiap hari diungkap di ruang publik
melakukan korupsi, tetapi hukum tidak bertenaga untuk membawanya ke pengadilan,
khususnya kasus korupsi yang terjadi di daerah.
Jangan gadaikan hak politik selama lima
tahun kepada politisi busuk dan calon pemimpin busuk.
Tanda-tanda politisi busuk dan
pemimpin busuk bukan hanya doyan korupsi dan narkoba, tetapi juga yang malas
mengikuti sidang, malas turun mengunjungi rakyat untuk menyerap aspirtasi,
serta sembunyi saat pengunjuk rasa ingin menemuinya untuk menyampaikan
aspirasi.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
Sebastian Salang (sumber : Tribuntimur.com,3/1/2013), malah meminta tidak
memilih politisi yang tidak punya kontribusi pemikiran.
Sebab boleh jadi ada anggota DPR
yang secara fisik sering mengikuti sidang, tetapi tidak memberikan sumbangan
pemikiran atau memperjuangkan aspirasi rakyat. Artinya, ukuran kualitas
pemimpin selain tidak bermental korup, juga harus cerdas, dan berani menepati
janjinya. (Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU –
diolah dari berbagai Sumber)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru