Sindroma Jabatan pada Mutasi
Akhir tahun 2012 lalu kita disemarakkan dengan
berbagai pemberitaan yang menyangkut mutasi jabatan.
Pelantikan
pejabat baru yang boleh dikata secara besar-besaran untuk jabatan eselon III dan IV yang kosong terjadi di kota
Blora.
Bagi yang
kebetulan mendapat promosi bisa tersenyum ria, namun bagi yang nasibnya lagi
apes terkena musibah “mutilasi” harus mampu bersabar dan menahan diri agar jangan
sampai terkena “sindroma”.
Salah
satu penyebab post power syndrome adalah “mutilasi jabatan”. Dalam aturan
kepegawaian memang tidak dikenal istilah mutilasi dalam jabatan. Dan seorang
pemimpin tidak mungkin berpikiran untuk melakukan mutilasi terhadap bawahannya.
Mutilasi
hanya mungkin dilakukan dan dirasakan oleh mereka yang bermental “penguasa”,
yaitu yang menganggap jabatan adalah sebuah kekuasaan, bukan sebagai lahan
pengabdian.
Model
“mutilasi” jabatan yang berkembang akhir-akhir ini memang sangat beragam yang
sangat “ditakuti” oleh setiap PNS.
Misalnya
alih tugas dari jabatan struktural ke jabatan fungsional, ditempatkan ke unit
kerja “kering”, mutasi ke daerah pinggiran atau terpencil atau penurunan eselon
dengan alasan perampingan organisasi atau mungkin pula jabatannya tidak
diperpanjang lagi sehingga harus memasuki masa persiapan pensiun (MPP).
Mutasi,
alih tugas, alih jabatan atau apapun namanya memang merupakan sesuatu hal yang
biasa dan rutin terjadi di setiap instansi pemerintah dalam segala tingkatan.
Mutasi merupakan sebuah kebutuhan organisasi dengan tujuan utama memperbaiki
kinerja birokrasi dan meningkatkan pelayanan umum.
Namun
dampak dari sebuah kebijakan mutasi kadang-kadang tidak sejalan dengan maksud
dan tujuan tersebut atau bahkan menimbulkan eksis-eksis baru yang kontra
produktif.
Kewenangan
melakukan mutasi adalah merupakan hak mutlak Kepala Daerah Sesuai UU Otonomi
Daerah dengan pertimbangan para pejabat pembina kepegawaian di masing-masing
jajaran pemerintahan.
Dimana
dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut secara teknis dibantu oleh sebuah
badan yang disebut dengan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah.
Data
teknis dalam pertimbangan jabatan umumnya telah diketahui oleh semua pegawai,
baik menyangkut pangkat, pendidikan/diklat jabatan maupun pengalaman kerjanya.
Namun dengan dukungan data teknis saja belum merupakan jaminan seseorang bisa
mendapatkan promosi jabatan. Faktor yang paling menentukan (lebih-lebih dalam era reformasi
sekarang) adalah faktor “kepercayaan”.
Bukan
rahasia umum lagi, membangun sebuah kepercayaan adalah merupakan hal yang paling
essensi bagi setiap PNS untuk membangun karier masa depan, dan bisa dibangun
antara lain dengan jalan pintas, misalnya dengan ABS, biro jasa “tim sukses”,
jasa kelompok penekan dan sebagainya.
Akan
tetapi harus disadari bahwa jalan pintas bukanlah jalan yang benar dan dalam
bahasa agama sangat jauh dari ridho Allah SWT. Pengguna jalan pintas, cepat
atau lambat, suatu saat pasti akan “ditilang” oleh polisi dan sangat rawan
terkena virus sindroma.
Karena
itu jalan yang paling aman dan lurus adalah dengan menampilkan “kinerja yang
prima” sehingga mampu menjadi sosok seorang PNS yang “dibutuhkan” oleh
organisasi dan oleh pimpinan atau para pengambil kebijakan.
PNS yang
dibutuhkan tidak akan terombang-ambing oleh perubahan iklim politik atau
perubahan “cuaca ekstreem” dengan angin puting beliung sekalipun. Bahkan mereka
yang kebetulan mendapat kepercayaan dengan jalan pintas pun, seyogianya mawas
diri dan mampu memupuk kepercayaan tersebut dengan berupaya menampilkan kinerja
yang prima, agar tidak menjadi bulan-bulanan sebuah perubahan.
Menjadikan
diri atau sosok PNS yang the right man on the right job tetap relevan dan
selalu relevan dalam meniti karier masa depan.
Seperti Para
pakar manajemen telah memperingatkan bahwa untuk meningkatkan kinerja
organisasi secara maksimal, maka penempatan personil harus selalu didasarkan
pada pertimbangan “the right man and the please” atau menempatkan orang sesuai
kompetensinya.
Untuk
mewujudkan penempatan personil demikian, peraturan perundang-undangan
kepegawaian di negeri ini telah mengatur dan menetapkan persyaratan, mekanisme
dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural yang sangat jelas.
Dalam
rangka menciptakan sosok PNS pemangku jabatan yang the right man on the right
job tersebut, lembaga diklat terkait dan psikologi.
Essensi
dari tes psikologi ini adalah untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang
aspek kepemimpinan seseorang, sehingga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam
kebijakan pemberian promosi (mutasi jabatan) seorang PNS.
Namun
sejauh mana hasil tes psikologi ini telah dimanfaatkan oleh setiap pengambil
kebijakan perlu didalami lebih jauh.
Disamping
sebuah kepercayaan, pada hakikatnya “jabatan” adalah amanah dan amanah dari
pimpinan, amanah dari rakyat/masyarakat dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan melihat
jabatan sebagai sebuah amanah, kita tidak akan pernah berpikir apa yang akan
saya “dapatkan” dari jabatan ini, tetapi kita akan selalu berpikir apa yang
bisa saya “berikan” dalam mengemban amanah ini.
Dengan
berpikir jabatan adalah amanah, maka Insya Allah kita akan terhindar dari
“sindroma”, karena pada hakekatnya jabatan itu dari Allah dan cepat atau lambat
kita akan kembali kepadaNya.(Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan
Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari Berbagai Sumber)
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru